Sunday, January 24, 2010

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL: Hematemisis dan Melena Karena Pecahnya Varises Esopagus

Hematemisis adalah muntah darah. Sedangkan melena adalah pengeluaran feses yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran cerna bagian atas (Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993).

Warna darah, tergantung:

  • Lamanya hubungan antara atau kontak antara darah dengan asam lambung
  • Besar kecilnya perdarahan,

Sehingga dapat berwarna seperti kopi, kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal.

Hematemisis

Melena

§ Terjadi bila perdarahan dibagian proksimal jejunum (Tondobala, 1987) atau di atas ligamen Treitz /pada jungsi denojejunal (Hudak & Gallo, 1996)

§ Dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan hematemisis.

§ Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 mL, baru dijumpai keadaan melena.

PENYEBAB PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

  • Kelainan esophagus: varises, esophagitis, keganasan
  • Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung & duodenum, keganasan, dll
  • Penyakit darah: leukemia, DIC, purpura trombositopenia, dll.
  • Penyakit sistemik lainnya: uremia, dll
  • Pemakaian obat yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alkohol, dll

Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak di Indonesia adalah karena pecahnya varises esophagus, dengan rata-rata 45-50% seluruh perdarahan saluran cerna bagian atas (Hilmy, 1971: 58%; Soemomarto, 1981: 60%; Abdurrahman: 50%; Hernomo, 1981: 44,8%; dan Ali: 57,43% seperti dikutip Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993)

PATOFISIOLOGI

Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esopagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya teklanan dalam vena ini, maka vena tsb menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah (disebut varises). Varises dapat pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian awal. Jika volume darah tidak digantikan , penurunan perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolsime anaerobi, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan efek pada seluruh sistem tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.

PENATALAKSANAAN

  1. Penatalaksanaan kolaboratif

Intervensi awal mencakup 4 langkah: (a) kaji keparahan perdarahan, (b) gantikan cairan dan produk darah untuk mnengatasi shock, (c) tegakan diagnosa penyebab perdarahan dan (d) rencanakan danlaksanakan perawatan definitif.

a. Resusitasi Cairan dan Produk Darah:

§ Pasang akses intravena dengan kanul berdiameter besar

§ Lakukan penggantian cairan intravena: RL atau Normal saline

§ Kaji terus tanda-tanda vital saat cairan diganti

§ Jika kehilangan cairan > 1500 ml membutuhkan penggantian darah selain cairan. Untuk itu periksa gol darah dan cross-match

§ Kadang digunakan obat vasoaktif sampai cairan seimbang untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi orghan vital, seperti: dopamin, epineprin dan norefineprin untuk menstabilkan pasien sampai dilakukan perawatan definitif.

b. Mendiagnosa Penyebab Perdarahan

§ Dilakukan dengan endoskopi pleksibel

§ Pemasangan selang nasogastrik utuk mengkaji tingkat perdarahan (tetapi kontroversial)

§ Pemeriksaan barium (double contrast untuk lambung dan duodenum.

§ Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3 distal esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

§ Angiografi (jika tidak terkaji dengan endoskofi)

c. Perawatan Definitif

(1) Terapi Endoskofi

§ Skleroterapi, menggunakan pensklerosis: natrium morrhuate atau natrium tetradesil sulfat. Agen ini melukai endotel menyebabkan nekrosis dan akhirnya mengakibatkan sklerosis pembuluh yang berdarah.

§ Endoskopi tamponade termal mencakup probe pemanas, fotokoagulasi laser dan elektrokoagulasi.

(2) Bilas Lambung

§ Dilakukan selama periode perdarahan akut (kontroversial, karena mengganggu mekanisme pembekuan normal. Sebagian lain meyakini lambung dapat membantu membersihkan darah dalam lambung, membantu mendiagnosis penyebab perdarahan selama endoskofi)

§ Jika dinstruksikan bilas lambung maka 1000-2000 ml air atau normal salin steril dalam suhu kamar dimasukan dengan menggunakan NGT. Kemudian dikeluarkan kembali dengan spuit atau dipasang suction sampai sekresi lambung jernih.

§ Bilas lambung pakai es tidak dianjurkan à mengakibatkan perdarahan

§ Irigasi lambung dengan cairan normal saline levarterenol agar menimbulkan vasokontriksi. Setelah diabsorbsi lambung obat dikirim melalui sistem vena porta ke hepar dimana metabolisme terjadi, sehingga reaksi sistemik dapat dicegah. Pengenceran biasanya menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml larutan.

§ Pasien berresiko mengalami apsirasi lambung karena pemasangan NGT dan peningkatan tekanan intragastrik karena darah atau cairan yang digunakan untuk membilas. Pemantauan distensi lambung dan membaringkan pasien dengan kepala ditinggikan penting untuk mencegah refluk isi lambung. Bila posisi tsb kontraindikasi, maka diganti posisi dekubitus lateral kanan—memudahkan mengalirnya isi lambung melewati pilorus.

(3) Pemberian Pitresin

§ Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak menolong, maka diberikan vasopresin (Pitresin) intravena.

§ Obat ini menurunkan tekanan vena porta dan oleh karenanya menurunkan aliran darah pada tempat perdarahan

§ Dosis 0,2-0,6 unit permenit. Karena vasokontsriktor maka harus diinfuskan melalui aliran pusat.

§ Hati-hati karena dapat terjadi hipersensitif

§ Mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretiknya.

(4) Mengurangi Asam Lambung

§ Turunkan keasaman sekresi lambung, dengan obat histamin (H2) antagonistik, contoh: simetidin (tagamet), ranitidin hidrokloride (zantac) dan famotidin (pepcid)

§ Dosis tunggal dapat menurunkan sekresi asam selama hampir 5 jam.

§ Ranitidin iv: 50 mg dicairkan 50 ml D5W setiap 6 jam. Simetidin iv: 300 mg dicairkan dalam dosis intermiten 300 mg dicairkan dalam 50 mg D5W setiap 6 jam atau sebagai infus intravena kontinu 50 mg/jam. Hasil terbaik dicapai jika pH lambung 4 dapat dipertahankan.

§ Antasid juga biasanya diberikan

(5) Memperbaiki Status Hipokoagulasi

§ Pemberian vitamin K dalam bentuk fitonadion (aquaMephyton) 10 mg im atau iv dengan lambat untuk mengembalikan masa protrombin menjadi normal.

§ Dapat pula diberikan plasma segar beku.

(6) Balon Tamponade

Terdapat bermacam balon tamponade antara lain Tube Sangstaken-Blakemore, Minnesota, atau Linton-Nachlas. Alat ini untuk mengontrol perdaraghan GI bagian atas karena varises esophagus.

Tube Sangstaken-Blakemore mengandung 3 lumen: (1) balon gastrik yang dapat diinflasikan dengan 100-200 mL udara, (2) balon esopagus yang dapat diinflasikan dengan 40 mm Hg (menggunakan spigmomanometer) dan lumen yang ke (3) untuk mengaspirasi isi lambung.

Tube Minnesota, mempunyai lumen tambahan dan mempunyai lubang untuk menghisap sekresi paring. Sedangkan tube Linton-Nachlas terdiri hanya satu balon gaster yang dapat diinflasikan dengan 500-600 mL udara. Terdapat beberapa lubang/bagian yang terbuka baik pada bagian esophagus maupun lambung untuk mengaspirasi sekresi dan darah.

§ Tube/slenag Sangstaken-Blakemore setelah dipasang didalam lambung dikembangkan dengan udara tidak lebih dari 50 ml

§ Kemudian selang ditarik perlahan sampai balon lambung pas terkait pada kardia lambung.

§ Setelah dipastikan letaknya tepat (menggunakan pemeriksaan radiografi), balon lambung dpat dikembangkan dengan 100-200 mL udara.

§ Kemudian selang dibagian luar ditraksi dan difiksasi.

§ Jika perdarahan berlanjut balon esopagus dapat dikembangkan dengan tekanan 250 40 mm Hg (menggunakan spigmomanometer) dan dipertahankan dalam 24-48 jam. Jika lebih lama depat menyebabkan edema, esopagitis, ulserasi atau perforasi esopagus.

§ Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini adalah observasi konstan dan perawatan cermat, dengan mengidentifikasi ketiga ostium selang, diberi label dengan tepat dan diperiksa kepatenannya sebelum dipasang.

(7) Asuhan Keperawatan

§ Pasien dipertahankan istirahat sempurna, karena gerakan seperti batuk, mengejanà meningkatkan tekanan intra abdomen (tib) shg dapat terjadi perdarahan lenjut.

§ Bagian kepala tempat tidur tetap ditinggikan untuk mengurangi aliran darah ke sistem porta dan mencegah refluk ke dalam esopagus.

§ Karena pasien tdk dapat menelan saliva harus sering di suction dari esopagus bagian atas

§ Nasoparing harus sering sisuction karena peningkatan sekresi akiat iritasi oleh selang

§ NGT harus diirigasi setiap 2 jam untuk memastikan kepatenannya dan menjaga agar lambung tetap kosong.

§ Lubang hidung harus sering diperiksa, dibersihkan dan diberi pelumas untuk mencegah area penekanan yang disebabkan selang.

§ Jangan membiarkan darah berada dalam lambung karena akan masuk ke intestin dan bereaksi dengan bakteri menghasilkan amonia, yang akan diserap ke dalam aliran darah. Sementara kemapuan hepar untuk merubah amonia menjadi urea rusak, dan dapat terjadi intoksikasi amonia.

(8) Terapi Pembedahan

§ Reseksi lambung (antrektomi)

§ Gastrektomi

§ Gastroentrostomi

§ Vagotomi

Billroth I : prosedur yang mencakup vagotomi dan antrektomi dengan

anastomosis lambung pada duodenum.

Billroth II : meliputi vagotomi, reseksi antrum dan anastomosis lambung pada jejunum

§ Operasi dekompresi hiertensi porta

  1. Penatalaksanaan keperawatan

2.1. Pengkajian

a. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium

Anamnesis: perlu ditanyakan tentang:

§ Riwayat penyakit dahulku: hepatitis, penyakit hati menahun, alkohlisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat ulserogenikdan penyakit darah seperti leuikemia, dll.

§ Pada perdarahan karena pecahnya varises esophgaus, tidak ditemukan keluhan nyeri atau pedih di daerah epigastrium

§ Tanda-gejala hemel timbul mendadak

§ Tanyakan prakiraan jumlah darah: misalnya satu gelas, dua gelas atau lainnya.

Pemeriksaan Fisik:

§ Keadaan umum

§ Kesadaran

§ Nadi, tekanan darah

§ Tanda-tanda anemia

§ Gejala hipovolemia

§ Tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hati: spider nevi, ginekomasti, eritema palmaris, capit medusae, adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai.

Laboratorium:

§ Hitung darah lengkap: penurunan Hb, Ht, peningkatan leukosit

§ Elektrolit: penurunan kalium serum; peningkatan natrium, glukosa serum dan laktat.

§ Profil hematologi: perpanjangan masa protrombin, tromboplastin

§ Gas darah arteri: alkalosis respiratori, hipoksemia.

b. Pemeriksaan Radiologis

§ Dilakukan dengan pemeriksaan esopagogram untuk daerah esopagus dan double contrast untuk lambung dan duodenum.

§ Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3 distal esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

c. Pemeriksaan Endoskopi

§ Untuk menentukan asal dan sumber perdarahan

§ Keuntungan lain: dapat diambil foto, aspirasi cairan dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik

§ Dilakukan sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

2.1. Diagnosa Keperawatan

1) Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut, penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.

2) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan faktor-faktor resiko aspirasi.

3) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena

4) Ansietas berhubungan dengan sakit kritis, ketakutan akan kematian ataupun

kerusakan bentuk tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial atau

ketidakmampuan yang permanen.

2.2. Intervensi Keperawatan

Diagnosa keperawatan

Tujuan

Intervensi keperawtan

Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut, penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.

Pasien akan tetap stabil secara hemodinamik

§ Pantau vs setiap jam

§ Pantau nilai-nilai hemodinamik

§ Ukur output urine tiap jam

§ Ukur I dan O dan kaji keseimbangan

§ Berikan cairan pengganti dan produk darah sesuai instruksi. Pantau adanya reaksi yang merugikan terhadap komponen terapi.

§ Tirang baring total, baringkan pasien terlentang dg kaki ditinggikan untuk meningkatkan preload jika pasien mengalami hipotensi. Jika terjadi normotensi tempatkan tinggi bagian kepala tempat tidur pada 45 derajat untuk mencegah aspirasi isi lambung.

§ Pantau Hb dan Ht

§ Pantau elektrolit

§ Periksa feses terhadap darah untuk 72 jam setelah masa akut.

Lanjutan

Diagnosa keperawatan

Tujuan

Intervensi keperawtan

Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan faktor-faktor resiko aspirasi.

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena

Pasien akan mempertahankan oksigenasi dan pertukran gas yang adekuat

Pasien tidak akan mengalami infeksi nosokomial

§ Pantau SaO2 dengan menggunakan oksimetri atau ABGs

§ Pantau bunyi nafas dan gejala-gejala pulmoner

§ Gunakan suplemen O2 sesuai instruksi

§ Pantau suhu tubuh

§ Pantau adanya distensi abdomen

§ Baringkan pasien pada bagian kepala tempat tidur yang ditinggikan jika segalanya memungkinkan

§ Pertahankan fungsi dan patensi NGT dengan tepat

§ Atasi segera mual

§ Pertahankan kestabilan selang intravena.

§ Ukur suhu tubuh setiap jam

§ Pantau sistem intravena terhadap patensi, infiltrasi, dan tanda-tanda infeksi

§ Ganti letak intravena setiap 48-72 jam dan jika perlu

§ Ganti larutan intravena sedikitnya tiap 24 jam

§ Letak insersi setiap shift

§ Gunakan tehnik aseptik saat mengganti balutan dan selang. Pertahankan balutan bersih dan steril

§ Ukur sel darah putih

DAFTAR PUSTAKA

Hudak dan Galo. (1996). Keperawatan kritis: Pendekatan holistik. (Vol. II, edisi 6). Jakarta: EGC.

Lanros, N.E., dan Barber, J.M. (2000). Emergency nursing. (4th ed.). Stamford: Appleton & Lange.

Suparman. (1987). Ilmu penyakit dalam. (Jilid I, edisi kedua). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

http://askep-askeb.cz.cc/

IMPLIKASI PSIKOSOSIAL DALAM KEPERAWATAN KRITIS

PENDAHULUAN

Aspek psikososial dari sakit kritis merupakan suatu tantangan yang unik bagi perawat pada keperawatan kritis. Perawat harus secara seimbang dalam memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun kliennya dalam suatu lingkungan yang dapat menimbulkan stress dan dehumanis. Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai pengetahuan tentang bagaimana keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan psikososial pasien, keluarga dan petugas kesehatan.

FENOMENA STRES

ICU seringkali digambarkan sebagai suatu tempat yang penuh dengan stress, tidak hanya bagi klien dan keluarganya tetapi juga bagi perawat. Pemahaman yang baik tentang stres dan akibatnya akan membantu ketika bekerja pada unit keperawatan kritis. Pemahaman ini dapat memungkinkan perawat untuk mengurangi efek destruktif stress dan meningkatkan potensi positif dari stress baik pada pasien dan dirinya sendiri.

Stres

Stress didefinisikan sbg respon fisik dan emosional terhadap tuntutan yang dialami individu yang diiterpretasikan sebagai sesuatu yang mengancam keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Stres merupakan suatu fenomena komplek, dimana sekumpulan komponen saling berinteraksi dan bekerja serentak. Ketika sesuatu hal mengubah satu komponen subsistem, maka keseluruhan sistem dapat terpengaruh. Jika tuntutan untuk berubah menyebabkan ketidakseimbangan (disequilibrium) pada sistem, maka terjadilah stress. Individu kemudian memobilisasi sumber-sumber koping untuk mengatasi stress dan mengembalikan keseimbangan. Idealnya, stress bergabung dengan perilaku koping yang tepat akan mendorong suatu perubahan positif pada individu. Ketika stress melebihi kemampuan koping seseorang, maka potensi untuk menjadi krisis dapat terjadi.

Stresor

Stressor merupakan faktor internal maupun eksternal yang dapat mengubah individu dan berakibat pada terjadinya fenomena stress (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Sumber stressor dapat berasal dari subsistem biofisikal, psikososial atau masyarakat. Stressor biofisik antara lain organisme infeksius, proses penyakit atau nutrisi yang buruk. Sedangkan contoh stressor psikososial adalah harga diri yang rendah, masalah hubungan interpersonal, dan krisis perkembangan. Stressor ini berasal dari masyarakat luas seperti fluktuasi ekonomi polusi dan teknologi tinggi.

Bagaimana orang mengalami suatu stressor tergantung pada persepsinya tentang stressor dan sumber kopingnya. Stress juga merupakan tambahan (additive). Jika seseorang mendapat serangan stressor yang multipel, maka respon stress akan lebih hebat.

Respon stres

Rspon stress dapat diinduksi oleh stressor biofisik, psikososial atau stressor social. Hans Selye dalam Emanuelsen & Rosenlicht (1986) mengemukakan temuanya tentang stress kedalam suatu model stress yang disebut general adaptation syndrome (GAS). GAS terdiri atas 3 tahap yaitu (a) alarm respon, (b) stage of resistance dan stage of exhaustion.

Alarm respon. Merupakan tahap pertama dan ditandai oleh respon cepat, singkat, melindungi/memelihara kehidupan dimana merupakan aktivitas total dari system saraf simpatis. Tahap ini sering disebut dengan istilah menyerang atau lari (fight-or-flight response).

Stage of resistance. Merupakan tahap kedua, dimana tubuh beradaptasi terhadap ketidakseimbangan yang disebabkan oleh stressor. Tubuh bertahan pada tahap ini sampai stressor yang membahayakan hilang dan tubuh mampu kembali kekeadaan homeostasis. Jika semua energi tubuh tubuhnya digunakan untuk koping, maka dapat terjadi tahap yang ketiga yaitu tahap kelelahan.

Stage of exhaustion. Saat semua energi telah digunakan untuk koping, maka tubuh mengalami kelelahan dan berakibat pada terjadinya sakit fisik, gangguan psikososial dan kematian.

KLIEN

Klien yang sakit dan harus masuk ke ruang ICU tidak saja bertambah menderita akibat stress sakit fisiknya tetapi juga stress akibat psikososialnya. Konsekuensinya, perawat yang melakukan asuhan keperawatan pada unit keperawatan kritis didesign untuk memelihara atau mengembalikan semua fungsi fisik vital dan fungsi-fungsi psikososial yang terganggu oleh keadaan sakitnya.

Respon psikososial

Respon psikososial klien terhadap pengalaman keperawatan kritis mungkin dimediasi oleh fenomena internal seperti keadaan emosional dan mekanisme koping atau oleh fenomena eksternal seperti kuantitas dan kualitas stimulasi lingkungan.

Reaksi emosional. Intensitas reaksi emosional dapat mudah dipahami jika menganggap bahwa ICU adalah tempat dimana klien berusaha menghindari kematian. Klien dengan keperawatan kritis memperlihatkan reaksi emosional yang dapat diprediksi dimana mempunyai cirri-ciri yang umum, berkaitan dengan sakitnya. Takut dan kecemasan secara umum adalah reaksi pertama yang tampak. Klien mungkin mengalami nyeri yang menakutkan, prosedur yang tidak nyaman, mutilasi tubuh, kehilangan kendali, dan/atau meninggal.

Depresi seringkali muncul setelah takut dan kecemasan. Depresi seringkali merupakan respon terhadap berduka dan kehilangan.pengalaman kehilangan dapat memicu memori dimasa lalu muncul kembali dengan perasaan sedih yang lebih hebat.

Marah dapat terjadi setelah atau selama depresi. Seringkali marah menyembunyikan adanya depresi dan dapat mencegah klien jatuh ke dalam depresi yang lebih dalam. Klien dapat merasa marah atau benci tentang sakitnya dan seringkali mengeluh bahwa hidup tidaklah adil.

Mekanisme koping

Mekanisme koping merupakan skumpulan strategi mental baik disadari maupun tidak disadari yg digunakan untuk menstabilkan situasi yang berpotensi mengancam dan membuat kembali ke dalam keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Strategi koping klien merupakan upaya untuk menimbulkan stabilitas emosional, menguasai lingkungan, mendefinisikan kembali tugas/tujuan hidup, dan memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh karena sakit/penyakit. Beberapa contoh perilaku koping adalah humor, distraksi, bertanya untuk suatu informasiberbicara dengan yang lain tentang keluhan/perasaan-perasaannya, mendefinisikan kembali masalah kedalam istilah yang lebih disukai, menghadapi masalah dengan dengan melakukan beberapa tindakan, negosiasi kemungkinan pilihan/alternatif, menurunkan ketegangan dengan minum, makan atau menggunakan obat, menarik diri, menyalahkan seseorang atau sesuatu, menyalahkan diri sendirimenghindar dan berkonsultasi dengan ahli agama.

DAFTAR PUSTAKA

Emanuelsen, K.L. & Rosenlicht, J.McQ. (1986). Handbook of critical care nursing. New York: A Wiley Medical Publication.

http://askep-askeb.cz.cc/

TIPS POSISI TIDUR YANG BAIK UNTUK IBU HAMIL

Kehamilan merupakan anugerah tak terhingga, keberadaan bayi yang merupakan penerus dari kelangsungan hidup manusia harus selalu dijaga hingga ia lahir kelak. salah satu hal yang penting diperhatikan adalah bahwa perubahan fisik ibu berpengaruh pada pola istirahatnya.

Pada kehamilan trimester awal ibu hamil dapat tidur dan beristirahat dengan berbagai posisi apapun yang penting dapat memberikan rasa nyaman untuk ibu.

Ibu hamil sebaiknya tidak perlu kuatir bayi dalam kandungan anda merasa tak nyaman atau berbahaya, karena tubuh ibu di ciptakan begitu unik sehingga dapat memberikan perlindungan, juga janin dalam kandungan anda tidak pernah merasa tak nyaman karena janin dalam kandungan mengapung dalam cairan ketuban dan mempunyai ruang sendiri untuk bergerak bebas.

TIDUR DENGAN POSISI TENGKURAP aman saja buat ibu hamil tapi biasanya pasa kehamilan trimester pertama, adanya pembesaran payudara dan juga payudara lebih sensitive akan menimbulkan ketidaknyamanan untuk tidur tengkurap, dan pada saat dimana perut anda sudah mulai membesar (awal 14 minggu) tidur dengan posisi tengkurap menjadi sangat tidak nyaman karena anda harus menyokong paha dengan bantal untuk dapat tidur tengkurap karena perut yang mulai membesar. Dari suatu survey ibu hamil yang tidur dengan posisi tengkurap sebelum 16 minggu 1% tapi setelah lebih 16 minggu menjadi 0 %.

TIDUR DENGAN POSISI TELENTANG, dianjurkan setelah kehamilan 16 minggu ibu hamil untuk tidak tidur telentang, karena dengan tidur posisi telentang anda meletakan seluruh berat rahim ke bagian belakang, usus, dan vena cava inferior. Tidur posisi telentang juga dapat meningkatkan resiko sakit pinggang, wasir, dan gangguan pencernaan, dan menganggu pernafasan dan sirkulasi. Posisi tidur telentang pada trimester ke dua dan tiga juga dapat mempengaruhi tekanan darah. Untuk beberapa wanita, menyebabkan penurunan tekanan darah yang membuat mereka merasa pusing, untuk yang lain, malah meningkatkan tekanan darah. Pada kasus kehamilan dengan tekanan darah tinggi tidur dengan posisi telentang sangat TIDAK dianjurkan.

Sebenarnya posisi tidur yang bagaimanakah yang terbaik?

Belum ada penelitian lebih lanjut tentang posisi tidur yang aman untuk wanita hamil, tapi sangat dianjurkan setelah kehamilan 16 minggu, sebaiknya ibu hamil tidur dengan POSISI MIRING KE SISI KIRI, karena posisi ini memberi keuntungan untuk bayi anda untuk mendapatkan aliran darah dan nutrisi yang maksimal ke plasenta karena adanya vena besar (vena cava inferior) di bagian belakang sebelah kanan spina yang mengembalikan darah dari tubuh bagian bawah ke jantung. Juga dapat membantu ginjal untuk membuang sisa produk dan cairan dari tubuh ibu sehingga mengurangi pembengkakan pada kaki, pegelangan kaki dan tangan.

Tidur POSISI MIRING KE KANAN, juga baik, anda dapat menganti posisi miring kekanan-kiri untuk membuat anda tidur lebih nyaman.

Jika anda terbangun malam dan menemukan anda tidur telentang, jangan kuatir,—anda tidak melakukan seseuatu yang mencelakai bayi anda. Kembalikan saja ke posisi miring. Lagipula pada kehamilan lanjut, dimana perut sudah membesar, disertai kondisi lain seperti kram, sering kencing, kontraksi palsu, bayi anda yang menendang perut, rasa asam lambung yang meningkat yang akan menyebabkan ibu akan terbangun beberapa kali di malam hari sehingga ibu sudah pasti akan berubah posisi tidur beberapa kali karenanya dan otomatis tidak seterusnya tidur dengan posisi telentang.

Tips: Untuk tidur dengan posisi miring yang lebih nyaman taruhlah bantal diantara dengkul anda dan satu dipunggung anda. Atau anda dapat membeli bantal khusus ibu hamil.

sumber: infoibu.com

Pemberian Oksigen Melalui Nasal Kanul

URAIAN UMUM

Suatu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh pada pasien yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan oksigen

PERSIAPAN

Persiapan Klien

- Cek perencanaan Keperawatan klien

- Klien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan

Persiapan Alat

- Tabung / central oksigen yang sudah dilengkapi dengan socket dan manometer / flowmeter

- Humedifier yang sudah di isi dengan aquadest sampai pembatas yang sudah ditentukan

- Nasal kanul

PELAKSANAAN

- Perawat cuci tangan

- Atur posisi yang nyaman

- Periksa manometer central O 2 / tabung O 2, humedifier dan flowmeter

- Hubungkan kanul dengan O 2 / alirkan O 2 yang rendah

- Masukan kedua ujung kanul ke dalam lubang hidung

- Mengatur aliran O 2 yang sesuai dengan terapi

- Membersihkan nasal kanul setiap 8 jam sekali

- Perawat cuci tangan

- Perhatikan dan catat reaksi klien setelah melakukan tindakan

EVALUASI

- Perhatikan respon klien dan hasil tindakan

DOKUMENTASI

Mencatat tindakan yang telah dilakukan (waktu pelaksanaan, respon klien, hasil tindakan, perawat yang melakukan ) pada catatan keperawatan

Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi kronis yang menyerang hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Program Penanggulangan TBC, khususnya TBC Paru di Indonesia telah dimulai sejak diadakan Simposium Pemberantasan TBC Paru di Ciloto pada tahun 1969. Namun sampai sekarang perkembangannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada tahun 2003, World Health Organitation (WHO) dalam Annual Report on TB Control menyatakan bahwa Indonesia merupakan penyumbang kasus TBC terbesar ketiga setelah Cina dan India (Depkes RI, 2005: ix dan WHO, 2005: 1)
Menurut data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan Survey Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN) tahun 2001, TBC merupakan penyebab kematian ketiga terbesar (9,4% total kematian) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. SKRTN (2001) mengungkapkan angka prevalensi TBC diperkirakan 800 per 100.000 penduduk yang didasarkan atas adanya gejala-gejala TBC tanpa dilakukan pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2005: ix dan WHO, 2005: 1)

Pada dekade 2000-an, TBC dinyatakan WHO sebagai reemerging disease. Hal ini disebabkan karena angka TBC yang pada dekade 90-an dinyatakan menurun, kembali meningkat. Khususnya di Indonesia, angka TBC tidak pernah turun, bahkan cenderung meningkat (Muttaqin, 2007: 79)
Menyusul digelarnya Kongres I TBC pada tanggal 18-19 November 2006 di Jakarta, dikemukakan fakta-fakta tentang TBC, antara lain:
1. Sekitar 10% pasien TBC di dunia adalah orang Indonesia (Data WHO, 2000).
2. Setiap 2,5 menit akan muncul satu penderita TBC baru di Indonesia (insiden TBC 110/100.000 penduduk pertahun, data survey nasional 2004).
3. Setiap 4 menit satu orang Indonesia akan meninggal karena TBC (Publikasi WHO, 2000).
4. Berdasarkan data terbaru (2004) maka jumlah pasien TBC menular di Jawa/Bali adalah 67/100.000 penduduk, di Sumatera 203/100.000 dan Kawasan Timur Indonesia 246/100.000.
5. Secara nasional, pada setiap 100.000 penduduk Indonesia ada 125 pasien TBC menular (Survey TBC Nasional, 2004).
6. Setiap detik ada satu orang terinfeksi TBC di dunia (WHO, 2005).
7. Jumlah seluruh pasien TBC di dunia adalah 8.810.000 orang setahunnya, di mana 3.897.000 diantaranya adalah TBC yang menular.
8. Setiap tahun di dunia ada 1.747.000 orang yang meninggal karena TBC.
9. Sedikitnya sepertiga penduduk dunia saat ini telah terinfeksi kuman TBC.
Sejarah pengobatan TBC pada manusia diawali pada tahun 1944 dengan ditemukannya Streptomisin sebagai Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pertama, sampai kemudian pada tahun 1949 ditemukan Asam Para Amino Salisilat (PAS) yang dapat mencegah terjadinya resistensi terhadap Streptomisin. Sejak itu pengobatan TBC selalu menggunakan dua jenis obat atau lebih. Kemudian pada tahun 1952 ditemukan Isoniazid (INH) yang menjadi komponen penting dalam pengobatan TBC karena sangat efektif, toksisitasnya rendah dan harganya murah. Pada tahun 1972 mulai digunakan Rifampisin sebagai paduan obat jangka pendek yang pemberiannya dikombinasi dengan Ethambutol agar waktu pengobatan dipersingkat menjadi 6 bulan atau separuh dari waktu pengobatan dengan Streptomisin yang masa pengobatannya 12 bulan, dengan efek terapi yang tidak berkurang (Girsang, 2002: 5).
Tahun 1993/1994 OAT untuk program penanggulangan TBC dikemas dalam bentuk blister kemasan harian yang disebut kombipak (paket kombinasi). Obat yang digunakan terdiri atas: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E) serta Streptomisin (S) yang sediannnya dalam bentuk injeksi. Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai strategi komprehensif yang digunakan dalam pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TBC, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat (Girsang, 2002: 5-6).
Salah satu permasalahan dalam Program Penanggulangan TBC adalah lamanya jangka waktu pengobatan yang harus dijalani penderita selama 6 sampai 8 bulan. OAT yang digunakan dalam Program Penanggulangan TBC saat ini dan disediakan secara gratis oleh pemerintah adalah paduan OAT yang disebut FDC (Fixed Dose Combination). FDC tersedia dalam beberapa kategori yaitu FDC Kategori 1 untuk penderita TBC baru, FDC Kategori 2 untuk penderita TBC kambuh atau gagal, FDC sisipan dan FDC anak. FDC Kategori 1 merupakan OAT yang paling banyak digunakan karena penderita TBC yang ditemukan dan diobati sebagian besar adalah tipe baru.
Penggunaan FDC di Indonesia diawali dengan uji coba di Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1999 dengan hasil yang cukup memuaskan. Dari 172 penderita yang diobati dengan FDC di 16 Puskesmas, tidak ada penderita yang menolak pengobatan dengan tablet FDC, hanya sekitar 10% yang mengeluh efek samping minor tetapi FDC tidak harus dihentikan dan hanya 1 penderita (0,6%) yang mendapat efek samping mayor di mana obat harus dihentikan. Hasil pengobatannya sama dengan kelompok kontrol yang diobati dengan kombipak yaitu 96% penderita dinyatakan sembuh (Depkes RI, 2004: 2)

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Pengertian
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah obat yang merupakan kombinasi beberapa jenis antibotik untuk pengobatan Tuberkulosis (TBC) atau disebut juga dengan istilah Tuberkulostatika (Tjay dan Rahardja, 2003: 148).
b. Paduan OAT di Indonesia
Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose Combination (2004: 1) menjelaskan bahwa paduan OAT yang disediakan dan digunakan saat ini dalam bentuk paket disebut dengan Fixed Dose Combination (FDC) yang merupakan tablet berisi kombinasi beberapa jenis OAT dengan dosis tetap. Kemajuan bidang farmakologi memungkinkan untuk membuat tablet kombinasi yang terdiri atas beberapa macam OAT tanpa mengganggu bio-availability obat tersebut.
Paduan OAT FDC di Indonesia terdiri atas: Kategori 1 (2HRZE/4HR3), Kategori 2 (2HRZES/1HRZE/5HR3E3), Sisipan (HRZE) dan paduan OAT FDC anak (2HRZ/4HR).
Penggunaan FDC dalam pengobatan TBC memberikan beberapa keuntungan seperti lebih aman, mudah pemberiannya, lebih nyaman untuk penderita karena menelan tablet yang lebih sedikit sehingga meningkatkan penerimaan dan kepatuhan berobat, dosis lebih sesuai dengan berat badan penderita serta pengelolaannya lebih mudah.
c. Prinsip pengobatan
Tujuan pengobatan Tuberkulosis sebagaimana disebutkan dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 37) adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, menurunkan tingkat penularan dan mencegah resistensi.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 38) menjelaskan bahwa OAT ditelan sebagai dosis tunggal dalam jumlah cukup dan tepat selama 6 sampai 8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh.
Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1) Tahap intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita menelan obat setiap hari dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
Pengobatan tahap intensif berlangsung selama 2 sampai 3 bulan (8 sampai 12 minggu) di mana penderita menelan OAT setiap hari.
2) Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama, berlangsung selama 4 sampai 5 bulan (16 sampai 20 minggu). Pada tahap lanjutan ini penderita menelan obat secara intermitten tiga kali seminggu.

d. Jenis dan dosis OAT
Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 37-38) jenis dan dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan saat ini terdiri atas:

1) Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid , dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB.
2) Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kgBB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3 kali seminggu.
3) Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kgBB.
4) Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kgBB.
5) Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk yang berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
Sediaan OAT INH, Rifampisin, Pirasinamid dan Etambutol dalam bentuk tablet dan diberikan per oral, sedangkan Streptomisin diberikan melalui injeksi intramuskuler.

Jenis-jenis tablet FDC untuk dewasa terdiri atas:
1) Tablet yang mengandung 4 macam obat dikenal sebagai tablet 4FDC. Setiap tablet mengandung: 75mg Isoniasid (INH), 150mg Rifampisin, 400mg Pirasinamid dan 275mg Etambutol.
Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita.
2) Tablet yang mengandung 2 macam obat dikenal sebagai tablet 2FDC. Setiap tablet mengandung: 150mg Isoniasid (INH) dan 150mg Rifampisin.
Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita.
Disamping itu, tersedia obat lain untuk melengkapi paduan obat kategori 2, yaitu:
1) Tablet etambutol @ 400mg
2) Streptomisin injeksi vial @ 750mg atau vial @ 1gr
3) Aquabidest.
Dasar Perhitungan Pemberian OAT FDC:
1) Kategori I
Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis.
• Tahap lanjutan: 4 bulan x 4 minggu x 3 kali = 48 dosis.
Diberikan kepada: penderita baru TBC Paru BTA positif, penderita baru TBC Paru BTA negatif rontgen positif (ringan atau berat) dan penderita TBC Ekstra Paru (ringan atau berat).

Tabel 2.1 Dosis untuk Kategori I (2HRZE/4HR3)
Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan 3 x Seminggu
Selama 56 Hari Selama 16 Minggu
30-37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC
38-54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC
55-70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC
≥ 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC

2) Kategori II
Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif untuk tablet 4FDC: 3 bulan x 4 minggu x 7 hari = 84 dosis, untuk Streptomisin injeksi: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis
• Tahap lanjutan: 5 bulan x 4 minggu x 3 kali = 60 dosis
Diberikan kepada: penderita TBC BTA positif kambuh, gagal, dan yang berobat kembali setelah lalai (default) dengan BTA positif.

Tabel 2.2 Dosis untuk Kategori II (2HRZES/1HRZE/5HR3E3)
Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan
Selama Selama 3 x Seminggu
56 Hari 28 Hari Selama 20 Minggu
30-37 kg 2 tab 4FDC + 2 tab 4FDC 2 tab 2 FDC +
500 mg Streptomisin inj 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4FDC + 3 tab 4FDC 3 tab 2 FDC +
750 mg Streptomisin inj 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4FDC + 4 tab 4FDC 4 tab 2 FDC +
1000 mg Streptomisin inj 4 tab Etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4FDC + 5 tab 4FDC 5 tab 2 FDC +
1000 mg Streptomisin inj 5 tab Etambutol

3) OAT Sisipan
OAT sisipan diberikan bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada penderita BTA positif tidak terjadi konversi, maka diberikan obat sisipan 4FDC (HRZE) setiap hari selama 28 hari dengan jumlah tablet setiap kali menelan sama dengan sebelumnya.

4) Kategori Anak
Diberikan pada penderita TBC anak, yaitu yang berusia 0 sampai 14 tahun. Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis
Obat yang digunakan adalah tablet 3FDC yang mengandung 30 mg Isoniasid (INH), 60 mg Rifampisin, 150 mg Pirasinamid.
• Tahap lanjutan: 4 bulan x 4 minggu x 7 hari = 112 dosis
Obat yang digunakan adalah tablet 2FDC yang mengandung 30 mg Isoniasid (INH), 600 mg Rifampisin.

Tabel 2.3 Dosis untuk Kategori Anak (2HRZ/4HR)
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan Tiap Hari Tiap Hari
Selama 2 Bulan Selama 4 Bulan
≤ 7 kg 1 tablet 3 FDC 1 tablet 2 FDC
8-9 kg 1,5 tablet 3 FDC 1,5 tablet 2 FDC
10-14 kg 2 tablet 3 FDC 2 tablet 2 FDC
15-19 kg 3 tablet 3 FDC 3 tablet 2 FDC
20-24 kg 4 tablet 3 FDC 4 tablet 2 FDC
25-29 kg 5 tablet 3 FDC 5 tablet 2 FDC


e. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan
Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 42-43), pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada penderita TBC dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada:
1) Akhir tahap intensif.
2) Sebulan sebelum akhir pengobatan.
3) Akhir pengobatan
Hasil pengobatan seorang penderita TBC seperti dijelaskan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI, 2005: 45-47) dapat dikategorikan sebagai: sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah (tansfer out), defaulter (lalai)/DO dan gagal.
f. Pengawas menelan obat
Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat atau PMO seperti seseorang yang dikenal, dipercaya, disetujui, tinggal dekat penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela, bisa dari petugas kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, guru atau anggota keluarga terdekat (Depkes RI, 2005: 48-49).
Tugas seorang PMO adalah :
1) Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai gejala-gejala tersangka TBC untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

2. Efek samping obat
a. Pengertian
Efek samping biasanya dianggap sebagai gejala-gejala yang muncul akibat pemberian obat dan tidak berhubungan dengan kerja obat yang dimaksud atau diinginkan. Meskipun tidak diharapkan dan mengganggu, efek samping cukup sering terjadi pada dosis biasa sehingga pasien harus waspada mengenai kemungkinan terjadinya dan bagaimana menghadapinya (Deglin dan Vallerand, 2005: xxv).
Menurut Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (2007: 2) efek samping obat adalah setiap efek dari suatu pengobatan yang tidak dikehendaki, merugikan atau membahayakan pasien. Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar dapat diketahui.
Dampak negatif masalah efek samping obat dalam klinik antara lain dapat menimbulkan keluhan atau penyakit baru karena obat, meningkatkan biaya pengobatan, mengurangi kepatuhan berobat serta meningkatkan potensi kegagalan pengobatan (Bagian Farmakologi Klinik FK UGM, 2007: 2).
b. Klasifikasi
Efek samping obat dapat dikelompokkan atau diklasifikasikan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi klinis dan sebagainya.
Bagian Farmakologi FK UGM (2007: 3) membagi jenis efek samping obat sebagai berikut:
1) Efek samping yang dapat diperkirakan:
- Aksi farmakologik yang berlebihan.
- Respon karena penghentian obat.
- Efek samping yang tidak berupa efek farmakologi utama.
2) Efek samping yang tidak dapat diperkirakan:
- Reaksi alergi.
- Reaksi karena faktor genetik.
- Reaksi idiosinkratik.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi efek samping obat
Berdasarkan hasil penelusuran literatur yang penulis dapatkan maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap munculnya efek samping obat terbagi atas tiga faktor, yaitu: faktor karakteristik obat, faktor karakteristik pasien/klien dan faktor cara pemberian obat (Siregar, 2005: 242-244 serta Potter dan Perry, 2005: 1000-1020).
1) Faktor karakteristik obat yang mempengaruhi timbulnya efek samping obat terdiri atas: dosis, jumlah, efek farmakologi dan toksisitas.
Dosis dan jumlah obat yang diberikan, untuk sebagian besar menentukan apakah seorang pasien akan mengalami efek samping atau tidak. Dosis yang berlebihan pada umumnya akan menimbulkan berbagai efek samping pemakaian obat. Besarnya dosis dan jumlah obat juga akan menentukan bagaimana obat tersebut akan diabsorpsi, didistribusi, dimetabolisme, dan diekskresikan oleh tubuh.
Obat-obat dengan multi efek farmakologi juga akan lebih cenderung menyebabkan reaksi merugikan dari suatu obat (Siregar, 2005: 242-243 serta Potter dan Perry, 2005: 999).
2) Faktor karakteristik pasien yang mempengaruhi timbulnya efek samping obat meliputi: umur, jenis kelamin, genetik, kepatuhan dengan regimen obat, penyakit, status nutrisi, stress fisik dan emosional.
Umur adalah suatu faktor penentu yang penting dan berdampak langsung terhadap kerja obat, oleh karena itu dapat mempengaruhi timbulnya efek samping. Bayi tidak memiliki banyak enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat normal. Perkembangan sistem enzim hati yang belum sempurna, konsentrasi darah lebih tinggi dan waktu paruh dari obat lebih lama pada bayi dari pada orang dewasa. Sejumlah perubahan fisiologis yang menyertai penuaan mempengaruhi respon terhadap terapi obat. Orang tua diketahui sering menderita efek samping yang lebih tinggi daripada kelompok umur yang lebih muda (Siregar, 2005: 243 serta Potter dan Perry, 2005: 1000).
Sedangkan perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita dapat mempengaruhi timbulnya efek samping dikaitkan dengan perbedaan hormonal yang mengubah metabolisme obat tertentu. Hormon dan obat saling bersaing dalam biotransformasi karena kedua senyawa tersebut terurai dalam proses metabolik yang sama (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Susunan genetik juga dapat mempengaruhi biotransformasi obat. Pola metabolik dalam keluarga seringkali sama. Faktor genetik menentukan apakah enzim yang terbentuk secara alami ada untuk membantu penguraian obat. Akibatnya anggota keluarga sensitif terhadap suatu obat (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Kepatuhan dengan regimen obat berkaitan dengan ketidakmampuan atau ketidakmauan pasien menggunakan obat dengan tepat juga merupakan suatu faktor utama terhadap timbulnya efek samping obat. Kepatuhan pasien yang buruk terhadap regimen terapi obat dapat mengakibatkan penggunaan suatu dosis obat yang berlebihan atau kurang, atau penggunaan obat di luar waktu yang sewajarnya yang akhirnya menimbulkan efek obat yang tidak diinginkan (Siregar, 2005: 243).
Penyakit dapat mengubah fungsi normal tubuh, dan sebagai akibatnya farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang dikonsumsi juga akan berubah. Setiap penyakit yang merusak fungsi organ yang bertanggung jawab terhadap farmakokinetik normal (seperti: perubahan integritas kulit, penurunan absorpsi dan motilitas saluran cerna, kerusakan fungsi hati dan ginjal) juga akan merusak kerja obat, mengurangi efektifitas obat dan atau membuat pasien berisiko mengalami efek obat yang merugikan (Siregar, 2005: 243-244 serta Potter dan Perry, 2005: 1000).
Status nutrisi yang buruk mempengaruhi sel sehingga tidak dapat berfungsi dengan normal yang kemudian mengakibatkan biotranformasi tidak berlangsung. Seperti semua fungsi tubuh, metabolisme obat bergantung pada nutrisi yang adekuat untuk membentuk enzim dan protein. Kebanyakan obat berikatan dengan protein sebelum didistribusikan ke tempat kerja obat (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Stress fisik dan emosional yang berat akan memicu respon hormonal yang pada akhirnya mengganggu metabolisme obat pada klien. Radiasi ion, pajanan panas dan dingin adalah contoh stressor fisik yang dapat mempengaruhi respon terhadap obat. Demikian juga dengan sejumlah faktor psikologis dan emosional seseorang akan mempengaruhi penggunaan obat dan respon terhadap obat. Sebagai contoh sikap seseorang terhadap obat dapat berakar dari pengalaman sebelumnya, motivasi untuk sembuh atau pengaruh keluarga (Potter dan Perry, 2005: 1000).
3) Faktor cara pemberian obat yang dapat mempengaruhi timbulnya efek samping obat yaitu: rute, waktu, dan durasi.
Rute pemberian obat peroral, injeksi, topikal, inhalasi dan lain-lain dapat memberikan perbedaan efek obat yang ditimbulkan. Hal tersebut berkaitan dengan perbedaan absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi dari suatu obat pada masing-masing rute pemberian (Potter dan Perry, 2005: 1019).
Sedangkan waktu dan durasi pemberian obat berkaitan dengan siklus sirkadian yang dihubungkan dengan kronobiologi, kronofarmakologi dan kronofarmakokinetika dari suatu obat (Potter dan Perry, 2005: 1019, http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008). Siklus sirkadian yang terdiri dari siklus siang (diurnal) dan siklus malam (nokturnal) adalah irama yang mempengaruhi perubahan fisik dan mental yang terjadi secara teratur setiap hari. Irama tersebut dikontrol oleh body,s biological clock yang terletak dan merupakan bagian dari otak yang disebut supra chiasmastic nucleus (SCN), yaitu bundle saraf (mengandung sepuluh ribuan sel saraf) yang berada di persilangan dua jaras saraf mata. Irama siklus sirkadian tersebut sampai saat ini diketahui berbeda-beda baik untuk keadaan tidur, terjaga, lapar, kepekaan terhadap obat dan seks (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008).
Syekh Yusuf al-Hajj Ahmad dalam buku Al Qur’an Kitab Sains dan Medis (2006: 125-127) menyebutkan bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk merenungi hikmah pergantian siang dan malam seperti dalam surah Al Baqarah ayat 164, Ali Imran ayat 190, Yunus ayat 67, Ar Ra’d ayat 3, Al Isra ayat 12, Al Mu’minun ayat 80, Al Furqan ayat 47, An Naml ayat 86, Ar Rum ayat 23, Al Mu’min ayat 61, Al Jatsiyah ayat 5, Al Muzammil ayat 7 dan 20, serta An Naba ayat 10 dan 11.
Berikut kutipan dari Surah Al Baqarah ayat 164 yang artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang , bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Lembaga Percetakan Al Qur’an Raja Fahd, 2002: 40).

d. Efek samping OAT
Penderita TBC dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping dan sebagian mengalami efek samping. Bagian Farmakologi FK UGM (2007: 4) menjelaskan bahwa efek samping OAT pada umumnya diklasifikasikan sebagai efek samping obat yang tidak berupa efek farmakologi utama.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 53-57) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasarkan sifatnya efek samping OAT dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Efek samping minor yaitu efek samping yang hanya menyebabkan sedikit perasaan tidak enak. Gejala-gejalanya sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simptomatik, obat sederhana, dan atau pengaturan pola waktu menelan OAT. Dalam hal ini pemberian OAT dapat diteruskan (lihat tabel 2.6)

Tabel 2.4 Efek Samping Minor OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Anoreksia, mual,
sakit perut Rifampisin Obat ditelan malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan s/d
rasa terbakar di kaki Isoniasid (INH) Beri vitamin B6 (piridoksin)
100mg/hari
Warna kemerahan pada urine Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
perlu penjelasan kepadaPenderita


2) Efek samping mayor yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (lihat tabel 2.7)

Tabel 2.5 Efek Samping Mayor OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Beri antihistamin, OAT
diteruskan dengan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT pengawasan ketat.
Bila bertambah berat,
Hentikan pemberian OAT, rujuk ke UPK
perawatan.
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OATHentikan semua OAT sampai ikterus
hilang
Bingung dan muntah-muntah
(permulaan ikterus karena obat)Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera lakukan
tes fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin

Pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan dengan menjelaskan tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT di unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005: 53).
Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis pada standar 11 menyebutkan bahwa rekaman tertulis tentang pengobatan, termasuk respon efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien (WHO, 2006: 3).
Efek samping yang dapat timbul maupun prinsif penatalaksanaan dari OAT FDC sama dengan OAT kombipak. Identifikasi efek samping OAT FDC meskipun telah diketahui komponen obat penyebabnya, dianggap sebagai efek samping dari kesatuan OAT FDC tersebut secara keseluruhan karena sediaannya sebagai obat kombinasi dalam satu tablet.
Pada kasus efek samping mayor, bila tidak dapat ditangani dengan pemberian obat simptomatis maka pemberian OAT FDC harus dihentikan. Penatalaksanaan menggunakan cara ”drug challenging” untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab efek samping, tidak dapat dilakukan seperti pada OAT yang bukan dalam bentuk kombinasi. Bila OAT FDC sebagai penyebab efek samping tidak dapat diberikan kembali, penderita diobati dengan OAT Kombipak (OAT non kombinasi) tanpa menyertakan obat yang menjadi penyebab efek samping tersebut.
Penatalaksanaan terhadap efek samping minor OAT adalah dengan pemberian obat simptomatis sesuai manifestasi klinis gejala efek samping yang timbul, namun hal tersebut harus dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang bersifat kolaboratif dengan dokter. Sebagai contoh, gejala efek samping minor OAT yang timbul berupa nyeri sendi dapat diberikan obat analgetik seperti aspirin atau parasetamol. Sedangkan keluhan gejala efek samping berupa kesemutan sampai rasa terbakar di kaki dapat diberikan pengobatan dengan piridoksin/vitamin B6 (Depkes RI, 2005: 55)
Penatalaksanaan keperawatan mandiri terhadap kasus efek samping minor OAT yang timbul dapat dilakukan dengan memodifikasi waktu menelan OAT pada malam hari sebelum tidur, sesuai dengan peran yang dapat dilakukan perawat pengelola program TBC seperti yang dipaparkan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI, 2005: lampiran).
Jika memungkinkan OAT dianjurkan ditelan pada waktu setengah jam sebelum makan pagi. Efek samping utama jika obat diberikan setiap hari seperti OAT fase intensif adalah efek yang mengenai saluran gastro-intestinal seperti mual, hilang selera makan dan sakit perut ringan atau kadang-kadang timbul diare. Seringkali masalah tersebut dapat diatasi jika OAT diminum sebelum tidur malam (Crofton dan kawan-kawan, 2002: 186-187).
Metabolisme tubuh akan semakin meningkat secara signifikan pada siang hari seiring dengan aktifitas dan kegiatan yang dilakukan. Peningkatan metabolisme tubuh tersebut diikuti dengan peningkatan kerja saraf otonom yang membuat tubuh lebih peka terhadap stressor, sehingga stressor yang walaupun sifatnya ringan akan lebih dirasakan berat. Demikian pula halnya dengan keluhan efek samping obat, walaupun efek samping yang timbul hanya bersifat ringan atau keluhan efek samping yang seharusnya tidak muncul akan dapat dirasakan lebih berat atau dirasakan timbul dan mengganggu perasaan klien secara umum (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008).
Pada malam hari tubuh dalam keadaan istirahat yang merupakan kondisi kebalikan dari siang hari di mana metabolismenya juga akan mengalami penurunan. Metabolisme tubuh yang menurun akan mengurangi kepekaannya terhadap stressor, termasuk sensitivitas perasaan terhadap keluhan efek samping obat yang timbul (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008).
e. Penatalaksanaan keperawatan terhadap efek samping OAT
Intervensi keperawatan yang bersifat kolaboratif dalam pemberian terapi OAT salah satunya adalah memberikan tindakan penanganan terhadap efek samping yang timbul. Uraian tugas pengelola program TBC di Unit Pelayanan Kesehatan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: lampiran) menyebutkan bahwa perawat diberikan kewenangan untuk memberikan intervensi keperawatan dalam penatalaksaanaan efek samping OAT sesuai protap yang telah ditentukan.
Masalah keperawatan pada penderita TBC yang berkaitan dengan efek samping OAT di antaranya adalah: Kurang pengetahuan tentang pengobatan berhubungan dengan: interpretasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif (http//iwansain.files.wordpress.com, diakses 12 April 2008).
Intervensi terhadap masalah keperawatan: Kurang pengetahuan tentang efek samping OAT adalah:
• Memberikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan.
Rasionalisasi: Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
• Menjelaskan efek samping obat dan penatalaksanaannya.
Rasionalisasi: Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi, mencegah keraguan terhadap pengobatan, mencegah mangkir berobat dan meningkatkan keberhasilan pengobatan.
• Mengubah waktu menelan OAT.
Rasionalisasi: Meminimalisir timbulnya efek samping yang mungkin dipengaruhi oleh waktu minum OAT.
(http//iwansain.files.wordpress.com, diakses 12 April 2008 dan Depkes RI, 2005: 55).

Sumber :
H.Nor Efendi. 2008. Hubungan Waktu Menelan Obat Antituberkulosis Fixed Dose Combination (OAT FDC) Kategori 1 dengan Timbulnya Efek Samping Mino (Studi di Kabupaten Hulu Sungai Utara). Skripsi, Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin.
http://askep-askeb.cz.cc/

TETANUS dan TETANUS NEONATORUM

TETANUS dan TETANUS NEONATORUM
Tetanus
Definisi
Penyakit infeksi dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran.

Etiologi
Disebabkan eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman, yang menghambat neurotransmitter pada sinaps ganglion sambungan sum-sum tulang belakang dengan neuromuskuler (neuromuskuler junction) dan saraf otonom.
Etiologi
Clostridium Tetanii :
Kuman berbentuk batang
Gram positif
Berspora dengan ujung berbentuk genderang
Obligant anaerob dan menghasilkan eksotoksin
Etiologi
Tempat Masuk kuman/spora melalui :
Luka tusuk
Patah tulang
Gigitan binatang
Luka bakar luas
Luka operasi
Luka gigi
Pemotongan tali pusat tidak steril
Patogenesis
Spora masuk lewat luka ke dalam tubuh,
Pada lingkungan anaerobik akan berubah bentuk menjadi bentuk vegetatif serta menghasilkan eksotoksin yang menyebar lewat motor endplate dan aksis silindris saraf tepi ke kornu anterior sum-sum tulang belakang,
Menyebar ke seluruh saraf pusat.
Patogenesis
Toksin tersebut akan menimbulkan gangguan, enzim kolinesterase tidak aktif sehingga kadar asetilkolin menjadi tinggi dan blokade pada sinaps yang terkena, mengakibatkan tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan.


Laboratorium

Tak ada yang spesifik, biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik dan mahal.
Gejala Klinis
Masa inkubasi 5 - 14 hari, terpendek 2 hari.
Demam ringan dengan gejala lain :
Trismus, risus sardonikus, opistotonus, otot dinding perut kaku seperti papan, kejang dan gangguan saraf otonom.
Gangguan irama jantung, suhu meningkat, berkeringat, kekakuan otot sfingter dan otot polos sehingga terjadi retensio urine, spasme laring dan gangguan otot pernafasan.

Gejala Klinis
Secara praktis Tetanus dapat dibagi menjadi :
1. Tetanus ringan
Trismus tanpa rangsang kejang.
2. Tetanus sedang
Kaku, tanpa kejang spontan, rangsang kejang positif.
3. Tetanus berat
Kaku, kejang spontan, rangsang kejang positif.


Komplikasi
Pada neonatus sering terjadi sepsis.
Pada anak sering terjadi :
Bronkopneumonia
Kekakuan otot laring dan pernafasan
Aspirasi
Fraktur kompresi
Prognosis
Tergantung pada :
Umur penderita
Masa inkubasi
Onset penyakit
Berat ringannya tetanus
Kecepatan pemberian ATS

Pencegahan

Perawatan luka, terutama luka kotor dan dalam
ATS profilaksis
Perawatan tali pusat (kebersihan persalinan)
Imunisasi aktif
Diagnosis

Berdasarkan Gejala klinis dan
Anamnesis yang teliti.
Diagnosis Banding
Bisa dengan :
Meningitis
Meningoensefalitis
Ensefalitis
Keracunan striknin
Rabies
Abses tonsilar
Mastoiditis
Penatalaksanaan
Umum
Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Menjaga saluran nafas tetap bebas
Mengatasi kejang
Penatalaksanaan
Mengatasi Kejang :
Diazepam 0,1 – 0,3 mg/KgBB/kali tiap 2-4 jam IV (IntraVena) atau rectal.
Bila kejang berhenti dilanjutkan dengan dosis rumatan.
Bila klinis membaik dosis dipertahankan 3-5 hari kemudian.
Bila kejang tidak berhenti pertimbangkan dirawat di ICU.
Penatalaksanaan
… Mengatasi Kejang

Tetanus Berat
Diazepam 20 mg/KgBB/hari drip infus IV perlahan, dan dirawat di ICU.
Dosis pemeliharaan 8 mg/KgBB/hari, oral dibagi 6-8 dosis.
Penatalaksanaan
… Mengatasi Kejang

Perawatan luka dengan perhidrol 3% atau rivanol, perawatan tali pusat dengan steril, konsul gigi atau THT jika dicurigai sebagai tempat masuk.
Penatalaksanaan
Khusus
Antibiotik :
PP (Penicillin Prokain) 50 U/KgBB/hari IM tiap 12 jam selama 7-10 hari, atau
Ampicillin 150 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis.
Penatalaksanaan
… Khusus

Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam, atau
Eritromisin 50 mg/KgBB/hari per oral dibagi 4 dosis.

Penatalaksanaan
… Khusus

Antiserum (ATS) 50.000 – 100.000 unit, separoh IV dan separohnya IM, didahului skin test.
Apabila tersedia Human Tetanus Imunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU, IM dapat diberikan.

Tetanus Neonatorum
Definisi

Penyakit yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan oleh kuman “Clostridium Tetanii”, yang masuk melalui luka tali pusat atau tempat lainnya karena tindakan yang tidak memenuhi syarat kebersihan.
Dasar Diagnosis
Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau atau tidak dapat menetek lagi (trismus).
Sebelumnya bayi menetek biasa.
Mulut mencucu seperti mulut ikan (kapermond), mudah sekali dan sering kejang disertai sianosis, kaku kuduk sampai opistotonus.
Pengobatan
IVFD D5% + NaCl fisiologis (4 : 1) selama 48 – 72 jam sesuai dengan kebutuhan, selanjutnya IVFD untuk memasukkan obat.
Diazepam dosis awal 2,5 mg IV perlahan-lahan selama 2-3 menit.
Dosis rumatan 8-10 mg/KgBB/hari melalui IVFD (Diazepam dimasukkan dalam cairan IV dan diganti tiap 6 jam).
Pengobatan
… Diazepam dosis awal …

Bila kejang masih timbul, boleh diberikan diazepam tambahan 2,5 mg secara IV perlahan-lahan dan dalam 24 jam boleh diberikan tambahan diazepam 5 mg/KgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhan menjadi 15 mg/KgBB/hari.
Setelah klinis membaik, diazepam diberikan per oral dan diturunkan secara bertahap.
Pengobatan
ATS 10.000 UI/hari dan diberikan selama 2 hari berturut-turut.
Ampicillin 100 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis secara IV selama 10 hari.
Tali pusat dibersihkan dengan alkohol 70% atau betadine.
Pengobatan
Perhatikan jalan nafas, diuresis dan keadaan vital lainnya.
Bila banyak lendir jalan nafas dibersihkan dan perlu diberikan oksigen.

Pencegahan

Ibu hamil harus mendapat imunisasi TT (Tetanus Toxoid).
Diagnosa Keperawatan
Risiko terjadi cedera fisik b.d serangan kejang berulang.
Risiko jalan nafas tidak efektif b.d sekunder dari depresi pernafasan.
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi sekret yang berlebih pada jalan nafas.
Diagnosa Keperawatan
Kurang pengetahuan keluarga tentang penanganan penyakitnya b.d keterbatasan informasi.
Peningkatan suhu tubuh b.d reaksi eksotoksin.

Sumber : Materi Kuliah Keperawatan Anak
STIKes Muhammaadiyah Banjarmasin 2009
dosen : Kamilah F Mustika, S.Kep.Ners
http://askep-askeb.cz.cc/

ASKEP NEONATUS dengan RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (RDS)

ASKEP NEONATUS dengan RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (RDS)
Latar Belakang
Penyakit saluran pernapasan adalah salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang paling sering pada anak terutama pada bayi, dikarenakan :
Saluran pernafasan yang masih sempit
Daya tahan tubuh yang masih rendah
Latar Belakang
Gangguan pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan :
Kelainan organik
Trauma
Alergi
Infeksi
dan lain-lain
Latar Belakang
Gangguan pernapasan dapat terjadi sejak bayi baru lahir (BBL), yang paling sering ditemukan :
Respiratory Distress Syndrome (RDS), atau
Idiopatic Respiratory Distress Syndrome (IRDS) yang terdapat pada bayi premature.
Definisi
RDS adalah perkembangan yang immature pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.
RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disease.
(Suryadi dan Yuliani, 2001)
Definisi
RDS adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnea (>60 x/menit), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. (Stark, 1986)
Definisi
Sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN) atau respiratory distress syndrome (RDS), merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea.

Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan.
Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur.
Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini.
Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah :
Pneumothoraks/pneumomediastinum
Penyakit membran hialin (PMH)
Pneumonia
Aspirasi

Fisiologi
Penilaian keadaan pernafasan dapat dilakukan dengan mengamati gerakan dada dan atau perut.
Neonatus normal biasanya mempunyai pola pernafasan abdominal.
Bila anak sudah dapat berjalan pernafasannya menjadi thorakoabdominal.
Pola pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja secara pasif.

Patofisiologi
Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang disebut surfaktan.
Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II.
Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max pada minggu ke 35.
Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%).
Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi dan kehamilan kembar.
Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi.
Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. i
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
Oksigenasi jaringan menurun  metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat asam organic  asidosis metabolic.
Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris  transudasi kedalam alveoli  terbentuk fibrin  fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantung, penurunan aliran darah ke paru, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan terjadinya atelektasis.
Manifestasi Klinis
Takipnea (>60 x/menit)
Retraksi dada
Sianosis pada udara kamar
X-ray thorak spesifik
yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan.

Manifestasi Klinis
Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA. (Stark, 1986)
Syndrom ini berhubungan dengan kerusakan awal paru-paru yang terjadi di membran kapiler alveolar.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan akibat masuknya cairan ke dalam ruang interstitial yang dipengaruhi oleh aktifitas surfaktan, akibatnya terjadi tanda-tanda atelektasis.
Cairan juga masuk dalam alveoli dan mengakibatkan oedema paru.
Plasma dan sel darah merah keluar dari kapiler-kapiler yang rusak, oleh karena itu mungkin perdarahan merupakan manifestasi patologi yang umum.

Diagnosa Keperawatan
Gangguan pola nafas b.d belum terbentuknya zat surfaktan dalam tubuh.
Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.
Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d seringnya BAB dan BAK.
Resiko tinggi gangguan termoregulasi : hipotermi b.d belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit.
Kecemasan orangtua b.d kurang pengetahuan orangtua tentang kondisi bayi.
Rencana Keperawatan
Gangguan pola nafas b.d belum terbentuknya zat surfaktan dalam tubuh.
Ditandai dengan :
RR 78 x/menit
Retraksi dinding dada (+)
Retraksi dinding efigastrium (+)
Bayi tampak lemah
Rencana Keperawatan
Dx.1

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan pola nafas dapat teratasi. Kriteria Evaluasi :
RR 60 x/menit
Sesak (-)
Sianosis (-)
Retraksi dinding dada (-)
Reaksi diafragma (-)
Rencana Keperawatan
Dx.1

Intervensi dan Rasional :
Observasi pola nafas
R : Mengetahui frekuensi nafas
Observasi TTV
R : Mengetahui keadaan umum bayi
Monitor SPO2
R : Mengetahui kadar O2 dalam darah
Atur posisi semi ekstensi
R : Memudahkan paru-paru mengembang saat ekspansi
Rencana Keperawatan
Dx.1

Intervensi dan Rasional :
Tempatkan bayi pada tempat yang hangat
R : Mempertahankan suhu tubuh
Atur suhu dalam inkubator
R : Membantu memenuhi suplai O2
Berikan terapy O2 sesuai dengan kebutuhan
R : Membantu kemudahan dalam bernafas
Kolaborasi pemberian terapy obat Bronchodilator
R : Obat Bronchodilator berfungsi untuk membuka broncus guna memudahkan dalam pertukaran udara
Rencana Keperawatan
Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.
Ditandai dengan :
Reflek hisap lemah
Retensi lambung 0,5 cc
Bising usus 4x/menit
Bayi tampak lemah
Rencana Keperawatan
Dx.2

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.

Kriteria Evaluasi :
Reflek hisap (+)
Retensi lambung (-)
Bising usus 8x/menit
Rencana Keperawatan
Dx.2

Intervensi dan Rasional :
Pertahankan pemberian cairan melalui IVFD, Glukosa 10%
R : Mempertahankan kebutuhan cairan dalam tubuh
Kaji kesiapan bayi untuk minum
R : Mengetahui reflek hirup
Retensi cairan lambung
R : Mengetahui cairan lambung dan konsistensinya
Rencana Keperawatan
Dx.2

Intervensi dan Rasional :
Berikan minum sesuai jadwal
R : Memberikan cairan tambahan melalui oral
Timbang BB
R : Mengetahui status nutrisi
Rencana Keperawatan
Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d seringnya BAB dan BAK.
Ditandai dengan :
Turgor kulit jelek
Pada mukosa bibir terdapat keputihan
Bayi sering BAK
Bayi terpasang infus
Rencana Keperawatan
Dx.3

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan kebutuhan cairan tidak terjadi.

Kriteria Evaluasi :
Turgor kulit baik/elastis
Mukosa bibir tak tampak keputihan
Frekuansi BAK normal
Rencana Keperawatan
Dx.3

Intervensi dan Rasional :
Kaji turgor kulit
R : Mengetahui tanda dehidrasi
Pertahankan pemberian cairan IVFD
R : Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh
Beri minum sesuai jadwal
R : Mencegah terjadinya kekurangan cairan
Pantau frekuensi BAB + BAK
R : Mengetahui output tubuh
Rencana Keperawatan
Resiko tinggi gangguan termoregulasi : hipotermi b.d belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit.
Ditandai dengan :
Suhu bayi 36,5 °C
Bayi didalam inkubator dengan suhu 32 °C
Bayi tidak menggunakan baju
Rencana Keperawatan
Dx.4

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan suhu tubuh tetap normal.

Kriteria Evaluasi :
Suhu 37 °C
Bayi tidak kedinginan
Rencana Keperawatan
Dx.4

Intervensi dan Rasional :
Tempatkan bayi pada tempat yang hangat
R : Mencegah terjadinya hipotermi
Atur suhu inkubator
R : Menjaga kestabilan suhu tubuh
Pantau suhu tubuh setiap 2 jam
R : Memonitor perkembangan suhu tubuh bayi
Rencana Keperawatan
Kecemasan orangtua b.d kurang pengetahuan orangtua tentang kondisi bayi.
Ditandai dengan :
Ibu klien mengatakan kapan anaknya bisa pulang
Ibu tampak cemas
Ibu menangis
Rencana Keperawatan
Dx.5

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan cemas keluarga (orangtua) bayi berkurang.

Kriteria Evaluasi :
Ibu tidak menangis
Mimik/verbal tidak cemas
Rencana Keperawatan
Dx.5

Intervensi dan Rasional :
Kaji tingkat kecemasan
R : Mengetahui koping individu
Berikan penjelasan tentang keadaan klien saat ini
R : Meningkatkan pengetahuan orang tua
Berikan kesempatan kepada keluarga untuk mengungkapkan perasaan
R : Membina hubungan saling percaya
Anjurkan keluarga untuk tetap mengunjungi bayinya

Sumber : Materi Kuliah Keperawatan Anak
STIKes Muhammadiyah Banjarmasin 2009
Dosen :Kamilah F Mustika, S.Kep.Ners

http://askep-askeb.cz.cc/

KEPERAWATAN PERIOPERATIF

KEPERAWATAN PERIOPERATIF

Pengertian

Keperawatan perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien.
Pengertian
Kata perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencangkup 3 fase pengalaman pembedahan yaitu :
Praoperatif
Intraoperatif
Pascaoperatif

Fase Praoperatif
Batasan

Fase praoperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi.
Prioritas
Prioritas adalah inform consent, yaitu : pernyataan persetujuan pasien/keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan yang berguna untuk mencegah ketidaktahuan pasien/keluarga tentang prosedur yang akan dilaksanakan dan juga menjaga rumah sakit dan petugas kesehatan dari tuntutan hukum pasien/keluarga mengenai tindakan tersebut.
Inform consent
Inform consent dilakukan apabila sudah termasuk :
Informasi pembedahan yang akan dilakukan.
Memberitahukan nama dan kualifikasi orang atau petugas yang akan melakukan pembedahan.
Menjelaskan resiko termasuk kerusakan jaringan, kemungkinan komplikasi dan kemungkinan kematian.
Rasio kesuksesan pembedahan.
Alternatif lain yang dapat ditempuh.
Hak – hak pasien/keluarga terhadap consent yang akan dilakukan bila terjadi pembatalan kemudian.
Manajemen Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian pasien bedah meliputi : mengevaluasi faktor – faktor fisik dan psikologis secara luas.
Pada pengkajian preoperatif termasuk mengkaji kebutuhan sebelum dan sesudah operasi juga diperlukan screening test untuk mengetahui kondisi dan kesiapan pasien secara fisik.
Manajemen Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Ansietas b.d pengalaman bedah dan hasil pembedahan.
Defisit pengetahuan mengenai prosedur dan protokol praoperatif dan harapan pascaoperatif.
Manajemen Keperawatan
Perencanaan dan Implementasi
Tujuan utama meliputi :
Menghilangkan ansietas praoperatif
Meningkatkan pengetahuan tentang persiapan praoperatif dan harapan pascaoperatif.
Aktifitas keperawatan pada pasien praoperatif adalah pendidikan kesehatan (penkes), yang merupakan aktifitas vital pada fase ini.
Manajemen Keperawatan
… Perencanaan dan Implementasi

Ada 4 dimensi pada penkes ini yaitu :
Informasi termasuk hal yang akan terjadi pada pasien, kapan dan apa yang akan dialami pasien, bagaimana sensasi dan ketidaknyamanan yang diduga oleh pasien.
Psikososial suport untuk menghilangkan kecemasan.
Aturan yang dianut pasien, suport orang sekitarnya.
Latihan keterampilan termasuk pergerakan, nafas dalam, batuk efektif, menahan insisi dengan tangan atau bantal dan menggunakan spirometer.
Manajemen Keperawatan
Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
Ansietas berkurang
Berpartisipasi terhadap tindakan pembedahan



Fase Intraoperatif
Batasan

Fase intraoperatif dimulai ketika pasien masuk atau pindah ke bagian atau departemen bedah dan berakhir pada saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
Aktifitas
Pada fase ini lingkup aktifitas dapat meliputi :
Memasang infus (IV)
Memberikan medikasi intravena
Melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan
Menjaga keselamatan pasien
Type Anastesi
General Anastesi
Hilangnya seluruh sensasi dan kesadaran termasuk reflek batuk dan reflek muntah sehingga harus dijaga dari adanya aspirasi.
Biasanya diberikan secara intra vena atau inhalasi.
Regional Anastesi
Menghambat jalannya impuls saraf ke dan dari area atau bagian tubuh.
Pasien kehilangan sensasi pada sebagian tubuhnya tetapi tetap sadar.
Manajemen Keperawatan
Pengkajian
Identifikasi pasien.
Validasi data pasien yang dibutuhkan dengan kebijakan per bagian.
Telaah catatan pasien terhadap adanya :
Informed yang benar dengan tanda tangan pasien/keluarga.
Kelengkapan catatan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.
Hasil pemeriksaan diagnostik.
Kelengkapan riwayat dan pengkajian kesehatan.
Ceklis praoperatif.
Manajemen Keperawatan
… Pengkajian

Lengkapi pengkajian keperawatan praoperatif segera :
Status fisiologis : tingkat sehat – sakit, tingkat kesadaran.
Status Psikososial : ekspresi kekhawatiran, tingkat ansietas, masalah komunikasi verbal, mekanisme koping.
Status fisik : tempat operasi, kondisi kulit dan efektivitas persiapan, pencukuran, atau obat penghilang rambut, sendi tidak bergerak.
Manajemen Keperawatan
Perencanaan
Menginterpretasi variabel – variabel umum dan menggabungkan variabel tersebut kedalam rencana asuhan :
Usia, ukuran, jenis kelamin, prosedur bedah, tipe anestesia yang direncanakan, ahli anestesi dan anggota tim.
Ketersediaan peralatan spesifik yang dibutuhkan untuk prosedur dan ahli bedah.
Kebutuhan medikasi non rutin, komponen darah, instrumen.
Kesiapan ruangan untuk pasien, kelengkapan pengaturan fisik, kelengkapan instrumen, peralatan jahit dan pengadaan balutan.
Manajemen Keperawatan
… Perencanaan

Mengidentifikasi aspek –aspek lingkungan ruang operasi yang dapat secara negatif mempengaruhi pasien :
Fisik
Suhu dan kelembaban ruangan.
Bahaya peralatan listrik.
Potensial kontaminasi.
Hilir mudik yang tidak perlu
Psikososial
Kebisingan.
Kurang mengenal sebagai individu.
Rasa diabaikan tanpa pengantar di tempat tunggu.
Percakapan yang tidak perlu.
Manajemen Keperawatan
Intervensi
Berikan asuhan keperawatan berdasarkan pada prioritas kebutuhan pasien.
Bertindak sebagai advokat pasien.
Informasikan pasien/keluarga dengan pengalaman intraoperatif.
Koordinasi aktivitas bagi personil lain yang terlibat dalam perawatan pasien, seperti :
X–ray, laboratorium, ICU.
Manajemen Keperawatan
… Intervensi

Operasikan dan atasi semua masalah peralatan yang umumnya digunakan di ruang operasi dan tugaskan di layanan khusus.
Ikutserta dalam konferensi perawatan pasien.
Dokumentasikan semua observasi dan tindakan.
Komunikasikan baik verbal dan tulisan mengenai status kesehatan pasien saat pemindahan dari ruang operasi.
Manajemen Keperawatan
Evaluasi
Mengevaluasi kondisi pasien dengan cepat sebelum dikeluarkan dari ruang operasi : cara bernafas, warna kulit, selang invasif (IV), drain kateter berfungsi secara normal, balutan adekuat tidak terlalu ketat.
Ikut serta dalam mengidentifikasi praktek keperawatan pasien yang tidak aman dan menanganinya dengan baik.
Manajemen Keperawatan
… Evaluasi

Ikut serta dalam mengevaluasi keamanan lingkungan.
Melaporkan dan mendokumentasikan.
Menunjukkan pemahaman tentang prinsip aseptik dan praktek keperawatan teknis.
Mengenali tanggung gugat legal dari keperawatan preoperatif.



Fase Postoperatif
Batasan

Fase postoperatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
Fokus

Mengkaji efek dari agen anastesi
Memantau fungsi vital
Mencegah komplikasi
Aktifitas
Aktivitas keperawatan berfokus pada :
Tingkat penyembuhan pasien
dengan melakukan penyuluhan
Tindak lanjut serta rujukan
penting untuk penyembuhan yang berhasil
Rehabilitasi
diikuti oleh pemulangan
Manajemen Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian segera setelah bedah saat kembali ke unit klinik :
Respirasi : kepatenan jalan napas, frekuensi, karakter, sifat dan bunyi napas.
Sirkulasi : TTV, kondisi kulit.
Neurologi : tingkat respon.
Drainase : adanya drainase.
Kenyamanan : tipe nyeri dan lokal, mual, muntah dan perubahan posisi yang dibutuhkan.
Psikologi : sifat dan dari pertanyaan pasien.
Keselamatan : kebutuhan akan pagar tempat tidur, selang infus tidak tersumbat.
Peralatan : diperiksa untuk fungsi yang baik.
Manajemen Keperawatan
Diagnosa
Bersihan jalan napas tidak efektif yang b.d efek depresan dan anastesi.
Nyeri dan ketidaknyamanan postoperatif.
Resiko terhadap cedera.
Hipotermi.
Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan.
Perubahan eliminasi urinarius.
Konstipasi b.d motilitas lambung dan usus.
Kerusakan mobilitas fisik.
Ansietas tentang diagnosis postoperatif.
Manajemen Keperawatan
Intervensi
Memastikan fungsi pernapasan yang optimal dan meningkatkan ekspansi paru.
Meredakan nyeri dan mual muntah, peredaan nyeri tergantung pada letak lokasi pembedahan, perubahan posisi pasien, distraksi, dan pemijatan punggung dengan lotion yang menyegarkan dapat sangat membantu dalam ketidak nyamanan.
Manajemen Keperawatan
… Intervensi

Mempertahankan suhu tubuh, suhu ruangan dipertahankan dengan nyaman dan selimut disediakan mencegah menggigil.
Menghindari cedera, melalui pemantauan yang cermat ketika pasien sadar dari pengaruh anastesi.
Mempertahankan status nutrisi, memberikan diet yang adekuat, nutrisi parenteral.
Manajemen Keperawatan
… Intervensi

Meningkatkan fungsi urinarius normal, dicoba semua metode yang diketahui dapat membantu pasien dalam berkemih, pemasangan kateter.
Konstipasi, jika cairan atau serat dan laksatif tidak efektif, enema dapat digunakan.
Mengurangnya ansietas dan mencapai kesejahteraan psikososial, dibuat tentang perawatan dirumah yang diperlukan setelah pemulangan, kunjungan perawatan di rumah diatur jika diperlukan.
Manajemen Keperawatan
Evaluasi
Pasien mempertahankan fungsi pernapasan yang optimal.
Nyeri berkurang atau hilang.
Menunjukkan suhu normal.
Terhindar dari cedera.
Menunjukkan motilitas gastrointestinal meningkat.
Berkemih adekuat.
Bising usus normal.
Ikut serta dalam perawatan diri.

Sumber : Materi Kuliah Keperawatan Anak
STIkKes Muhammadiyah Banjarmasin 2009
Dosen : Kamilah F Mustika, S.Kep.Ners
http://askep-askeb.cz.cc/

Blog Archive