Tuesday, May 11, 2010

Tinjauan penatalaksanaan perawatan tali pusat pada neonatus di rumah sakit umum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kematian bayi merupakan tolak ukur kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara. Saat ini angka kematian bayi (AKB) 21/1000 kelahiran hidup. (Saifudin, 2002). Kematian bayi itu sebagian besar disebabkan oleh Aspiksia Neonatorum (50 – 60%), Berat Badan Lahir Rendah (25 – 30%), infeksi (23 – 30%) dan trauma persalinan (5 – 10%) (Manuaba, 1998). Di Indonesia khusus di RS Ciptomangun Kesumo, infeksi masih merupakan 10% s/d 15% dari penyebab kematian bayi.
Sebagian besar infeksi yang berakibat fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan alat atau akibat perawatan yang tidak steril pada tali pusat atau sebagai akibat infeksi silang. (Hasan Alatas, 1997)
Infeksi dapat terjadi kapan saja bila kuman masuk pada tubuh bayi dan bila sesuatu yang kotor (tangan, peralatan kain, obat dan ramuan) menyentuh pada daerah yang terluka pada tubuh, salah satu contoh lubang yang terbuka pada Neonatus yaitu bekas luka pemotongan tali pusat, jika luka itu tidak dirawat dengan baik kemungkinan untuk menjadi infeksi lebih tinggi, karena itu perawatan tali pusat harus memperhatikan konsep 3 bersih yaitu bersih alat, tangan, tempat dalam melakukan perawatan tali pusat pada neonatus petugas harus memperhatikan standar operasional prosedur. Dimana petugas harus mencuci tangan terlebih dahulu dan mensterilkan alatnya dan harus menjaga kebersihan tempatnya.
Berdasarkan pra penelitian yang dilakukan di ruang kebidanan A.Yani Metro ditemukan sebagian petugas belum melaksanakan konsep tiga bersih dimana petugas yang melakukan perawatan tali pusat tidak mencuci tangan terlebih dahulu, petugas tidak memakai sarung tangan (Hand Scoend) karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan perawatan tali pusat pada Neonatus di RSU A. Yani Metro.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah penatalaksanaan perawatan tali pusat pada Neonatus di RSU. A. Yani Metro ?.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti membatasi ruang lingkup penelitiannya sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Deskriptif
2. Objek Penelitian : Penatalaksanaan Perawatan tali pusat pada Neonatus
3. Subjek Penelitian : Petugas kesehatan yang melakukan perawatan tali pusat pada Neonatus
4. Tempat Penelitian : Rumah Sakit Umum A. Yani Metro
5. Waktu Penelitian : 14 Mei 2004

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan perawatan tali pusat di Rumah Sakit Umum A. Yani Metro Tahun 2004.
2. Tujuan Khusus
a. Diperoleh gambaran tentang persiapan alat – alat yang digunakan dalam pelaksanaan penatalaksanaan perawatan tali pusat pada Neonatus di Rumah Sakit Umum A. Yani Metro Tahun 2004
b. Diperoleh gambaran tentang cara kerja dalam melakukan penatalaksanaan perawatan tali pusat pada Neonatus di Rumah Sakit Umum A. Yani Metro Tahun 2004

E. Manfaat Penelitian
1. Institusi Tempat Penelitian atau Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Rumah Sakit untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan khususnya pada bayi yang baru lahir.
2. Bidan
Setelah dilakukan penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan terhadap Neonatus terutama masalah perawatan tali pusat.
3. Institusi Pendidikan Akademi Kebidanan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan dalam memberikan pengajaran yang berkaitan dengan perawatan tali pusat pada Neonatus.
4. Peneliti Sendiri
Menambah wawasan ilmu pengetahuan penelitian dalam melakukan perawatan tali pusat.

Tinjauan penyebab dilakukannya curettage di rumah sakit umum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan barometer pelayanan kesehatan ibu disuatu negara. Bila AKI masih tinggi berarti pelayanan kesehatan ibu belum baik, sebaliknya bila AKI rendah berarti pelayanan kesehatan ibu sudah baik. Dikawasan Association of South East Asian Nations (ASEAN), Indonesia mempunyai AKI yang paling tinggi sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. AKI di Indonesia bervariasi dari yang rendah 130 per 100.000 kelahiran hidup di Yogyakarta, 490 per 100.00 kelahiran hidup di Jawa Barat sampai paling tinggi 1.340 per 100.000 kelahiran hidup di Nusa Tenggara Barat, variasi ini disebabkan perbedaan norma, nilai, lingkungan,dan kepercayaan masyarakat disamping intrastruktur yang ada (Sarwono , 2001).

Penyebab utama kematian ibu yaitu abortus (terkomplikasi), eklampsia, partus macet, perdarahan post partum, sepsis puerperalis (Departemen Kesehatan, 1999). Sedangkan penyebab kematian ibu di Indonesia, seperti halnya negara lain yaitu perdarahan 30 – 35%, infeksi 20 – 25%. eklampsia 15 – 17%, dan lain – lain 5% (Manuaba , 1998). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Tingkat I Lampung (2001), AKI di Lampung sebesar 1.056 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu di Propinsi Lampung yaitu perdarahan 43,24%, eklampsia 27,03%, infeksi 3,60%, partus lama 7,21%, aborsi 2,70% lain – lain 16,22% (Dinas Kesehatan Tingkat I , 2002).

Dari hasil data pre survei bulan Januari sampai Desember 2002 di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro terdapat 100 tindakan curettage dimana abortus incomplit yang terbesar sekitar 67% atau 67 orang dari seluruh pasien yang dilakukan curettage Data pasien yang melakukan curettage dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Data Tindakan Curettage di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro Periode Januari – Desember 2002

No

Penyebab Curettage

Jumlah

Persentase

1

Abortus inkomplit

67

67%

2

Plasenta Rest

8

8%

3

Mola hydatidosa

4

4%

4

Retensio placenta

8

8%

5

DUB

2

2%

6

Blightea ovum

3

3%

7

PPH

6

6%

8

Missed abortion

1

1%

9

Abortus Infeksiosa

1

1%





Jumlah

100

100%

Sumber : Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro

Dari masalah di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yaitu “Penyebab Dilakukannya curettage Di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro”.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian masalah pada latar belakang , maka penulis merumuskan masalah penelitian yaitu “Apakah penyebab dilakukannya curettage di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro?”

C. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini penulis membatasai ruang lingkup penelitian sebagai berikut :

1. Sistem Penelitian : Deskriptif.

2. Subjek Penelitian : Pasien yang dilakukan curettage di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

3. Objek Penelitian : Curettage di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

4. Lokasi Penelitian : Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

5. Waktu Penelitian : Tanggal 5 Januari 2004.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya data penyebab dilakukannya curettage dan meramalkan angka kejadian yang akan datang di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

2. Tujuan Khusus

Dengan memperhatikan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan khusus penelitian ini adalah :

a. Diketahui penyebab dilakukan curettage karena abortus inkomplit dan angka kejadian yang akan datang di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

b. Diketahui penyebab dilakukan curettage karena placenta rest dan angka kejadian yang akan datang di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro .

c. Diketahui penyebab dilakukan curettage karena retensio placenta dan angka kejadian yang akan datang di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

d. Diketahui penyebab dilakukan curettage karena blightea ovum dan angka kejadian yang akan datang di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

e. Diketahui penyebab dilakukan curettage karena mola hydatidosa dan angka kejadian yang akan datang di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

f. Diketahui penyebab dilakukan curettage karena DUB da angka kejadian yang akan datang di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

g. Diketahui penyebab dilakukan curettage karena PPH dan angka kejadian yang akan datang di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

h. Diketahui penyebab dilakukan curettage karena missed abortion dan angka kejadian yang akan datang di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

i. Diketahui penyebab dilakukan curettage karena abortus infeksiosa dan angka kejadian yang akan datang di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada :

1. Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

Diharapkan pasien dapat mengetahui dengan baik sebab – sebab dilakukannya curettage.

2. Instansi Pendidikan Program Pendidikan Kebidanan Metro

Sebagai bahan bacaan di perpustakaan dan dapat dijadikan bahan perbandingan untuk melakukan penelitian lain atau yang serupa berkaitan dengan curettage agar dapat disempurnakan lagi.

3. Penulis

Dalam penelitian ini diharapkan dapat mengetahui dengan jelas penyebab dilakukannya curettage sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang ilmu kebidanan serta sebagai penerapan ilmu yang telah didapat selama ini.



Tinjauan penatalaksanaan kejang demam di ruang anak Rumah Sakit Umum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Di negeri yang sedang berkembang, termasuk Indonesia terdapat dua faktor yaitu gizi dan infeksi yang mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap pertumbuhan anak (Hasan, 1985). Saat ini 70% kematian balita disebabkan karena pneumonia, campak, diare, malaria, dan malnutrisi. Ini berarti bahwa penyakit infeksi masih menjadi penyebab kematian balita. Terjadinya proses infeksi dalam tubuh menyebabkan kenaikan suhu tubuh yang biasa disebut dengan demam, demam merupakan faktor resiko utama terjadinya kejang demam (Selamihardja, 2001).
Kejang demam anak perlu diwaspadai karena kejang yang lama (lebih dari 15 menit) dapat menyebabkan kematian (0,64-0,74%), kerusakan saraf otak sehingga menjadi epilepsi, kelumpuhan bahkan retardasi mental. Hasil pengamatan Livingston diantara 201 pasien kejang demam sederhana 6 (3%) menderita epilepsi, sedangkan diantara 297 pasien dengan epilepsi yang diprovokasi oleh demam 276 (93%) menderita epilepsi. Prichard dan Mc Greal mendapatkan angka epilepsi 2% pada kejang demam sederhana dan 30% pada kejang atipikal. Di Indonesia , Lumban Tobing melaporkan 5 (6,5%) diantara 83 pasien kejang demam menjadi epilepsi (Soetomenggolo, 1999). Penanganan kejang demam harus tepat, sekitar 16% anak akan mengalami kekambuhan (rekurensi) dalam 24 jam pertama walaupun adakalanya belum bisa dipastikan, bila anak mengalami demam yang terpenting adalah usaha menurunkan suhu badannya. Pemberian obat pencegah kejang tidak boleh berlebihan karena dapat menimbulkan efek samping. Sementara itu anak terus dimonitor suhu badannya, karena dalam 16 jam pertama kemungkinan serangan ulang masih besar (Selamihardja, 2001).
Pengobatan segera atau terapi sangat penting, jika tidak dilakukan kambuhnya kejang semakin tinggi, sekitar sepertiga pasien kejang demam akan mengalami kekambuhan sebesar 44% pada pasien yang tidak diobati dan pada pasien yang mendapat terapi Fenobarbital maupun terapi Diazepam per rektal kekambuhan sebesar 21% (Anugrah, 2003). Ada 3 hal yang perlu dikerjakan dalam penatalaksanaan kejang demam, yaitu : pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, serta pengobatan profilaksis untuk mencegah berulangnya demam (Soetomenggolo, 1999).
Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Biasanya antara usia 3 bulan sampai 5 tahun. Sekitar 2-5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum usia 5 tahun (Soetomenggolo, 1999). Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2-4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti (Selamihardja, 2001). Di Indonesia pada tahun 1967 kejang demam termasuk sebagai lima penyakit anak terpenting di RS Cipto Mangunkusumo sebesar 7,4%, meningkat pada tahun 1971 dengan kejadian kejang sebesar 22,2% (Hasan, 1985).
Berdasarkan hasil prasurvey di Ruang Anak RSU Ahmad Yani pada bulan April 2004 terdapat 15 kasus kejang demam, 80% (11 Kasus) disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, 2 pasien kejang demam meninggal dengan observasi meningitis dan enchepalitis dan 1 pasien dirujuk (RSU A. Yani, 2004). Di Ruang Anak RSU Ahmad Yani dalam penatalaksanaan kejang demam terdapat prosedur tetap yang menjadi pedoman bagi petugas kesehatan, akan tetapi masih ada petugas kesehatan yang dalam melakukan penatalaksanaan kejang demam tidak melakukan tindakan menurunkan suhu, tindakan menjamin oksigenasi dan pemeriksaan cairan serebrospinal.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penatalaksanaan yang dilakukan petugas kesehatan pada anak yang menderita kejang demam di Ruang Anak RSU Ahmad Yani Metro ?

C. Ruang Lingkup Penelitian
1. Sifat Penelitian : Studi deskriptif
2. Subjek Penelitian : Petugas kesehatan di Ruang Anak RSU Ahmad Yani Metro yang melakukan penatalaksanaan pada penderita kejang demam.
3. Objek Penelitian : Penatalaksanaan kejang demam pada anak di Ruang Anak RSU Ahmad Yani Metro.
4. Lokasi Penelitian : Ruang Anak RSU Ahmad Yani Metro.
5. Waktu Penelitian : Tanggal 12 Mei – 31 Mei 2004
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana penatalaksanaan kejang demam di Ruang Anak RSU Ahmad Yani Metro.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya tentang bagaimana penatalaksanaan pengobatan fase akut yang dilakukan petugas kesehatan pada anak yang menderita kejang demam di Ruang Anak RSU Ahmad Yani Metro.
b. Diketahuinya tentang bagaimana penatalaksanaan dengan mencari dan mengobati penyebab yang dilakukan petugas kesehatan pada anak yang menderita kejang demam di Ruang Anak RSU Ahmad Yani Metro.
c. Diketahuinya tentang bagaimana penatalaksanaan pengobatan profilaksis yang dilakukan petugas kesehatan pada anak yang menderita kejang demam di Ruang Anak RSU Ahmad Yani Metro.

E. Manfaat Penelitian
Dengan diketahuinya penatalaksanaan kejang demam pada anak diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. RSU Ahmad Yani Metro
Sebagai bahan masukan mengenai penatalaksanaan kejang demam pada anak, sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan.
2. Institusi Pendidikan
a. Sebagai bahan evaluasi terhadap teori yang telah diberikan.
b. Sebagai sumber bahan bacaan bagi perpustakaan di institusi pendidikan.
c. Sebagai bahan tambahan pengajaran terutama yang berkaitan dengan kejang demam.

Tinjauan penatalaksanaan penyakit infeksi saluran pernafasan akut non pnemonia pada balita usia 2 bulan 5 tahun di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan bayi Indonesia sehat 2010 dituntut pelayanan kesehatan yang berkualitas guna memperoleh Sumber Daya manusia generasi penerus bangsa yang tangguh yang siap dan mampu mengatasi perubahan yang semakin cepat, tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan dituntut pula memberikan pelayanan kesehatan yang profesional sesuai standar.
Pada GBHN yang ditetapkan oleh sidang umum MPR 1993 menyatakan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia serta, perbaikan kesehatan masyarakat terus ditingkatkan antara lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (Program P2ISPA) adalah bagian pembangunan keseluruhan dan merupakan upaya untuk mendukung peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia serta merupakan bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, dengan menitik beratkan program penanggulangan pnemonia pada balita (Ditjen PPM dan PLP Dep.Kes. RI, 2000).
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak yaitu batuk, pilek. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan sebesar 3 sampai 6 kali pertahun. Ini berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan pilek sebanyak 3 sampai 6 kali pertahun. Sebagian kelompok ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien disarana kesehatan sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat dibagian rawat jalan dan rawat inap dirumah sakit disebabkan oleh ISPA. (Ditjen PPM dan PLP Dep.Kes. RI, 2000)
Berdasarkan estimasi Susenas angka kematian balita (AKABA) di Indonesia pada tahun 1995 sebesar 73 per 1.000 kelahiran hidup turun menjadi 64 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1998. Ternyata pada tahun 2001 AKABA tersebut tidak mengalami perubahan yaitu tetap 64 per 1.000 kelahiran hidup. Hal ini diperkirakan karena menurunnya akses tahun pelayanan kesehatan. Salah satunya sebagai akibat dari krisis ekonomi. Menurut hasil SKRT 1995 dan Surkernas 2001 tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Penyakit ISPA masih merupakan penyebab kematian terbanyak pada tahun 2001 kematian Balita yang tertinggi adalah kematian akibat infeksi sistem pernapasan. (Profil Kes. Indonesia, 2003)
Hasil SDKI 2002-2003 angka kematian balita 64 per 1.000 kelahiran hidup, angka ini belum mencapai target 58 per 1.000 kelahiran Hidup (Profil Kes Propinsi Lampung, 2005). Di Kabupaten Lampung Timur target penurunan angka kematian bayi tahun 2005 sebesar 3,7 per 1.000 kelahiran hidup artinya AKB belum dapat diturunkan sesuai dengan target yang diharapkan. Kematian balita di Kabupaten Lampung Timur adalah 9 kasus (0,22 per 1.000 kelahiran hidup). Bila dilihat dari faktor penyebab kematian tersebut pnemonia sebanyak 1,7% menjadi urutan ke-3. (Profil Kes. Lampung Timur, 2005)
Menurut hasil laporan bulanan pendeirta ISPA di Kabupaten Lampung Timur bulan Januari-Desember 2006 di Puskesmas Sukadana terdapat 7,333 populasi balita daerah Program Pelaksanaan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (P2ISPA) dan penemuan penderita non pnemonia pada anak usia 0-5 tahun terdapat 733 anak. Berdasarkan hal tersebut maka penulis ingin melakukan penelitian tentang: “Tinjauan Penatalaksanaan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Non Pnemonia pada Balita di Puskesmas Sukadana Lampung Timur Tahun 2007”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimanakah penatalaksanaan ISPA non pnemonia pada balita usia 2 bulan – 5 tahun di Puskesmas Sukadana Lampung Timur tahun 2007.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah :
1. Sifat penelitian : Deskriptif
2. Subjek penelitian : Balita yang berumur 2 bulan – 5 tahun yang menderita sakit ISPA yang berobat ke Puskesmas Sukadana Lampung Timur tahun 2007.
3. Objek penelitian : Tenaga kesehatan di Puskesmas Sukadana yang melakukan penatalaksanaan penyakit ISPA non pnemonia pada balita usia 2 bulan – 5 tahun.
4. Lokasi penelitian : Puskesmas Sukadana Lampung Timur
5. Waktu penelitian : Juni-Juli 2007

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit ISPA non pnemoni pada balita usia 2 bulan – 5 tahun yang menderita sakit ISPA yang berobat ke Puskesmas Sukadana Lampung Timur.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan pemeriksaan tanda dan gejala yang dilakukan petugas kesehatan pada usia 2 bulan - 5 tahun yang menderita penyakit ISPA non pnemonia di Puskesmas Sukadana Lampung Timur.
b. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan pemeriksaan pengklasifikasian penyakit yang dilakukan petugas kesehatan pada usia 2 bulan - 5 tahun yang menderita penyakit ISPA non pnemonia di Puskesmas Sukadana Lampung Timur
c. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan pemeriksaan tindakan pengobatan yang dilakukan petugas kesehatan pada usia 2 bulan - 5 tahun yang menderita penyakit ISPA non pnemonia di Puskesmas Sukadana Lampung Timur
d. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan pemeriksaan konseling pada ibu yang dilakukan petugas kesehatan pada usia 2 bulan - 5 tahun yang menderita penyakit ISPA non pnemonia di Puskesmas Sukadana Lampung Timur

E. Manfaat Penelitian
1. Puskesmas
Sebagai bahan masukan bagi petugas Puskesmas dalam penatalaksanaan penyakit ISPA pada balita usia 2 bulan – 5 tahun, dalam meningkatkan mutu kualitas pelayanan di Puskesmas sehingga terjadi penurunan angka kematian balita
2. Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan perpustakaan di pendidikan untuk penelitian selanjutnya sebagai bahan referensi peneliti selanjutnya.
3. Peneliti
Sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama studi serta menambah pengetahuan dan wawasan khususnya mengenai ISPA pada balita usia 2 bulan – 5 tahun.

Tinjauan penatalaksanaan gizi buruk pada balita oleh tenaga kesehatan di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Status gizi balita perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat jumlah balita di Indonesia sangat besar yaitu sekitar 10% dari seluruh populasi, perhatian yang serius itu berupa pemberian gizi yang baik. Pada lima tahun pertama kehidupannya, ditujukan untuk mempertahankan kehidupan sekaligus meningkatkan kualitas agar mencapai pertumbuhan optimal baik secara fisik, sosial maupun inteligensi. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan intraseluler, yang berarti bertambahnya ukuran tubuh sebagian atau keseluruhan sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat (Depkes RI, 2005).
Status gizi yang buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berfikir yang pada akhirnya akan menurunkan produktuvitas kerja.Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi yang buruk atau kurang akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia. Kondisi seperti ini lambat laun akan menyebabkan angka kematian bayi dan balita cukup tinggi (www.google.com,2003 ).
Angka kematian bayi dan anak (balita) di negara-negara berkembang khususnya Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab yang menonjol diantaranya adalah karena keadaan gizi yang kurang baik atau bahkan buruk. Kondisi gizi anak-anak Indonesia rata-rata lebih buruk dibanding gizi anak-anak dunia dan bahkan juga dari anak-anak Afrika. Sebelum krisis menerpa 8,5 juta anak (37% dari 23 juta anak) Indonesia diketahui kurang berat badannya dan menderita kekurangan mikronutrien seperti zat besi (Fe), seng (Zn) dan Vitamin A. Jumlah kematian anak pertahun akibat kekurangan gizi itu mencapai 147 ribu jiwa dan separuh lebih di antaranya adalah balita. Balita hidup mengalami penurunan kecerdasan (IQ) hingga 10% (www.Google.com, 2003 ).
Selama krisis bertambah lagi jumlah anak yang mengalami Kurang Energi dan protein (KEP) tingkat berat atau menderita marasmus kwasiorkhor dan pada saat yang sama jumlah orang miskin membengkak dari 17 juta menjadi 80 juta jiwa (www.google.com, 2000).
Tahun 2000 diperkirakan ada 25% anak Indonesia yang mengalami gizi kurang, 7 % gizi buruk. Keadaan gizi masyarakat Lampung Timur pada tahun 2005 masih perlu mendapatkan perhatian serius, dari hasil pemantauan status gizi antara lain ditemukan kasus gizi buruk sejumlah 0,16 % ( 2005 ) dari jumlah balita sebanyak 1456 jiwa (DINKES Lampung Timur, 2005 ).
Berdasarkan laporan tahunan Puskesmas Sukaraja Nuban, pada tahun 2005 ditemukan 16 kasus masalah gizi di wilayah kerja puskesmas. Balita yang menderita gizi kurang berjumlah 13 orang, sedangkan 3 orang merupakan balita dengan status gizi buruk. Jumlah balita dengan status gizi buruk ini sebenarnya melampaui target yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Lampung Timur yaitu 2 orang balita yang ditargetkan menderita gizi buruk. Disamping itu, alasan lain yang menyebabkan peneliti mengambil lokasi penelitian di Puskesmas Sukaraja Nuban adalah tidak ada data yang lengkap mengenai balita dengan masalah gizi buruk di Puskesmas lain. Meskipun upaya penanggulangan gizi buruk telah dilakukan oleh pemerintah yang melibatkan petugas kesehatan terutama bidan, masalah gizi buruk masih belum bisa dituntaskan. Atas dasar itulah penulis ingin meninjau penatalaksanaan gizi buruk oleh tenaga Kesehatan di Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimana Penatalaksanaan Gizi Buruk oleh Tenaga Kesehatan di Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan membatasi ruang lingkup yang diteliti, yaitu :
1. Sifat penelitian : Deskriptif
2. Subjek penelitian : Tenaga Kesehatan yang bertugas di Puskesmas Sukaraja Nuban.
3. Objek penelitian : Penatalaksanaan gizi buruk di Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur.
4. Waktu Penelitian : 13 Maret – 21 Juni 2006
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini terbagi menjadi 2 bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun uraian dari kedua tujuan ini adalah :
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meninjau penatalaksanaan gizi buruk oleh tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur tahun 2006.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penatalaksanaan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur, meliputi :
1) Penanganan awal pada fase stabilisasi di Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur tahun 2006.
2) Penanganan lanjutan pada fase stabilisasi di Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur tahun 2006.
3) Penanganan lanjutan pada fase transisi di Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur tahun 2006.
4) Penanganan lanjutan pada fase rehabilitasi di Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur tahun 2006.
5) Penanganan pada fase tindak lanjut di Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur tahun 2006.
b. Kendala yang dihadapi oleh tenaga kesehatan selama menangani kasus gizi buruk.
c. Hasil yang telah dicapai dalam penanganan gizi buruk di Puskesmas Sukaraja Nuban Lampung Timur.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Lampung Timur
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan masukan dalam pengembangan kebijakan di bidang kesehatan, terutama kesehatan balita.
2. Bagi Puskesmas Sukaraja Nuban
Diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi tenaga kesehatan dalam upaya perbaikan gizi balita.
3. Bagi Institusi Pendidikan Program Studi Kebidanan Metro
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, khususnya sebagai dokumen di Perpustakaan Program Studi Kebidanan Metro.
4. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penulis berharap penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

Tinjauan pemberian air susu ibu (ASI) kolostrum pada ibu post sectio caesarea di ruang kebidanan RSU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) mengamanatkan bahwa pembangunan diarahkan pada meningkatnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Modal dasar pembentukan manusia berkualitas dimulai sejak bayi dalam kandungan disertai dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sejak usia dini, terutama pemberian ASI ekslusif yaitu pemberian hanya ASI kepada bayi sejak lahir sampai berusia 4 bulan (Depkes RI, 2001).
Bagi bayi ASI merupakan makanan yang paling sempurna, dimana kandungan gizi sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan. ASI juga mengandung zat untuk perkembangan kecerdasan, zat kekebalan (mencegah dari berbagai penyakit). Konvensi hak – hak anak tahun 1990 antara lain menegaskan bahwa tumbuh kembang secara optimal merupakan salah satu hak anak. Berarti ASI selain merupakan kebutuhan, juga merupakan hak azasi bayi yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Hal ini telah dipopulerkan pada pekan ASI sedunia tahun 2000 dengan tema : “Memberi ASI adalah hak azasi ibu, Mendapat ASI adalah hak azasi bayi”. (Depkes RI, 2001).
Pernyataan dan rekomendasi tentang makanan bayi dan anak oleh World Health Organization (WHO)/United Nations International Children Emergency Fund (UNICEF) tahun 1994 antara lain berisi :
a. Menyusui merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah merupakan dasar fisiologis dan psikologis yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.
b. Memberi susu botol sebagai tambahan dengan dalih apapun juga pada bayi baru lahir harus dihindarkan (Suharyono, 1992).
Melihat begitu unggulnya ASI maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya penggunaan ASI belum seperti yang diharapkan. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi pencapaian ASI ekslusif Indonesia masih rendah. Berdasarkan data 52% Ibu memberikan ASI ekslusif itupun ASI ekslusif 4 bulan, dan 47% pemberian ASI ekslusif 6 bulan. Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan bahwa hampir semua bayi (96,3%) di Indonesia pernah mendapatkan ASI. Hasil berikutnya dari hasil SDKI 1997 adalah sebanyak 8% bayi baru lahir mendapatkan kolostrum dalam 1 jam setelah lahir dan 53% bayi mendapat kolostrum pada hari pertama. Padahal kolostrum yang diproduksi hari pertama sangat baik untuk bayi dan memberikan daya tahan terhadap penyakit infeksi dan kepada ibu memberi rangsangan untuk produksi ASI (Setyowati dan Budiarso, 1998). Untuk propinsi Lampung, cakupan ASI ekslusif pada bayi 0 – 4 bulan adalah 41,41% atau 66.730 bayi dari jumlah bayi sebanyak 161.154 bayi. (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, 2001).
Program pemerintah untuk meningkatkan partisipasi Ibu dalam pemberian ASI sedini mungkin adalah juga merupakan program dari Rumah Sakit Umum (RSU) Pringsewu Tanggamus yang merupakan Rumah Sakit rujukan di Kabupaten Tanggamus, karena berbagai faktor program laktasi di RSU Pringsewu belum berjalan sebagaimana mestinya, terutama pada bayi dengan tindakan Sectio Caesarea (SC).
Hasil prasurvey di RSU Pringsewu pada bulan Januari – April 2004 terdapat 78 persalinan dengan SC, dan 80% ibu yang melahirkan SC dengan narkose umum sadar dalam waktu tidak lebih dari 4 jam. Sedangkan pemberian ASI kolostrum pada ibu dengan SC hanya 35%. Ternyata bayi yang dilahirkan dengan SC dan ibu sadar dalam waktu 6 – 8 jam namun tidak semua bayi langsung diberi ASI kolostrum segera setelah ibu sadar tetapi diberi susu formula.
Berdasarkan data latar belakang inilah sebagai dasar penulis untuk mengadakan penelitian tentang tinjauan pemberian ASI kolostrum pada ibu post SC di ruang kebidanan RSU Pringsewu Kabupaten Tanggamus tahun 2004.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu Tanggamus ?

C. Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian yaitu :
1. Jenis Penelitian : Deskriptif
2. Subjek Penelitian : Ibu Post Sectio Caesarea
3. Objek Penelitian : Pemberian ASI kolostrum pada bayi baru lahir dengan tindakan Sectio Caesarea
4. Lokasi Penelitian : Ruang kebidanan RSU Pringsewu
5. Waktu Penelitian : 25 Mei 2004 sampai dengan 26 Juni 2004

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran pemberian ASI kolostrum pada Ibu Post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu Kabupaten Tanggamus.
2. Tujuan Khusus
a. Diperoleh gambaran tentang waktu pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu Kabupaten Tanggamus.
b. Diperoleh gambaran tentang cara pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu.
c. Diperoleh gambaran tentang posisi pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu.
d. Diperoleh gambaran tentang lamanya pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu.
e. Diperoleh gambaran tentang frekuensi pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Rumah Sakit Umum Pringsewu
Sebagai sumbangan pemikiran dan sebagai bahan masukan bidan atau tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Pringsewu. Sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang terbaik bagi pasien dengan tindakan SC.
2. Instansi Pendidikan Program Studi Kebidanan Metro
Sebagai bahan evaluasi terhadap teori dan sebagai sumber bahan tambahan pengajaran terutama yang berkaitan dengan penatalaksaan pemberian ASI Kolostrum pada bayi dengan ibu Post SC.
3. Peneliti
Dapat memberikan gambaran informasi tentang pemberian ASI kolostrum pada ibu SC dan dapat menambah wawasan keilmuan.
4. Peneliti lain
Dapat dijadikan bahan perbandingan untuk melakukan penelitian – penelitian lain atau yang serupa berkaitan dengan ASI kolostrum, dan dapat disempurnakan lagi.
5. Bagi responden atau pasien rumah sakit
Dengan adanya protap, khususnya tentang pemberian ASI kolostrum pada klien dengan SC yang dirawat di Rumah Sakit Umum, akan memperoleh pelayanan yang baik dan benar sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan pengetahuan secara maksimal.

Tinjauan pemberian air susu ibu (ASI) kolostrum pada ibu post sectio caesarea di ruang kebidanan RSU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) mengamanatkan bahwa pembangunan diarahkan pada meningkatnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Modal dasar pembentukan manusia berkualitas dimulai sejak bayi dalam kandungan disertai dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sejak usia dini, terutama pemberian ASI ekslusif yaitu pemberian hanya ASI kepada bayi sejak lahir sampai berusia 4 bulan (Depkes RI, 2001).
Bagi bayi ASI merupakan makanan yang paling sempurna, dimana kandungan gizi sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan. ASI juga mengandung zat untuk perkembangan kecerdasan, zat kekebalan (mencegah dari berbagai penyakit). Konvensi hak – hak anak tahun 1990 antara lain menegaskan bahwa tumbuh kembang secara optimal merupakan salah satu hak anak. Berarti ASI selain merupakan kebutuhan, juga merupakan hak azasi bayi yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Hal ini telah dipopulerkan pada pekan ASI sedunia tahun 2000 dengan tema : “Memberi ASI adalah hak azasi ibu, Mendapat ASI adalah hak azasi bayi”. (Depkes RI, 2001).
Pernyataan dan rekomendasi tentang makanan bayi dan anak oleh World Health Organization (WHO)/United Nations International Children Emergency Fund (UNICEF) tahun 1994 antara lain berisi :
a. Menyusui merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah merupakan dasar fisiologis dan psikologis yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.
b. Memberi susu botol sebagai tambahan dengan dalih apapun juga pada bayi baru lahir harus dihindarkan (Suharyono, 1992).
Melihat begitu unggulnya ASI maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya penggunaan ASI belum seperti yang diharapkan. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi pencapaian ASI ekslusif Indonesia masih rendah. Berdasarkan data 52% Ibu memberikan ASI ekslusif itupun ASI ekslusif 4 bulan, dan 47% pemberian ASI ekslusif 6 bulan. Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan bahwa hampir semua bayi (96,3%) di Indonesia pernah mendapatkan ASI. Hasil berikutnya dari hasil SDKI 1997 adalah sebanyak 8% bayi baru lahir mendapatkan kolostrum dalam 1 jam setelah lahir dan 53% bayi mendapat kolostrum pada hari pertama. Padahal kolostrum yang diproduksi hari pertama sangat baik untuk bayi dan memberikan daya tahan terhadap penyakit infeksi dan kepada ibu memberi rangsangan untuk produksi ASI (Setyowati dan Budiarso, 1998). Untuk propinsi Lampung, cakupan ASI ekslusif pada bayi 0 – 4 bulan adalah 41,41% atau 66.730 bayi dari jumlah bayi sebanyak 161.154 bayi. (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, 2001).
Program pemerintah untuk meningkatkan partisipasi Ibu dalam pemberian ASI sedini mungkin adalah juga merupakan program dari Rumah Sakit Umum (RSU) Pringsewu Tanggamus yang merupakan Rumah Sakit rujukan di Kabupaten Tanggamus, karena berbagai faktor program laktasi di RSU Pringsewu belum berjalan sebagaimana mestinya, terutama pada bayi dengan tindakan Sectio Caesarea (SC).
Hasil prasurvey di RSU Pringsewu pada bulan Januari – April 2004 terdapat 78 persalinan dengan SC, dan 80% ibu yang melahirkan SC dengan narkose umum sadar dalam waktu tidak lebih dari 4 jam. Sedangkan pemberian ASI kolostrum pada ibu dengan SC hanya 35%. Ternyata bayi yang dilahirkan dengan SC dan ibu sadar dalam waktu 6 – 8 jam namun tidak semua bayi langsung diberi ASI kolostrum segera setelah ibu sadar tetapi diberi susu formula.
Berdasarkan data latar belakang inilah sebagai dasar penulis untuk mengadakan penelitian tentang tinjauan pemberian ASI kolostrum pada ibu post SC di ruang kebidanan RSU Pringsewu Kabupaten Tanggamus tahun 2004.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu Tanggamus ?

C. Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian yaitu :
1. Jenis Penelitian : Deskriptif
2. Subjek Penelitian : Ibu Post Sectio Caesarea
3. Objek Penelitian : Pemberian ASI kolostrum pada bayi baru lahir dengan tindakan Sectio Caesarea

4. Lokasi Penelitian : Ruang kebidanan RSU Pringsewu
5. Waktu Penelitian : 25 Mei 2004 sampai dengan 26 Juni 2004

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran pemberian ASI kolostrum pada Ibu Post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu Kabupaten Tanggamus.
2. Tujuan Khusus
a. Diperoleh gambaran tentang waktu pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu Kabupaten Tanggamus.
b. Diperoleh gambaran tentang cara pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu.
c. Diperoleh gambaran tentang posisi pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu.
d. Diperoleh gambaran tentang lamanya pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu.
e. Diperoleh gambaran tentang frekuensi pemberian ASI kolostrum pada ibu post Sectio Caesarea di ruang kebidanan RSU Pringsewu.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Rumah Sakit Umum Pringsewu
Sebagai sumbangan pemikiran dan sebagai bahan masukan bidan atau tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Pringsewu. Sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang terbaik bagi pasien dengan tindakan SC.
2. Instansi Pendidikan Program Studi Kebidanan Metro
Sebagai bahan evaluasi terhadap teori dan sebagai sumber bahan tambahan pengajaran terutama yang berkaitan dengan penatalaksaan pemberian ASI Kolostrum pada bayi dengan ibu Post SC.
3. Peneliti
Dapat memberikan gambaran informasi tentang pemberian ASI kolostrum pada ibu SC dan dapat menambah wawasan keilmuan.
4. Peneliti lain
Dapat dijadikan bahan perbandingan untuk melakukan penelitian – penelitian lain atau yang serupa berkaitan dengan ASI kolostrum, dan dapat disempurnakan lagi.
5. Bagi responden atau pasien rumah sakit
Dengan adanya protap, khususnya tentang pemberian ASI kolostrum pada klien dengan SC yang dirawat di Rumah Sakit Umum, akan memperoleh pelayanan yang baik dan benar sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan pengetahuan secara maksimal.

Tinjauan pelaksanaan pencegahan infeksi pada asuhan persalinan normal oleh bidan di ruang kebidanan RSUD

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan bayi menuju Indonesia sehat tahun 2010 di tuntut pelayanan kebidanan yang berkualitas guna memperoleh sumber daya manusia, generasi penerus bangsa yang tangguh dan siap mengantisipasi perubahan yang semakin cepat. Bidan sebagai pemberi jasa pelayanan dituntut pula memberikan pelayanan kebidanan yang profesional sesuai standar etik dan standar pelayanan.

Asuhan persalinan normal adalah asuhan persalinan yang bersih dan aman serta mencegah terjadinya komplikasi selama dan pasca persalinan (Depkes, 2007). Tujuan asuhan persalinan normal adalah menjaga kelangsungan hidup dan memberi derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya melalui upaya yang terintegrasi dan lengkap tetapi dengan intervensi yang seminimal mungkin agar prinsip keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga di tingkat yang diinginkan, sehingga angka kematian ibu dan angka kematian bayi dapat diturunkan (Depkes, 2007).
Kematian ibu adalah kematian yang terjadi pada ibu karena peristiwa kehamilan, persalinan dan masa nifas. Tingkat kematian ibu (maternal mortality rate) didefinisikan sebagai jumlah kematian ibu selama satu tahun selama 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu di Indonesia tertinggi di ASEAN sebesar 307/100.000 kelahiran hidup (survei SDKI 2002-2003) artinya lebih dari 18.000 tiap tahun atau 2 ibu tiap jam meninggal sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes, 2007).
Angka kematian ibu di Lampung yaitu sebesar > 307 per 100.000 lahir hidup, jumlah kematian ibu maternal tahun 2003 yaitu 98 dari 186.248 ibu hamil dan meningkat menjadi 145 kasus pada tahun 2004 dan tetap sama pada tahun 2005 sebanyak 145 kasus dari 165.347 kelahiran hidup pada tahun 2006 sebanyak 134 kasus (Dinkes Lampung, 2006). Untuk Kota Metro jumlah kelahiran hidup masih belum mencapai 100.000 sehingga belum bisa diperkirakan Angka Kematian Ibu (AKI) untuk jumlah kasus kematian ibu melahirkan pada tahun 2005 jumlah kematian ibu sebanyak 2 orang per 2801 kelahiran hidup, tahun 2006 jumlah kematian ibu sebanyak 8 orang per 2768 kelahiran hidup (Dinkes 2006).
Penyebab kematian ibu cukup komplek dapat digolongkan atas faktor-faktor reproduksi, komplikasi obstetrik, pelayanan kesehatan dan sosial ekonomi. Menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga), penyebab obstetri langsung sebesar 90% yaitu sebagian besar perdarahan (28%), eklapsi (24%), infeksi nifas (11%), penyebab tidak langsung kematian ibu seperti Kurang Energi Kronik (KEK) 37%, anemia (Hb <>

Tinjauan pelaksanaan kegiatan pondok sayang ibu (PSI) di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan ukuran penting dalam menilai keberhasilan pelayanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) suatu negara. Mortalitas dan morbilitas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang, menurut laporan UNICEF di negara miskin sekitar 25% - 50% kematian wanita usia subur disebabkan karena komplikasi kehamilan, kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama kematian ibu karena tidak semua kehamilan berakhir dengan persalinan yang berlangsung normal, hal ini berdasarkan kenyataan bahwa lebih dari 90 % kematian ibu disebabkan komplikasi obstetri. Diperkirakan 15% kehamilan akan mengalami keadaan resiko tinggi dan komplikasi obstetri yang dapat membahayakan kehidupan ibu maupun janinnya bila tidak ditangani dengan memadai. AKI di Indonesia masih tinggi yaitu 334 per 100.000 kelahiran hidup (KH) dan AKB sebesar 21,8 per 1.000 KH (Saifuddin, 2002). Sedangkan AKI di Lampung juga masih tinggi selama tahun 2001 yaitu jumlah kematian maternal 111 dari 134.596 KH (83/100.000 KH), dan jumlah kematian bayi yaitu 4/1000 KH, (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, 2001).

Indonesia menempatkan penurunan AKI sebagai program prioritas mengingat kira-kira 90% kematian ibu terjadi di saat sekitar persalinan dan kira-kira 95% penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetri, maka kebijaksanaan Departemen Kesehatan untuk mempercepat penurunan AKI adalah mengupayakan agar : 1) setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan dan pelayanan obstetri sedekat mungkin pada ibu hamil. Memperhatikan AKI dan AKB dapat dikemukakan bahwa : 1) sebagian besar kematian ibu dan perinatal terjadi saat pertolongan pertama, 2) pengawasan antenatal masih belum memadai sehingga menyulitkan kehamilan dengan resti tidak atau terlambat diketahui, 3) masih banyak di jumpai ibu dengan jarak kehamilan pendek, terlalu banyak anak, terlalu muda, dan terlalu tua untuk hamil, 4) jumlah anemia pada ibu hamil cukup tinggi, dan 5) pendidikan masyarakat yang rendah cenderung memilih pemeliharaan kesehatan secara tradisional (Manuaba, 1998).
Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diupayakan program yang memiliki daya ungkit besar dan dilaksanakan dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di masyarakat itu sendiri. Untuk itu digalakkan Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang dirintis oleh Kantor Menteri Pemberdayaan Wanita pada tahun 1996. Ruang lingkup GSI meliputi advokasi dan mobilisasi sosial. Dalam pelaksanaannya GSI mempromosikan kegiatan yang berkaitan dengan Rumah Sakit Sayang Ibu dan Kecamatan Sayang Ibu, untuk mencegah 3 keterlambatan yaitu: 1) keterlambatan di tingkat keluarga dalam mengenali tanda bahaya dan membuat keputusan untuk segera mencari pertolongan, 2) keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan kesehatan, dan 3) keterlambatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapat pertolongan yang dibutuhkan. Kegiatan yang terkait dengan Kecamatan Sayang Ibu berusaha mencegah keterlambatan pertama dan kedua, sedang kegiatan yang terkait dengan Rumah Sakit Sayang Ibu adalah mencegah keterlambatan ketiga. Menanggapi masalah tersebut tim penggerak PKK Propinsi Lampung mengambil langkah dengan membentuk Pondok Sayang Ibu yang merupakan tempat penampungan sementara bagi ibu hamil yang beresiko tinggi atau ibu hamil lainnya yang membutuhkan pertolongan dalam menghadapi persalinannya (TP.PKK Propinsi Lampung, 1997)
Di Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus merupakan daerah terpencil dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. Di wilayah kerja Puskesmas Putih Doh terdapat 3 desa yang memiliki PSI dan salah satunya adalah Desa Badak. Dibanding dengan 2 desa lainnya yaitu : Desa Way Rilau dan Desa Tanjung Jati, Desa Badak merupakan desa yang sasaran ibu hamilnya lebih besar dengan perbandingan Desa Badak 43 orang, Desa Way Rilau 27 orang dan Desa Tanjung Jati 8 orang. Sedangkan perbandingan cakupan K1 (Kunjungan pertama ibu hamil) dari bulan Januari sampai bulan Agustus 2003 yaitu : Desa Badak 22 orang, Desa Way Rilau 15 orang dan Desa Tanjung Jati 5 orang. Adapun cakupan pelayanan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di Desa Badak lainnya yaitu : K IV ada 15 orang, deteksi ibu hamil dengan resiko tinggi ada 3 orang, neonatus 20 orang dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan ada 20 orang. (Data Puskesmas Putih Doh tahun, 2003)
Menurut data pra survey yang dilakukan peneliti pada tanggal 3 November 2003, bahwa di Desa Badak selama tahun 2003 ini ada kematian ibu berjumlah 1 orang yang disebabkan karena perdarahan pada saat persalinan. Dan dari 8 standar kegiatan Pondok Sayang Ibu (PSI) yaitu: 1) membuat daftar seluruh ibu hamil yang ada di desa wilayah PSI, 2) menentukan status ibu hamil apakah kehamilannya beresiko tinggi, 3) membuat hari perkiraan ibu hamil, 4) menampung ibu hamil sementara sebelum dirujuk ke Rumah Sakit (RS), 5) melaksanakan piket kader PSI, 6) membuat daftar piket ambulan desa, 7) membuat daftar pendonor darah, dan 8) pembinaan / pertemuan ibu hamil. Yang dilakukan PSI di Desa Badak hanya 3 kegiatan atau 37,5 % yaitu : 1) menentukan status ibu hamil apakah kehamilannya beresiko tinggi, 2) membuat hari perkiraan ibu hamil, dan 3) membuat daftar piket ambulan desa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik memilih judul penelitian yaitu Tinjauan Pengelolaan Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana Pelaksanaan kegiatan Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah Kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus ?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Di dalam penulisan ini yang menjadi ruang lingkup dari penelitian tinjauan pengelolaan Pondok Sayang Ibu (PSI) adalah sebagai berikut :
1. Subjek penelitian : Pondok Sayang Ibu
2. Objek penelitian : Pelaksanaan kegiatan Pondok Sayang Ibu
3. Variabel penelitian : Pondok Sayang Ibu
4. Populasi : PSI di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus
5. Lokasi Penelitian : Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus
6. Waktu penelitian : Dilakukan pada bulan Desember 2003 – Maret 2004

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Kegiatan yang dilakukan PSI di Desa Badak
b. Tenaga pelaksana PSI di Desa Badak
c. Peralatan yang ada di PSI di Desa Badak
d. Pendanaan PSI di Desa Badak
e. Pencatatan dan pelaporan yang dilakukan di PSI di Desa Badak




E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi pengelola PSI
Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan di PSI bagi masyarakat di Desa Badak
2. Manfaat bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan sebagai upaya dalam pembinaan dan pengelolaan PSI.
3. Manfaat bagi Penulis
Menambah pengetahuan penulis tentang penelitian PSI

TInjauan pelaksanaan imunisasi campak di posyandu kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Imunisasi merupakan hal yang terpenting dalam usaha melindungi kesehatan anak. Imunisasi merupakan suatu cara yang efektif untuk memberikan kekebalan khusus terhadap seseorang yang sehat, dengan tujuan utama untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Salah satunya adalah penyakit campak yang sering sekali menyerang anak di bawah usia lima tahun (http://www.Khalidatunnur dan Masriati Maeta Bagian Epidemiologi FKM Unhas, 2007).
Di Negara berkembang, terutama di daerah pedesaan yang sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan, khususnya dalam program imunisasi, sering terjadi wabah campak dengan angka kematian tinggi. Program imunisasi campak di Indonesia sendiri dimulai pada 1982 dan masuk dalam pengembangan program imunisasi. Keberhasilan Indonesia itu memberikan dampak positif terhadap kecenderungan penurunan kejadian campak, khususnya pada balita dari 20,08/10000 – 3,4/10000 selama 1992-1997. Karena, masih banyak anak Indonesia yang belum menerima imunisasi campak. Kelalaian untuk memberikan imunisasi campak pada balita telah mengakibatkan lebih dari 15000 anak Indonesia terserang campak. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan penderita campak tertinggi di dunia (http://www.Khalidatunnur dan Masriati Maeta Bagian Epidemiologi FKM Unhas, 2007).
Imunisasi campak efektif untuk memberi kekebalan terhadap penyakit campak sampai seumur hidup. Penyakit campak yang disebabkan oleh virus yang ganas ini dapat dicegah jika seseorang mendapatkan imunisai campak, minimal dua kali yakni semasa usia 6-59 bulan dan masa SD (6-12 tahun). Upaya imunsiasi campak tambahan yang dilakukan bersama imunisasi rutin terbukti dapat menurunkan kematian karena campak sampai 48 %. Menurut Menkes, total 6.390.180 anak menjadi target program yang mencakup crash program campak dengan sasaran 3.675.817. Anak umur 6-59 bulan dan catch up campaign campak dengan sasaran 2.715.363 anak SD / sederajat kelas 1-6 (6-12 tahun). Diperkirakan lebih dari 30000 anak / tahun meninggal karena komplikasi campak. Selain itu, campak berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) atau wabah. Immunisasi adalah jalan utama untuk mencegah dan menurunkan angka kematian anak-anak akibat campak. (http://www.imunisasi, 2007)
Angka kesakitan untuk penyakit campak dari 12 kasus yang ditemukan pada tahun 2001 (angka kesakitan 81,65 per 100.000 penduduk) meningkat menjadi 14 kasus pada tahun 2002 (angka kesakitan 98,82 per 100.000 penduduk). Angka ini meningkat menjadi 129,85 pada tahun 2003 karena terjadi 15 kasus, pada tahun 2004 angka temuannya meningkat dari 11.200 jiwa penduduk sasaran terdapat 135 penderita sehingga angka kesakitan menjadi 1205,35. peningkatan ini lebih disebabkan oleh karena bertambahnya jumlah sasaran penduduk di Kota Metro dan penemuan kasus yang meningkat. Pada semester I tahun 2005 angka kematian kasus meningkat menjadi 15,2 kasus dari 125.085 jiwa penduduk (angka kesakitan 1356,90) sampai dengan semester II angka kesakitan campak menjadi 1713,98 per 100.000 penduduk. Pada semester I tahun 2006 angka temuan kasus ditemukan 67 kasus dari 126.375 jiwa penduduk (angka kesakitan : 241, 03 per 100.000 penduduk). Jumlah penderita campak yang tersebar di wilayah layanan Puskesmas di kota Metro untuk semester I tahun 2007, angka temuan kasus ditemukan 34 kasus dari 15.449 jiwa penduduk (angka kesakitan: 220,08 per 100.000 penduduk). Angka kesakitan paling banyak terdapat di wilayah Puskesmas Iringmulyo sebanyak 13 kasus dari 45 balita (Profil DinKes Kota Metro, 2007).
Hasil data yang didapat peneliti di Puskesmas Iringmulyo pada semester I tahun 2007 data angka kesakitan campak dipuskesmas Iringmulyo pada bulan Januari ditemukan sebanyak 5 kasus, Februari 2 kasus, Maret 1 kasus, April 1 Kasus, Mei 2 kasus, Juni 2 kasus (Laporan Bulanan Puskesmas Iringmulyo, 2007). Hasil pra survei yang didapat peneliti di Puskesmas Iringmulyo dari bulan Januari sampai Maret, angka kesakitan campak sebanyak 8 kasus dari 45 balita yang telah mendapatkan imunisasi campak. Dari uraian di atas penulis ingin melihat pelaksanaan imunisasi campak di Posyandu Kelurahan Iringmulyo Wilayah Kerja Puskesmas Iringmulyo Tahun 2008.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : ”Bagaimanakah Pelaksanaan Imunisasi Campak di Posyandu Kelurahan Iringmulyo Wilayah Kerja Puskesmas Iringmulyo Tahun 2008?”.


C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang pelaksanaan imunisasi campak di Posyandu Kelurahan Iringmulyo Wilayah Kerja Puskesmas Iringmulyo.

2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui persiapan pelaksanaan imunisasi campak
a. Ditinjau dari persiapan alat imunisasi campak
b. Ditainjau dari teknik penyuntikan imunisasi campak
c. Ditinjau dari evaluasi setelah immunisasi campak

D. Ruang Lingkup
Pada penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian : Diskriptif
2. Subyek Penelitian : Petugas pelaksana imunisasi campak
3. Objek Penelitian : Pelaksanaan imunisasi campak
4. Lokasi Penelitian : Di Posyandu Kelurahan Iringmulyo Wilayah Kerja Puskesmas Iringmulyo Tahun 2008.
5. Waktu Penelitian : Pada tanggal 4-16 Juni 2008


E. Manfaat Penelitian
Dengan diperolehnya gambaran pelaksanaan imunisasi campak secara umum, maka penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan :
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Metro, sebagai masukan dalam rangka meningkatkan pelayanan pelaksanaan imunisasi campak
2. Bagi Puskesmas Iringmulyo, sebagai masukan dalam rangka pelaksanaan imunisasi campak yang akan datang sesuai dengan pedoman .
3. Bagi Penulis, bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian tentang imunisasi campak.

Blog Archive