Tuesday, December 8, 2009

Congestive Heart Failure / gagal jantung


1. Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaring an dan/atau kemampuannya hanya ada
kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer, 2001).
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) CHF adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
jaringan akan Oksigen dan nutrisi.
2. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (1997) penyebab kegagalan jantung yaitu :
a. Disritmia, seperti: Bradikardi, takikardi, dan kontraksi premature yang sering
dapat menurunkan curah jantung.
b. Malfungsi katup, dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan
beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti
stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban
volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri.
c. Abnormalitas otot jantung, menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi infark
miokard, aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari
aterosklerosis koroner jantung atau hipertensi lama), fibrosis endokardium,
penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau hipertrofi l uas karena hipertensi
pulmonal, stenosis aorta, atau hipertensi sistemik.
d. Ruptur miokard, terjadi sebagai awitan dramatik dan sering membahayakan
kegagalan pompa dan dihubungkan dengan mortalitas tinggi. Ini biasa terjadi
selama 8 hari pertama setelah infa rk.
Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth (2002) penyebab gagal jantung
kongestif, yaitu: kelainan otot jantung, aterosklerosis koroner, hipertensi sistemik
atau pulmonal (peningkatan afterload) , peradangan dan penyakit miokardium
degeneratif, penyakit jantung lain, faktor sistemik
3. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2001) berdasarkan bagian jantung yang mengalami
kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal
jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Menurut New York Heart
Association (Mansjoer, 2001) klasifikasi fungsional jantung ada 4 kelas, yaitu:
Kelas 1 : Penderita kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas
sehari-hari tidak menyebabkan keluhan.
Kelas 2 : Penderita dengan kelainan jantung yang mempunyai akti vitas fisik
terbatas. Tidak ada keluhan sewaktu istirahat, tetapi aktivitas sehari -
hari akan menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
Kelas 3 : Penderita dengan aktivitas fisik yang sangat terbatas. Pada keadaan
istirahat tidak terdapat keluhan, tetapi ak tivitas fisik ringan saja akan
menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
Kelas 4 : Penderita yang tidak mampu lagi mengadakan aktivitas fisik tanpa rasa
terganggu. Tanda-tanda dekompensasi atau angina malahan telah
terdapat pada keadaan istirahat.
4. Patofisiologi
Menurut Soeparman (2000) beban pengisian (preload) dan beban tahanan
(afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi memungkinkan
adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah
jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan
simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan t erjadi
takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang
berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terj adi
redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan
vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena
(Venous return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir
diastolik dan menaikkan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi , dan
redistribusi cairan badan merupakan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan.
Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut diata s sudah
dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga tepenuhi,
maka terjadilah keadaan gagal jantung. Gagal jantung kiri atau gagal jantung
ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel
kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir diastol
dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat.
Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel
kiri pada waktu diastolik, dengan akib at terjadinya kenaikan tekanan rata - rata
dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan
hambatan aliran masuknya darah dari vena - vena pulmonal. Bila keadaan ini
terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam paru - paru dengan
akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda - tanda akibat
adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini
merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk
sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah,
maka akan merangsang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan
mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban
tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada
akhirnya terjadi gagal jantung kiri - kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi
karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi
sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. De ngan
menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volum akhir diastole
ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam
kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan dalam atr ium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang
meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena
kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan
dan adanya bendungan pada vena -vena sistemik tersebut (bendungan pada
vena jugularis dan bendungan dalam hepar) dengan segala akibatnya (tekanan
vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bika keadaan ini terus
berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan akibat
timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak dan Gallo (1997) tanda dan gejala yang terjadi pada gagal
jantung kiri antara lain kongesti vaskuler pulmonal, dyspnea, ortopnea, dispnea
nokturnal paroksismal, batuk, edema pulmonal akut, penurunan curah jantung,
gallop atrial (S3), gallop ventrikel (S4), crackles paru, disritmia, bunyi nafas
mengi, pulsus alternans, pernafasan chey ne-stokes, bukti - bukti radiologi
tentang kongesti vaskuler pulmonal. Sedangkan untuk gagal j antung kanan
antara lain curah jantung rendah, peningkatan JVP, edema, disritmia, S3 dan S4
ventrikel kanan, hiperesonan pada perkusi.
6. Diagnosis
Menurut Framingham ( Mansjoer, 2001) kriterianya gagal jantung kongestif
ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor.
a. Kriteria mayor terdiri dari:
1) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2) Peningkatan vena jugularis
3) Ronchi basah tidak nyaring
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Irama derap S3
7) Peningkatan tekanan vena > 16 cm H2O
8) Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor terdiri dari:
1) Edema pergelangan kaki
2) Batuk malam hari
3) Dyspnea
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Kapasitas vital berkurang menjadi ? maksimum
7) Takikardi (>120 x/ menit)
Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua
kriteria minor harus ada di saat bersama an.
7. Potensial Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2002) potensial komplikasi mencakup: syok
kardiogenik, episode tromboemboli, efus i perikardium, dan tamponade
perikardium.
8. Pemeriksaan penunjang
Menurut Dongoes (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat d ilakukan
untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu:
a. Elektro kardiogram (EKG)
Hipertropi atrial atau ventrikule r, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia,
takikardi, fibrilasi atrial.
b. Skan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding .
c. Sonogram (ekocardiogram, ekokardiogram dopple)
Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/
struktur katup, atau area penurunan kontraktili tas ventrikular.
d. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
e. Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi
atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal.
f. Enzim hepar
Meningkat dalam gagal / kongesti hepar.
g. Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal, terapi
diuretik.
h. Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut
menjadi kronis.
i. Analisa gas darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
j. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin
Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik BUN
dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.
k. Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre
pencetus gagal jantung kongestif.
9. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2001) prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure
adalah:
a. Meningkatkan Oksigenasi dengan pemberian Oksigen dan menurunkan
konsumsi O2 melalui istirahat / pembatasan aktivitas.
b. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
1) Mengatasi keadaan reversibel termasuk tirotoksikosis, miksedema dan
aritmia.
2) Digitalisasi, digoksin, condilamid.
c. Menurunkan beban jantung
1) Menurunkan beban awal dengan:
a) Diit rendah garam
b) Diuretik: furosemid ditambah kalium
c) Vasodilator: menghambat Angiotensin-converting enzyme (ACE),
Isosorbid dinitrat (ISDN), nitrogliserin, nitroprusid.
2) Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol.

http://askep-askeb.cz.cc/

Gambaran Umum Kanker Serviks / leher rahim


Gambaran Umum Kanker Serviks
1. Pengertian
Kanker serviks adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks,
sehingga jaringan disekitarnya tidak dapat melaksanak an fungsi sebagaimana
mestinya. Keadaan tersebut biasanya disertai dengan adanya perdarahan dan
pengeluaran cairan vagina yang abnormal, penyakit ini dapat terjadi berulang -
ulang (Prayetni, 1997).
2. Etiologi
Penyebab kanker serviks tidak diketahui secara pa sti. Faktor-faktor yang
terkait dengan proses timbulnya kanker serviks adalah aktivitas seksual dini,
hubungan seksual tidak stabil, pasangan seksual dua atau lebih / berganti -ganti,
usia pertama kali melahirkan dini, infeksi virus, genetalia buruk, dan pe nggunaan
estrogen lebih dari tiga tahun (Prayetni, 1997).
Beberapa faktor predisposisi kanker serviks menurut Baird (1991) terdiri
dari tiga faktor yaitu :
a. Faktor individu : terdiri dari infeksi HPV dan herpes simpleks 2, merokok,
pasangan seksual lebih dari satu.
b. Faktor resiko : penggunaan oral kontrasepsi, minum -minuman, Kebersihan
post koitus kurang, koitus saat menstruasi, terlalu sering membersihkan
vagina, status ekonomi rendah.
c. Faktor pasangan laki-laki : merokok, pasangan seksual lebih dari satu, koitus
dengan pekerja prostitusi, lingkungan yang terpajan dengan zat karsinogen.
3. Patofisiologi
Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan
intraepitel, perubahan neoplastik, berkembang menjadi kanker serviks setelah
10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang
melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi
karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Meskipun kanker invasif berkembang
melalui perubahan intraepitel, tidak semua perubaha n ini progres menjadi
invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 -
35%. Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi
yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS)
berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma
insitu menjadi invasif 3 – 20 tahun (TIM FKUI, 1992).
Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali
adanya perubahan displasia yang perlahan -lahan menjadi progresif. Displasia ini
dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat
trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan
keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 – 10 tahun perkembangan
tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma
serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat
menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis
serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada ser viks, parametria dan
akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Karsinoma
serviks dapat meluas ke arah segmen bawah uterus dan kavum uterus.
Penyebaran kanker ditentukan oleh stadium dan ukuran tumor, jenis histologik
dan ada tidaknya invasi ke pembuluh darah, anemis hipertensi dan adanya
demam.
Penyebaran dapat pula melalui metastase limpatik dan hematogen. Bila
pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke pembuluh getah
bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah beni ng obtupator, iliaka
eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor menyebar ke
kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta. Secara hematogen, tempat
penyebaran terutama adalah paru -paru, kelenjar getah bening mediastinum dan
supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas dan otak (Prayetni, 1997).
4. Manifestasi Klinis
Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah
yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan
nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif.
Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai
perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -80%)
(Wiknjosastro, 1997).
Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks ti dak ada gejala-gejala
khusus. Biasanya timbul gejala berupa ketidakteraturannya siklus haid,
amenorhea, hipermenorhea,dan penyaluran sekret vagina yang sering atau
perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang
khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid.
Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah
lumbal. Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi,
sekret dari vagina berwarna kuning, berbau d an terjadinya iritasi vagina serta
mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin
progresif.
Menurut Baird (1991) tidak ada tanda -tanda khusus yang terjadi pada
klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksa an dalam
(vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik darah yang
keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai
menggumpal. Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki,
hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan
rektum dapat terjadi karena penyebaran sel kanker yang juga merupakan gejala
penyakit lanjut.
5. Tahapan Klinis
Penentuan tahapan klinis penting dalam memperkirakan penyebaran
penyakit, membantu prognosi s rencana tindakan, dan memberikan arti
perbandingan dari metode terapi. Tahapan stadium klinis yang dipakai sekarang
ialah pembagian yang ditentukan oleh The International Federation Of
Gynecologi And Obstetric (FIGO) tahun 1976. Pembagian ini didasarkan atas
pemeriksaan klinik, radiologi, suktase endoserviks dan biopsi Tahapan -tahapan
tersebut yaitu :
a. Karsinoma pre invasif
b. Karsinoma in-situ, karsinoma intraepitel
c. Kasinoma invasif
Tingkat 0 : Karsinoma insitu atau karsinoma intraepitel
Tingkat I : Proses terbatas pada serviks (perluasan ke korpus uteri tidak
dinilai)
Ia :Karsinoma serviks preklinis, hanya dapat didiagnosis secara
mikroskopik, lesi tidak lebih dari 3 mm, atau secara
mikroskopik kedalamannya
> 3 – 5 mm dari epitel basah dan memanjang tidak lebih dari 7
mm
Ib : Lesi invasif > 5 mm, bagian atas lesi <> 4 cm.
Tingkat II : Proses keganasan telah keluar dari serviks dan menjalar ke 2/3
bagian atas vagina dan atau ke parametrium tetapi tidak sampai
dinding panggul.
IIa : Penyebaran hanya ke vagina, parametrium masih bebas dari
infiltrat tumor
IIb : Penyebaran hanya ke parametrium, uni atau bilateral, tetapi
belum sampai dinding.
Tingkat III : Penyebaran sampai 1/3 distal vagina atau ke parametrium
sampai dinding panggul.
IIIa : Penyebaran sampai 1/3 distal vagina atau ke parametrium
sampai dinding panggul
IIIb : Penyebaran sampai dinding panggul, tidak ditemukan daerah
bebas infiltrasi antara tumor dengan dinding panggul atau proses
pada tingkat I atau II, tetapi sudah ada gangguan faal ginjal /
hidronefrosis.
Tingkat Iv : Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan
mukosa rektum dan atau vesika urinaria (dibuktikan secara
histologi) atau telah bermetastasis keluar panggul atau ke
tempat yang jauh.
IVa : Telah bermetastasis ke organ sekitar
IV b : Telah bermetastasis jauh.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien kanker s erviks yaitu :
a. Papanicalow smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada
pasien yang tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada
sekret yang diambil dari porsi serviks (Prayetni,1999). Pemeriksaan ini harus
mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan
aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear
setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun (Gale & Charette, 1999).
b. Biopsi
Biopsi ini dilakukan untuk melengka pi hasil pap smear. Teknik yang
biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan
teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk
mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari
daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang
terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni, 1997).
c. Kolposkopi
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses
metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan den gan papsmear,
karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis
dalam mengetes darah yang abnormal (Prayetni, 1997).
d. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui aktivitas
pryvalekinase. Pada pasien konservatif dapat diketahui peningkatan aktivitas
enzim ini terutama pada daerah epitelium serviks. (Prayetni, 1997)
e. Radiologi
1) Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada
saluran pelvik atau peroartik limfe.
2) Pemeriksaan intravena urografi, yang dila kukan pada kanker serviks
tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter
terminal (Prayetni, 1997).
Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung
kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), en ema
barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan
CT abdomen / pelvis digunakan untuk menilai penyebaran lokal dari tumor
dan / atau terkenanya nodus limpa regional (Gale & charette, 1999).
f. Tes schiller
Tes ini menggunakan iodine solution yang diusapkan pada permukaan
serviks. Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada
sel epitel serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks
yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah
karena tidak ada glikogen ( Prayetni, 1997).
7. Penatalaksanaan
Terapi karsinoma serviks dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan
secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim
yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan la njutan (tim kanker / tim
onkologi) (Wiknjosastro, 1997). Penatalaksanaan yang dilakukan pada klien
kanker serviks, tergantung pada stadiumnya. penatalaksanaan medis terbagi
menjadi tiga cara yaitu: histerektomi, radiasi dan kemoterapi.
a. Histerektomi
Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal).
Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO).
Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bil a keadaan umum baik,
dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga
harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti: penyakit jantung,
ginjal dan hepar.
b. Radiasi
Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks se rta
mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium
II B, III, IV diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan
tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif
ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya dan
atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul, dengan tetap
mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar
seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis
kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Bila sel kanker
sudah keluar rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang
diberikan secara selektif pada stadium IV A.
c. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat
melalui infus, tablet, atau intramuskuler. (Prayetni, 1997). Obat kemoterapi
digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat
perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis
kanker dan fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker mempunyai
penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan
pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya
diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan
adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol
penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh.
Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan
sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi
kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan
agen-agen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan.
(Gale & Charette, 2000). Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker
serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adrem ycin Platamin), PVB
(Platamin Veble Bleomycin) dan lain -lain (Prayetni, 1997).
8. Komplikasi
Pada tahap yang lebih lanjut dapat terjadi komplikasi fistula vesika
vagina, gejala lain yang dapat terjadi adalah nausea, muntah, demam dan anemi
(Prayetni, 1997).
9. Pencegahan
Upaya pencegahan yang paling utama adalah menghindarkan diri dari
faktor resiko seperti :
a. Menghindarkan diri dari hubungan seksual pada usi a muda, pernikahan pada
usia muda dan berganti-ganti pasangan seks.
b. Merencanakan jumlah anak ideal bersama suami, dan memperhatikan
asupan nutrisi selama kehamilan.
c. Menghentikan kebiasaan merokok dan berperilaku hidup sehat

http://askep-askeb.cz.cc/

Penyakit Kencing Manis

Penyakit Kencing Manis (Diabetes Mellitus)

KONSEP DASAR PENYAKIT DIABETES MELLITUS
1. Pengertian
Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolik kronis yang tidak dapat di
sembuhkan tetapi dapat dikontrol yang di karakterisasikan dengan hiperglikemia
karena definisi insulin atau ketidakadekuatan penggunaan insulin, (Engram,
1998).
Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemia kro -nik disertai berbagai
kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pa-da mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai le si pada
membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektronik.
(Mansjoer, 2001).
Diabetes mellitus adalah gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme
karbohidrat dan lemak yang diakibatkan oleh kekurangan insulin atau secara
relatif kekurangan insulin. (Tucker, 1998).

2. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Mellitus dan gangguan toleransi glukosa (Tjokro Prawiro,
1999) :
a) Klasifikasi klinik
1). Diabetes Mellitus
(a) Diabetes Mellitus tergantung Insulin (Tipe I)
(b) Diabetes Mellitus tak tergantung Insulin(Tipe II)
-Tidak gemuk
-Gemuk
2). Diabetes tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom
tertentu :
(a) Penyakit pankreas
(b) Hormonal
(c) Obat atau bahan kimia
(d) Kelainan reseptor
(e) Kelainan gestional
3). Toleransi glukosa terganggu
a). Tidak gemuk
b). Gemuk

4). Diabetes Gestasional


b) Klasifikasi Resiko Statistik
1). Toleransi glukosa pernah abnormal
2). Toleransi glukosa potensial abnormal

3. Etiologi
Menurut Mansjoer dkk. (1999), etiologi penyakit Diabe -tes Mellitus adalah
sebagai berikut :
a. Diabetes mellitus Tipe I (DMT I)
Diabetes Mellitus tipe ini disebabkan oleh deskripsi sel beta pulau langer
haus akibat proses auto imun, sebab -sebab multi faktor seperti presdisposisi
genetik.
b. Diabetes Mellitus Tipe II (DMT II)
Diabetes mellitus tipe ini disebabkan kegagalan relatif sel beta dan resistensi
insulin, resistensi insulin adalah tu -runnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukkosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat pro-duksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak ada maupun
mengimbangi resestensi insulin ini se penuhnya, artinya ter-jadi defisiensi
relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan gluko-sa, maupun pada rangsangan glukosa bersama
bahan perangsang sekresi insuin lain. Berarti sel beta pankreas mengalami
desensetisasi terhadap glukosa.

4. Patofisiologi Diabetes Mellitus
a. Menurut Brunner dan Suddarth(2001), patofisiologi DM yaitu:
1). Diabetes Tipe I
Pada diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan
insulin karena sel-sel beta pan-kreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiper-glikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak
terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak
dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia post prandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar : akibatnya,
glukosa ter-sebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlabihan diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini dinamakan diuresis
osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsia).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolis -me protein dan lemak yang
menyebabkan penu-runan berat badan. Pasien dapat mengalami pening -
katan seera makan (Polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori, gejala
lainnya mencakup kelelahan dan kele-mahan.
2). Diabetes Tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yaitu yang
berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus
pada permukaan sel sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi sel resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan
penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian insuliin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mence -gah terbentuknya glukosa
dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan
pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini ter-jadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun untuk
mengimbangi pe-ningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

5. Manifestasi klinik
Menurut Price (1995) manifestasi klinis dari DM adalah sebagai berikut :
a. DM tergantung insulin / DM Tipe I
Memperlihatkan gejala yang eksplosif dengan polidipsi, poliuri, polifagia,
turunnya BB, lemah, mengantuk yang terjadi selama sakit atau beberapa
minggu, pende-rita menajdi sakit berat dan timbul ketosidosis dan dapat
meninggal kalau mendapatkan pengobatan dengan sege -ra, biasanya
diperlukan terapi insulin untuk mengontrol metabolisme dan umumnya
penderita peka terhadap insulin.
b. DM tidak tergantung insulin / DM Tipe II
Penderita mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, pada
hiperglikemia yang lebih berat, mung -kin memperlihatkan polidipsi, poliuri,
lemah, dan somno-len, biasanya tidak mengalami ketoasidosis, kalau hiperglikemia
berat dan idak respon terhadap terapi diet mung -kin diperlukan
terapi insulin untuk menormalkan kadar glu -kosanya. Kadar insulin sendiri
mungkin berkurang normal atau mungkin meninggi tetapi tidak memadai
untuk mem-pertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten
terhadap insulin eksogen.

6. Komplikasi
Komplikasi diabetes Mellitus adalah sebagai berikut (Mansjoer, 1999) :
a. Komplikasi akut
1).Kronik hipoglikemia
2).Ketoasidosis untuk DM tipe I
3).Koma hiperosmolar nonketotik untuk DM Tipe II
b. Komplikasi kronik
1). Makroangiopati mengenai pembuluh darah besar, pem -buluh darah
jantung, pembuluh darah tepi, dan pembu -luh darah otak
2). Mikroangiopati mengenai pembuluh darah kecil retino -pati diabetik dan
nefropati diabetik
3). Neuropati diabetik
4). Rentan infeksi seperti tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih
5). Ulkus diabetikum
Pada penderita DM sering dijumpai adanya ulkus yang disebut dengan ulkus
diabetikum. Ulkus adalah ke-matian jaringan yang luas dan disertai invasif
kuman saprofit. Adanya kuman sap rofit tersebut menyebabkan ulkus berbau,
ulkus diabetikum juga merupakan salah satu gejala klinik dan perjalanan
penyakit DM dengan neuropati perifer. Ulkus terjadi karena arteri menyempit
dan selain itu juga terdapat gula berlebih pada jaringan yang merup akan
medium yang baik sekali bagi kuman, ulkus timbul pada daerah yang sering
mendapat tekan-an ataupun trauma pada daerah telapak kaki ulkus
berbentuk bulat biasa berdiameter lebih dari 1 cm berisi massa jaringan
tanduk lemak, pus, serta krusta di atas. Grade ulkus diabetikum yaitu :
1). Grade 0 : tidak ada luka
2). Grade I : merasakan hanya sampai pada permukaan kulit
3). Grade II : kerusakan kulit mencapai otot dan tulang
4). Grade III : terjadi abses
5). Grade IV : gangren pada kaki, bagian distal
6). Grade V : gangren pad seluruh kaki dan tungkak bawah distal
Pengobatan dan perawatan ulkus dilakukan de -ngan tujuan pada penyakit
yang mendasar dan terha-dap ulkusnya sendiri yaitu :
Usahakan pengobatan dan perawatan ditujukan terhadap penyakit terhadap
penyakit kausal yang men-dasari yaitu DM.
Usaha yang ditujukan terhadap ulkusnya antara lain dengan antibiotika atau
kemoterapi. Pemberian luka dengan mengompreskan ulkus dengan larutan
klorida atau larutan antiseptik ringan. Misalnya rivanol dan larutan kalium
permanganat 1 : 500 mg dan penutupan ulkus dengan kassa steril.
Alat-alat ortopedi yang secara mekanik yang da -pat merata tekanan tubuh
terhadap kaki yang luka. Am-putasi mungkin diperlukan untuk kasus DM

7. Penatalaksanaan
Dalam jangka pendek penatalaksanaan DM bertujuan untuk menghilangkan
keluahan atau gejala sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk
mencegah komplikasi tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan
kadar glukosa. Penatalaksanaan pada diabetes melitus yaitu :
a. Perencanaan makan
Menurut Tjokro Prawiro (1999) Pada konsensus perkumpulan endokrinologi
indonesia (PERKENI) telah ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah
santapan dengan komposisi seimbang berupa :
Karbohidrat : 60-70 %
Protein : 10-15 %
Lemak : 20-25 %
Pada diet DM harus memperhatikan jumlah kalori, jadwal makan, dan jenis
makan yang harus dipantang gula.
Menurut Tjokro Prawiro,(1999) Penentuan gizi penderita dilakukan dengan
menghitung prosentase Relatif Body Weigth dan dibedak an menjadi
1). Kurus : berat badan relatif : <90%
2). Normal : berat badan relatif : 90-110%
3). Gemuk : berat badan relatif : >110 %
4). Obesitas : berat badan relatif : >120 %
a). Obesitas ringan 120 – 130 %
b). Obesitas sedang 130 – 140 %
c). Obesitas berat 140 – 200 %
d). Obesitas morbid > 200 %

Apabila sudah diketahui relatif body weigthnya maka jumlah kalori yang
diperlukan sehari-hari untuk penderita DM adalah sebagai berikut :
1). Kurus : BB x 40-60 kalori / hari
2). Normal ; BB x 30 kalori / hari
3). Gemuk : BB x 20 kalori / hari
4). Obesitas : BB x 10-15 kalori / hari
b. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secar teratur 3 -4 x tiap minggu selama ½ jam.
Latihan dapat dijadikan pilihanadalah jalan kaki, joging, lari, renang,
bersepeda dan mendayung.
Tujuan latihan fisik bagi penderita DM :
1). Insulin dapat lebih efektif
2). Menambah reseptor insulin
3). Menekankenaikan berat badan
4). Menurunkan kolesterol trigliseriid dalam darah
5). Meningkatkan aliran darah
c. Obat berkhasiat hipoglikemik
1). Sulfonil urea
2). Biguanid
3). Inhibitor alfa glukosidase
4). Insulin sensitizing agen
Indikasi penggunaan insulin pada DM Tipe I adalah sebagai berikut :
1). DM dengan berat badan menurun cepat
2). Ketoasidosis, asidosis laktat, dan hipoosmolar
3). DM stress berat (interaksi sistemik, operasi berat)
4). DM kehamilan
5). DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosis
maksimal atau ada kontra indikasi dengan obat tersebut.
d. Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan meliputi pengertian, penye -bab, tanda gejala, jenis
atau macamnya, komplikasi, pena -talaksanaan pada penderita DM.

8. Diabetes mellitus pada usia lanjut
Menurut Ikram (1999), bahwa meningkatnya umur intoletrensi terhadap glukosa
juga meningkat. Jadi untuk golongan umur usia lanjut diperlukan batas glukosa
darah yang lebih tinggi dari pada batas yang dipakai untuk menegakkan
diagnosa DM pada orang dewasa non usila.
Beberapa faktor yang berkaitan sebagai penyebab diabetes pada usia lanjut.
Peningkatan kadar gula darah pada usia lanjut disebabkan beberapa hal :
1. Fungsi sel pankreas dan sekresi insulin yang berkurang.
2. Perubahan-perubahan karena usia lanjut sendiru yang berkaitan dengan
resistensi insulin, akibat kurangnya massa otot dan perubahan vaskular.
3. Aktifivitas fisisyang berkurang, banyak makan, badan kegemukan.
4. Keberadaan penyakit lain, sering menderita stres, operasi da istila h lain.
Sering menggunakan bermacam-macam obat-obatan.
a. Adanya faktor keturunan
b. Gambaran Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, pada DM usia
lanjut umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien ialah
keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan syaraf.
Pada DM usila, terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menjadi tua,
sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus
dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang mengganggu sehingga
menyebabkan ia datang berobat ialah gangguan penglihatan karena katarak, rasa
kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada
tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan yang lazim.

http://askep-askeb.cz.cc/

Blog Archive