Friday, May 14, 2010

Pengetahuan ibu tentang pemberian imunisasi hepatitis B1 segera setelah lahir di rumah bersalin

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat seoptimal mungkin. Hal ini mengingat derajat kesehatan merupakan salah satu unsur penting dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas guna menghadapi tantangan masa yang akan datang.( Dinkes Prop. Lampung, 2001)
Pelayanan kebidanan yang berfokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara berangsur – angsur dialihkan ke pelayanan promotif dan preventif. Pandangan ini sejalan dengan perubahan paradigma bidang kesehatan yaitu dari paradigma sakit menjadi paradigma sehat. Pergeseran fokus pelayanan dan perubahan paradigma kesehatan tersebut mengisyaratkan pentingnya melaksanakan upaya promotif dan preventif diberbagai tingkatan, termasuk di tingkat lapisan masyarakat, serta menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi. (Dinkes Prop. Lampung, 2001)
Salah satu usaha preventif yang berkaitan dengan kelangsungan hidup bayi adalah imunisasi, bayi yang baru lahir mempunyai kekebalan alami yang diterima dari ibunya saat masih dalam kandungan. Kekebalan ini didapat melalui placenta (ari- ari) dan akan habis kira-kira setelah bayi berumur 6 bulan. Pada usia ini, seorang anak menjadi sasaran yang mudah dijangkiti penyakit. Untuk mencegahnya imunisasi harus diberikan sedini mungkin (Depkes RI, 1990). Imunisasi yang diberikan sedini mungkin setelah bayi lahir adalah imunisasi Hepatitis B1. Imunisasi Hepatitis B diberikan untuk mencegah penyakit Hepatitis B yang merupakan penyakit hati kronis. Imunisasi Hepatitis B merupakan 3 dari minimal 8 suntikan yang harus diterima oleh bayi. Efektifitas imunisasi Hepatitis B akan tinggi bila suntikan Hepatitis B diberikan pada usia dini ( Depkes RI, 2002 ).
Indonesia adalah negara dengan tingkat endemik penyakit Hepatitis B menengah sampai dengan tinggi, prevalensi pengidap penyakit Hepatitis B di Indonesia sebanyak 2,5 - 25 %. Prevalensi penyakit Hepatitis B pada kalangan wanita hamil sebanyak 3,6 – 8,7 %, dan prevalensi penyakit Hepatitis B pada kalangan anak-anak di bawah usia 4 tahun adalah sebesar 6,2 % ( Ditjen PPm & PL Depkes RI ). Sebesar 50 % dari ibu hamil pengidap Hepatitis B akan menularkan penyakit tersebut kepada bayinya. Data epidemiologi menyatakan sebagian kasus yang terjadi pada penderita Hepatitis B ( 10 % ) akan menjurus kepada kronis dan dari kasus yang kronis ini 20 %-nya menjadi hepatoma, dan kemungkinan akan kronisitas akan lebih banyak terjadi pada anak-anak balita oleh karena respon imun pada mereka belum sepenuhnya berkembang sempurna ( www.imunisasi.htm)
Persentase cakupan imunisasi Hepatitis B1 di Indonesia yang diberikan pada bayi dengan usia kurang dari 7 hari pada tahun 2000 sebesar 3 % dan mengalami peningkatan pada tahun 2002 menjadi 10 %, sedangkan cakupan imunisasi Hepatitis B yang diberikan pada bayi dengan usia lebih dari 7 hari pada tahun 2000 sebesar 90% mengalami penurunan pada tahun 2002 menjadi 50 %. Cakupan imunisasi Hepatitis B1 secara keseluruhan mengalami penurunan dari tahun 2000 sebesar 93 % menjadi 60 % pada tahun 2002.
Cakupan imunisasi Hepatitis B1 di Lampung Timur yang diberikan pada bayi dengan usia 0-7 hari masih sangat rendah yaitu hanya 3.074 bayi dari 22.327 bayi keseluruhan ( 13,8 % ) dan cakupan imunisasi Hepatitis B1 yang diberikan pada bayi dengan usia lebih dari 7 hari sebanyak 13.326 bayi ( 59,7 % ) dari 22.327 jumlah bayi, dari total jumlah imunisasi Hepatitis B1 usia 0 - 7 hari dan lebih dari 7 hari didapat 5927 bayi tidak diimunisasi Hepatitis B1.

Gambar 1. Diagram Cakupan Imunisasi Hepatitis B di Kabupaten Lampung Timur
Sumber : Hasil imunisasi Kabupaten Lampung Timur Januari – Desember 2005 Dinas Kesehatan Lampung Timur
Rendahnya angka cakupan imunisasi Hepatitis B1 yang diberikan kurang dari 7 hari pada bayi itu disebabkan karena sebagian masyarakat tidak atau belum tahu manfaat imunisasi Hepatitis B1 sebaiknya diberikan segera setelah lahir. Mereka merasa takut dan kasihan bayi mereka diberi imunisasi pada waktu dini dan berpendapat bayi akan sehat tanpa imunisasi dini ( Ditjen PPm & PL Depkes RI ).
Jumlah persalinan di Rumah Bersalin Do'a Ibu pada bulan Januari – Desember 2005 sebanyak 181 orang dan tidak ada satupun bayi yang mendapat imunisasi Hepatitis B1 dibawah usia 7 hari. Dari data tersebut penulis tertarik untuk mengambil judul tentang " Pengetahuan Ibu Tentang Pemberian Imunisasi Hepatitis B1 Segera Setelah Lahir di Rumah Bersalin Do'a Ibu Purbolinggo."

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka penulis merumuskan "Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang imunisasi Hepatitis B1 segera setelah lahir di Rumah Bersalin Do'a Ibu Purbolinggo ? "

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diperolehnya gambaran tentang pengetahuan Ibu tentang pemberian imunisasi Hepatitis B1 segera setelah lahir di Rumah Bersalin Do'a Ibu Purbolinggo Lampung Timur.
2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya gambaran pengetahuan ibu tentang pengertian imunisasi Hepatitis B1.
b. Diperolehnya gambaran pengetahuan ibu tentang tujuan imunisasi Hepatitis B1.
c. Diperolehnya gambaran pengetahuan ibu tentang manfaat imunisasi Hepatitis B1.
d. Diperolehnya gambaran pengetahuan ibu tentang waktu yang tepat imunisasi Hepatitis B1.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun yang menjadi ruang lingkup dari penelitian tentang Pengetahuan Ibu tentang Pemberian Imunisasi Hepatitis B1 Segera Setelah Lahir di Rumah Bersalin Do'a Ibu adalah sebagai berikut :
1. Sifat penelitian : Deskriptif
2. Subyek penelitian : Ibu – ibu yang melahirkan di Rumah Bersalin Do'a Ibu pada bulan Februari – April 2006
3. Objek penelitian : Pengetahuan Ibu tentang pemberian imunisasi Hepatitis B1 segera setelah lahir di Rumah Bersalin Do'a Ibu.
4. Lokasi penelitian : Rumah Bersalin Do'a ibu Purbolinggo
5. Waktu penelitian : Setelah seminar proposal

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
1. Untuk ibu
Dengan penelitian ini dapat menambah pengetahuan ibu tentang manfaat diberikannya imunisasi Hepatitis B dan tahu kapan waktu yang tepat dan baik diberikannya imunisasi Hepatitis B1
2. Untuk Institusi Pendidikan
Untuk dapat dijadikan acuan (referensi) bagi penelitian lebih lanjut sekaligus sebagai bahan atau sumber bacaan diperpustakaan institusi pendidikan tentang imunisasi Hepatitis B1
3. Untuk Rumah Bersalin Do'a Ibu
Sebagai bahan masukan untuk bidan agar dapat memotivasi masyarakat utuk menbawa bayinya ke posyandu atau tempat kesehatan lainnya untuk diimunisasi Hepatitis B1 sebelum usia bayi 7 hari.

Pengetahuan ibu tentang pemberian makanan tambahan pada bayi di bawah umur 6 bulan di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak balita adalah masa anak dibawah lima tahun atau berumur 12 – 60 bulan (Dep.Kes, 2005). Pada saat memasuki usia balita terjadi pertumbuhan cepat terutama pada pertumbuhan otak yang dapat mencapai 80% dari total pertumbuhan. Status gizi yang buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pertumbuhan fisik, mental, maupun kemampuan berfikir yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja. Keadaan ini memberikan petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi yang buruk atau kurang akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia (www.google. com). Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) 2003, dari sekitar 5 juta anak balita (27,5%) yang kekurangan gizi, lebih kurang 3,6 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, 1,5 juta anak (8,3%) gizi buruk. (Dep.Kes, 2004).
Ibu adalah pelindung, pengasuh, dan pendidik bayi. Bila ibu mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang baik dibidang kesehatan, maka bayi yang diasuhnya bisa lebih terjamin pertumbuhan dan perkembangannya sebaliknya bila ibu kurang mempunyai pengetahuan dan keterampilan dibidang kesehatan maka perlakuan mereka kepada bayinya akan jauh dari perilaku sehat, akibatnya bayi dapat mengalami gangguan kesehatan. Bayi sering menderita penyakit infeksi yang menguras zat gizi akibatnya status gizi bayi menjadi buruk, gizi yang buruk membuat daya tahan tubuh lemah sehingga bayi mudah terkena infeksi, oleh karena itu pengetahuan kesehatan bagi ibu sangatlah penting dan memilih makanan yang sehat bagi bayi merupakan kunci baik tidaknya status gizi bayi (pudjiadi, 1997).
Menurut Almatsier (2001) status gizi bayi merupakan hasil dari keseimbangan antara asupan gizi dengan kebutuhan gizi. Dilihat dari kebutuhan gizi, kematangan fisiologis, dan keamanan imunologis, pemberian makanan selain Air Susu Ibu (ASI) sebelum bayi berusia 4 bulan adalah tidak perlu dan juga dapat membahayakan. Kerugian dan resiko apabila makanan pelengkap diberikan terlalu dini dapat mengganggu perilaku dalam pemberian makanan bayi, pengurangan produksi ASI, penurunan absorpsi besi dari ASI, meningkatnya resiko infeksi dan alergi pada bayi, dan meningkat pula resiko terjadinya kehamilan baru. Di samping itu juga dapat terjadi pula resiko terhadap defisit air yang akan menyebabkan hiperosmolaritas dan hipernatremia, yang pada kasus-kasus ekstrim dapat menyebabkan terjadinya letargi, kejang-kejang, dan bahkan kerusakan yang menetap pada otak (Akre, 1994).
Bayi yang tidak mendapatkan ASI kemungkinan akan mengalami gangguan pertumbuhan yang dimulai ketika bayi berusia 2–3 bulan, yang merupakan manifestasi gangguan gizi bayi. Gangguan gizi bayi merupakan faktor signifikan terhadap kematian bayi (WHO, 1996). Bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif, mortalitas dan morbiditasnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula. Menurut laporan WHO (2000) pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama terbukti menurunkan angka kematian 1,5 juta bayi pertahun (www. google.com, 2002), sedangkan angka kesakitan untuk bayi yang tidak diberi ASI eksklusif penyakit yang sering timbul adalah diare, berdasarkan penelitian Dewey (1995) bayi 0-6 bulan yang diberi ASI eksklusif rata-rata kemungkinan menderita diare 0,19% dan yang tidak diberi ASI eksklusif menderita diare 0,43%. (Irawan, 1995).
Makanan perdamping ASI yang diberikan mulai usia 6 – 24 bulan merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pemberian makanan pendamping ASI yang cukup dalam kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan otak dan perkembangan kecerdasan bayi, namun pada kenyataanya sering terjadi permasalahan yang sering terjadi diantaranya adalah pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini atau terlambat, makanan pendamping ASI yang diberikan tidak sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata, dan frekuensi pemberian yang kurang (Dep.Kes, 1992).
Cara memasak, menyimpan, dan memberikan makanan tambahan yang tidak menghiraukan kebersihan lebih mudah menyebabkan Gastroenteritis pada bayi yang berakibat terhadap gangguan pertumbuhannya dan pemberian makanan tambahan terlalu dini dengan sendirinya mengurangi waktu untuk menyusui (Pudjiadi, 1997). Kebiasaan di desa Muara Gading Mas untuk memberi makanan tambahan pada bulan pertama setelah bayi dilahirkan berupa nasi yang dikunyah terlebih dahulu oleh ibunya, campuran bubur beras dengan pisang yang diuleg, madu, dan sebagainya.
Berdasarkan profil kesehatan propinsi Lampung pada tahun 2003, jumlah pencapaian target pemberian ASI eksklusif adalah 19,7 % dan pada tahun 2004 sebesar 34,53 % (Dinkes. Prop. Lampung,2004).Target nasional pencapaian pemberian ASI eksklusif sebesar 95 % dan target pencapaian pemberian ASI eksklusif di Lampung Timur sebesar 80 %.
Menurut data Dinas Kesehatan Lampung Timur cakupan ASI eksklusif tahun 2005 sebesar 37,15 % yang masih jauh dibawah target, sedangkan di Puskesmas Labuhan Maringgai terdapat 1370 bayi, dari jumlah tersebut jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif berjumlah 277 bayi (20,22%). Hasil laporan Puskesmas di Desa Muara Gading Mas terdapat 200 bayi, dan dari jumlah tersebut bayi yang berada dibawah umur 6 bulan berjumlah 70 bayi (35%) yang telah diberikan makanan tambahan (Data Laporan Bidan ). Hal ini menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya ASI eksklusif masih rendah yang disebabkan perilaku dan budaya pemberian makanan pendamping ASI secara dini oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk meneliti pengetahuan ibu tentang pemberian makanan tambahan pada bayi dibawah umur 6 bulan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana pengetahuan ibu tentang pemberian makanan tambahan pada bayi dibawah umur 6 bulan di Desa Muara Gading Mas Kecamatan Labuhan Maringgai Lampung Timur ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang pemberian makanan tambahan pada bayi dibawah umur 6 bulan di Desa Muara Gading Mas.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu tentang pengertian makanan tambahan di Desa Muara Gading Mas.
b. Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu tentang tujuan pemberian makanan tambahan di Desa Muara Gading Mas.
c. Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu tentang resiko pemberian makanan tambahan yang terlalu dini di Desa Muara Gading Mas.
d. Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu tentang pemberian makanan tambahan di Desa Muara Gading Mas.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Di dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Deskriptif
2. Subyek Penelitian : Ibu-ibu yang mempunyai bayi dibawah umur 6 bulan.
3. Obyek Penelitan : Pengetahuan ibu tentang pemberian makanan tambahan pada bayi di bawah umur 6 bulan.
4. Tempat Penelitian : Desa Muara Gading Mas Kecamatan Labuhan Maringgai Lampung Timur.
5. Waktu penelitian : 10 Mei –13 Mei 2006

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Program Studi Kebidanan Metro
Sebagai bahan referensi tentang pemberian makanan tambahan pada bayi dan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.
2. Bagi Puskesmas Labuhan Maringgai
Diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi tenaga kesehatan yang ada sebagai masukan dalam program kerja Puskesmas mengenai pemberian makanan tambahan pada bayi.
3. Bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemberian makanan tambahan pada bayi tetapi yang belum diteliti.

Pengetahuan ibu tentang imunisasi hepatitis B di posyandu kampung … wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Penyakit Hepatitis B merupakan penyakit kronis yang menyerang hati dan merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. (Depkes RI, 1992:1).
Resiko penyakit kronis pada penderita Hepatitis B jauh lebih besar bila infeksi terjadi mulai dari awal kehidupan dibandingkan dengan infeksi terjadi pada usia dewasa. Infeksi penyakit Hepatitis B pada masa bayi mempunyai resiko untuk menjadi kronis sekitar 90% dan sebanyak 25%-30% diantaranya akan berkembang menjadi serosis hepatis atau primer carcinoma hepatocelluler.(Depkes RI, 2002:1).
Diperkirakan terdapat 1-2 juta penderita meninggal setiap tahun di dunia sebagai akibat kanker hati primer, sedangkan di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 10 juta pengidap penyakit Hepatitis B. ( Depkes RI, 2001:1).
Pada penyakit infeksi Hepatitis B terutama dalam bentuknya yang kronik, belum ada pengobatan yang memuaskan. Oleh karena itu sebaiknya perhatian difokuskan kepada usaha pencegahan sedini mungkin.
Hal-hal tersebut yang memacu pemerintah untuk segera mengintegrasikan imunisasi Hepatitis B ke dalam program imunisasi rutin secara nasional sesuai dengan acuan WHO. Imunisasi Hepatitis B merupakan 3 dari minimal 8 suntikan yang harus diterima oleh bayi. Efektivitas imunisasi Hepatitis B akan tinggi bila suntikan Hepatitis B diberikan pada usia dini. (Depkes RI, 2002:1).
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Propinsi Lampung tahun 2003, bahwa pencapaian imunisasi Hepatitis B.I tahun 2003 hanya 74% sedangkan target yang diharapkan adalah 80%. (Buletin Epidemiologi, Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, Januari 2004:5).
Di Kabupaten Lampung Tengah pencapaian imunisasi Hepatitis B.I tahun 2003 hanya mencapai 63%, begitu pula di Kampung Terbanggi Subing Lampung Tengah tahun 2003 hanya mencapai.64,6% sedangkan target yang diharapkan adalah 80% (Laporan Tahunan Imunisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Tengah, 2003).
Berdasarkan survei pendahuluan yang penulis lakukan secara wawancara langsung terhadap beberapa ibu yang mempunyai bayi di kampung tersebut menyatakan belum mengerti tentang pentingnya imunisasi Hepatitis B. Selain itu banyak faktor yang berhubungan dengan imunisasi Hepatitis B antara lain tersedianya sarana, tenaga, dana, jangkauan pelayanan, penyuluhan, pengetahuan masyarakat, sosial budaya dan sebagainya. Dari faktor- faktor yang berhubungan dengan pencapaian iumunisasi Hepatitis B tersebut, maka penulis ingin meneliti pengetahuan ibu tentang imunisasi Hepatitis B di Kampung Terbanggi Subing wilayah kerja Puskesmas Terbanggi Subing Kabupaten Lampung Tengah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam peneleitian ini adalah bagaimana pengetahuan ibu tentang imunisasi Hepatitis B di posyandu Kampung Terbanggi Subing Kabupaten Lampung Tengah.

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang imunisasi Hepatitis B yang berkunjung di Posyandu Kampung Terbanggi Subing wilayah kerja Puskesmas Terbanggi Subing.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Subyek penelitian : Ibu yang mempunyai bayi 0 – 11 bulan
2. Obyek penelitian : Pengetahuan tentang imunisasi Hepatitis B
3. Lokasi penelitian : Seluruh Posyandu di Kampung Terbanggi Subing Kabupaten Lampung Tengah.
4. Waktu penelitian : Tanggal 13, 17, 18, 22,23 dan 25 Mei 2004.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Terbanggi Subing yaitu sebagai bahan evaluasi agar mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya meningkatkan cakupan imunisasi Hepatitis B.
2. Bagi Institusi Pendidikan, untuk melengkapi sumber bacaan di perpustakaan terutama mengenai pengetahuan ibu tentang imunisasi Hepatitis B.
3. Bagi penulis, sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah serta mengamalkan secara nyata dalam bentuk karya tulis.
4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan referensi untuk penelitian yang sejenis selanjutnya.

Pengetahuan ibu yang mengalami Abortus Incompletus di Rumah Sakit Umu

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25 – 50% kematian wanita usia subur disebabkan hal yang berkaitan dengan kehamilan. World Health Organisation (WHO) memperkirakan lebih dari 585.000 ibu pertahun meninggal saat hamil atau bersalin (Saifudin, 2001 : 3). Saat ini angka kematian maternal dan neonatal di Indonesia masih tinggi yaitu 334 per 100.000 kelahiran hidup dan 21,8 per 1000 kelahiran hidup (Saifudin, 2002 : xii).
Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia, seperti halnya di negara lain adalah : perdarahan 30 – 35%, infeksi 20 – 25% dan gestosis 15 – 17% (Manuaba, 1998 : 19). Kedalam perdarahan dan infeksi sebagai penyebab kematian, sebenarnya tercakup pula kematian akibat abortus terinfeksi dan partus lama. Hanya sekitar 5% kematian ibu disebabkan oleh penyakit yang memburuk akibat kehamilan, misalnya penyakit jantung dan infeksi yang kronis (Saifudin, 2001 : 6).
Diperkirakan frekuensi abortus spontan berkisar 10 – 15%. Penelitian terhadap kematian ibu memperlihatkan bahwa penderita abortus meninggal dunia akibat komplikasi yang ditimbulkannya yaitu : perdarahan, perforasi, infeksi dan syok. Perdarahan pada Abortus Incompletus dapat banyak sekali, sehingga menyebabkan syok dan perdarahan tidak akan terhenti sebelum sisa hasil konsepsi dikeluarkan (Wiknjosastro, 1999 : 307). Faktor penyebab terjadinya Abortus Incompletus adalah : kelainan pertumbuahan hasil konsepsi, kelainan pada placenta, penyakit ibu, dan kelainan traktus genitalis (Wiknjosastro, 1999 : 303).
Berdasarkan hasil prasurvey di Ruang Kebidanan Rumah Sakit Umum Jendral Ahmad Yani Metro, Abortus Incompletus merupakan 10 besar dari kasus kebidanan. Pada bulan Maret, jumlah kasus antepartum hemoragik sebanyak 25 kasus dan Abortus Incompletus menduduki peringkat pertama, dari 14 ibu yang mengalami abortus 11 orang yang mengalami Abortus Incompletus.
Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti pengetahuan ibu tentang Abortus Incompletus di Ruang Kebidanan Rumah Sakit Umum Jendral Ahmad Yani Metro.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dibuat rumusan masalah yaitu : Bagaimanakah pengetahuan ibu yang mengalami Abortus Incompletus di Rumah Sakit Umum Jendral Ahmad Yani Metro ?

C. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun yang menjadi ruang lingkup dari penelitian tentang Abortus Incompletus di Ruang Kebidanan Rumah Sakit Umum Jendral Ahmad Yani Metro adalah :
1. Jenis penelitian : Deskriptif
2. Objek Penelitian : Pengetahuan ibu tentang Abortus Incompletus
3. Subjek Penelitian : Ibu – ibu yang mengalami Abortus Incompletus
4. Waktu Penelitian : 10 Mei – 6 Juni 2004
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang Abortus Incompletus di Ruang Kebidanan Rumah Sakit Umum Jenderal Ahmad Yani Metro.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu pada tingkat tahu di Ruang Kebidanan Rumah Sakit Umum Jendral Ahmad Yani Metro.
b. Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu pada tingkat memahami di Ruang Kebidanan Rumah Sakit Umum Jendral Ahmad Yani Metro.
c. Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu pada tingkat aplikasi di Ruang Kebidanan Rumah Sakit Umum Jendral Ahmad Yani Metro.

E. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada :
1. Bagi Penulis
Dapat menerapkan mata kuliah yang telah diajarkan, terutama metodologi penelitian, menambah pengalaman dan wawasan mengenai pengetahuan ibu tentang Abortus Incompletus.

2. Bagi Subjek Penelitian
Untuk menambah pengetahuan ibu tentang Abortus Incompletus.
3. Bagi Institusi Pendidikan Program Studi Kebidanan Metro
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk memperluas wawasan mahasiswanya tentang Abortus Incompletus.
4. Bagi Rumah Sakit Umum Jendral Ahmad Yani Metro
Untuk menambah wawasan bagi tenaga kesehatan khususnya bidan mengenai pengetahuan ibu tentang Abortus Incompletus.

Pengetahuan ibu primipara tentang masa nifas di rumah bersalin

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil, bersalin dan nifas adalah masalah besar di negara berkembang. Di negara miskin sekitar 25-30% kematian wanita usai subur disebabkan oleh kehamilan persalinan dan nifas. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak produktivitasnya. Tahun 1996 WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil, bersalin dan nifas. Di Asia Selatan wanita kemungkinan 1 : 18 meningkat akibat kehamilan, persalinan dan nifas. Di negara Afrika 1 : 14, sedangkan di Amerika Utara hanya 1 : 3.666. Lebih dari 50% kematian di negara berkembang sebenarnya dapat dicegah dengan teknologi yang ada serta biaya relatif rendah (Saifuddin : 2001).
Saat ini angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi yaitu 334/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB), 21,8/1000 kelahiran hidup salah sasaran yang ditetapkan untuk tahun 2010 adalah menurunkan angka kematian maternal menjadi 125/100.000,- kelahiran hidup dan angka kematian neonatal menjadi 16/1000 kelahiran hidup (Saifuddin, 2002).
Penyebab kematian ibu di Indonesia, seperti halnya di negara lain adalah perdarahan 30 – 35%, infeksi 20 –25%, gestosis, 15 – 17%, penyebab utama kematian bayi baru lahir yaitu berat bayi lahir rendah (BBLR), prematur/bayi kurang bulan, asfiksia 50 – 60%, infeksi : tetanus, sepsis, trauma lahir. Selain faktor-faktor tersebut di atas faktor dominan yang mempengaruhi adalah kurang terdeteksinya faktor-faktor komplikasi secara dini (Manuaba, 1998).
Untuk mencapai sasaran tersebut ditetapkanlah empat strategi utama dan asas-asas pedoman operasionalisasi strategi antara lain bahwa making pregnancy safer (MPS) memusatkan perhatiannya pada pelayanan kesehatan maternal neonatal yang baku, cost effective dan berdasarkan bukti pada setiap pelayanan dan rujukan kesehatan (Saifuddin, 2002).
Memperhatikan angka kematian ibu dan perinatal dapat diperkirakan bahwa sekitar 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama (Saifuddin, 2001).
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus ikut mendukung upaya penurunan AKI peranan bidan di Masyarakat sebagai tenaga terlatih dalam sistem kesehatan nasional salah satunya adalah meningkatkan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) dan menetapkan keikutsertaan masyarakat dalam berbagai kegiatan untuk mempercepat penurunan AKI (Saifuddin, 2001).
Selain faktor-faktor tersebut di atas faktor dominan yang mempengaruhi adalah kurang terdeteksinya faktor-faktor komplikasi secara dini. Untuk itu diperlukannya peran serta masyarakat terutama ibu nifas untuk memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda bahaya pada masa nifas sehingga ibu dapat mengetahui dan mengenal secara dini tanda-tanda bahaya masa nifas sehingga bila ada kelainan dan komplikasi dapat segera terdeteksi.
Asuhan pada masa nifas sangat diperlukan dalam periode ini karena masa nifas merupakan masa kritis untuk ibu dan bayinya. Paling sedikit 4 kali kunjungan pada masa nifas sehingga dapat menilai status ibu dan bayinya, untuk melaksanakan skreening yang komprehensif mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu dan bayi, memberikan pendidikan tentang kesehatan, perawatan kesehatan diri, nutrisi, dan keluarga berencana, sehingga ibu-ibu nifas dapat mencegah komplikasi yang terjadi pada masa nifas (Saifuddin, 2000).
Berdasarkan hasil prasurvey bulan April 2004 di rumah bersalin Puti Bungsu Bandar Jaya bahwa jumlah persalinan spontan normal pada primipara 52 orang. Jumlah ibu primipara tersebut yang melakukan kontrol pemeriksaan ulang ibu nifas ke rumah bersalin Puti Bungsu Bandar Jaya hanya 23 ibu dan yang tidak melakukan kontrol pemeriksaan ulang 29 ibu nifas. Data yang didapat dari ke 23 ibu bahwa yang mengalami luka jahitan pada perineum ada 11 ibu. Hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap ke 23 ibu (44,23%) yang melakukan kunjungan kembali kerumah bersalin Puti Bungsu belum mengetahui perawatan dan perubahan masa nifas.
Mengantisipasi hal tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana pengetahuan ibu primipara tentang masa nifas di rumah bersalin Puti Bungsu Bandar Jaya

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : Bagaimana pengetahuan ibu primipara tentang masa nifas?

C. Ruang Lingkup Penelitian
Mengingat luasnya masalah dilihat dari berbagai aspek, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Deskriptif
2. Objek penelitian
a. Variabel terikat : Masa nifas
b. Variabel bebas : Tingkat pengetahuan ibu primipara
3. Subyek penelitian : Ibu primipara di Rumah Bersalin Puti Bungsu Bandar Jaya.
4. Lokasi Penelitian : Rumah Bersalin Puti Bungsu Bandar Jaya
5. Waktu Penelitian : Tanggal 19 Mei 2004 s/d 19 Juni 2004.

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Memperoleh gambaran pengetahuan ibu primipara tentang masa nifas
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengetahuan ibu primipara tentang perubahan fisik dan psikis atau emosional pada masa nifas.
b. Untuk mengetahui ibu primipara tentang involusi uterus dan pengeluaran lochea.
c. Untuk mengetahui pengetahuan ibu primipara tentang laktasi atau pengeluaran air susu ibu dan nutrisi pada masa nifas.
d. Untuk mengetahui pengetahuan ibu primipara tentang perawatan perineum atau luka perineum.
e. Untuk mengetahui pengetahuan ibu primipara tentang perawatan tali pusat

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Bersalin Puti Bungsu
Diharapkan akan memberi manfaat sebagai bahan masukan atau tambahan dalam memberikan perawatan pada ibu primipara pada nifas.
2. Bagi Penulis
Dapat menambah wawasan keilmuan dan pengalaman dalam memberikan asuhan kebidanan kepada ibu primipara nifas.
3. Bagi ibu
Khususnya ibu primipara nifas diharapkan dapat menambah dan meningkatkan pengetahuan ibu tentang masa nifas atau perawatan masa nifas masa nifas.
4. Bagi Institusi Poltekes Kebidanan
Sebagai salah satu bahan pustaka bagi peneliti selanjutnya.

Pengetahuan ibu post partum tentang pemberian kolostrum pada bayi baru lahir di BPS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tingginya Angka Kematian Bayi dan rendahnya status gizi sebagai dampak krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, menunjukkan bahwa peran Air Susu Ibu (ASI) sangat strategi, namun keadaan sosial budaya yang beranekaragaman menjadi tantangan peningkatan penggunaan ASI yang perlu diantisipasi (Depkes, 1994). di negara Asean, Indonesia merupakan negara dengan kematian bayi tertinggi yaitu sekitar 56/10.000 persalinan hidup atau sejumlah 280.000 orang terjadi setiap 18-20 menit sekali (Manuaba, 1998).
Pada umumnya lebih dari separuh yaitu 31,9% - 54,3% dari bayi baru lahir masih dipuasakan (belum mulai diberi ASI) sampai bayi berumur 12 jam, bahkan pada 50,9% golongan ibu-ibu berpenghasilan tinggi, masih memuasakan bayinya sampai 24 jam/lebih (Suradi, 1999) dan hasil survey demografi kesehatan Indonesia (SDKI, 1997) menunjukkan bahwa hampir semua bayi (96,5%) di Indonesia pernah mendapatkan ASI dan sebanyak 8% bayi baru lahir mendapat kolostrum dalam 1 jam setelah lahir dan 53% bayi mendapat kolostrum pada hari pertama (Setyawati dan Budiarso, 1999).
Komposisi ASI ini sedemikian rupa, sehingga memenuhi kebutuhan bayi (protein, karbohidrat, lemak, vitamin / mineral dan air) untuk masa 4-6 bulan. Sesudah masa tersebut diperlukan tambahan, oleh karena kebutuhan yang meningkat dan tidak dapat lagi dipenuhi seluruhnya oleh ASI. Hanya sebagian kecil dari ibu-ibu yang tidak dapat menghasilkan ASI dan ini hanya meliputi 5% jumlahnya. Jadi sebagian besar ibu-ibu dapat menghasilkan ASI yang cukup, hanya sayang sekali banyak ibu-ibu yang kurang memanfaatkan dan bahkan menggantikannya dengan formula buatan. Ini merupakan kesalahan besar yang telah dilakukan oleh ibu-ibu, petugas kesehatan maupun oleh penghasil formula buatan dan merupakan tugas kita semua untuk membetulkannya ( Soedibyo, 1992).
Pemberian ASI mempunyai pengaruh emosional yang luar biasa terhadap hubungan batin ibu dan anak, juga perkembangan jiwa si anak. Yang tidak kalah menarik, pemberian ASI dinyatakan lebih menguntungkan secara ekonomis dibanding pemberian susu formula tidak heran bila pemerintah Indonesia kerap mencanangkan program-program yang bertujuan untuk mendukung keberhasilan pemberian ASI (Wahab 2002).
Penggunaan ASI belum seperti yang kita harapkan pada pertemuan di Innocenti, Italia tahun 1990, telah disepakati agar pada tahun 2000, sudah 80% para ibu yang memberi ASI eklusif selama 4 – 6 bulan. Namun kenyataannya berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997, baru 52% para ibu yang memberi ASI ekslusif pada bayinya dan 30% sudah mendapat kolostrum dalam 1 jam setelah lahir (Wahab, 2002).
Dari hasil pra survei di BPS Junairah Kalianda Lampung Selatan terdapat 20 ibu post partum pada semua jenis persalinan dengan bayi lahir hidup, 8 orang post partum memberikan kolostrumnya pada hari pertama setelah melahirkan. 12 orang ibu post partum membuang kolostrumnya setelah melahirkan, kemudian memberikan ASI pada bayinya setelah hari ketiga melahirkan.
Berdasarkan data di atas, masih banyak ibu post partum yang belum mengetahui tentang manfaat kolostrum dan tidak memberikan pada bayinya. Dengan dasar inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengetahuan Ibu Post Partum tentang Pemberian Kolostrum pada Bayi Baru Lahir di BPS Junairah Kalianda Lampung Selatan. Mengingat manfaat kolostrum lebih baik dibandingkan dengan ASI matur, tetapi masih diabaikan keberadaannya..

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang ingin dicari jawabannya dapat juga dikatakan bahwa perumusan merupakan pernyataan lengkap dengan terinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah(Arikunto,1998)
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu : Bagaimana Pengetahuan Ibu Post Partum tentang Pemberian Kolostrum pada Bayi Baru Lahir di BPS Junairah Kalianda Lampung Selatan?

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Deskriptif.
2. Subyek Penelitian : Ibu post partum
3. Obyek Penelitian : Pengetahuan ibu post partum tentang pemberian kolostrum pada bayi baru lahir di BPS Junairah Kalianda Lampung Selatan.
4. Lokasi Penelitian : Di BPS Junairah Kalianda Lampung Selatan
5. Waktu Penelitian : Tanggal 8 – 13 Mei 2006.

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengetahuan ibu postpartum tentang pemberian kolostrum pada bayi baru lahir di BPS Junairah Kalianda Lampung Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya pengetahuan ibu post partum tentang pengertian kolostrum
b. Diketahuinya pengetahuan ibu postpartum tentang zat-zat apa saja yang terkandung dalam kolostrum.
c. Diketahuinya pengetahuan ibu postpartum tentang manfaat kolostrum.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Bidan
Sebagai bahan masukan khususnya program KIA dalam upaya peningkatan Gizi pada bayi baru lahir tentang manfaat kolostrum.
2. Bagi Institusi Program Studi Kebidanan Metro
Sebagai referensi institusi untuk penelitian selanjutnya.

Pengetahuan ibu primigravida tentang tehnik mengejan yang benar saat persalinan di BPS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah jumlah kematian ibu karena kehamilan, persalinan, dan nifas pada tiap 1000 kelahiran hidup dalam wilayah dan waktu tertentu. Saat ini Angka Kematian Ibu diseluruh dunia masih cukup tinggi estimasi WHO tahun 2000 tentang AKI (Maternal Mortality Ratio / MMR per 100.000 kelahiran hidup) adalah sebagai berikut, diseluruh dunia sebesar 400, di negara industri Angka Kematian Ibu (AKI) cukup rendah yaitu sebesar 20, di Eropa sebesar 24. Untuk negara berkembang Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi yaitu sebesar 440 per 100.000, di Afrika sebesar 830 per 100.000, di Asia sebesar 330 per 100.000 dan Asia Tenggara sebesar 210 per 100.000 (WHO, 2004). Untuk negara – negara ASEAN, AKI (per 100.000 kelahiran hidup) sangat bervariasi seperti Malaysia, Brunei Darusalam, Singapura, Kamboja, Laos, Philipina dan lain-lain (Depkes RI, 2004).
Di Indonesia angka kematian masih cukup tinggi walaupun terjadi penurunan dari 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1994 dan terjadi penurunan sekitar 25 persen dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1996 menjadi 334 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 (Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia, 1997). Namun angka tersebut masih tinggi atau 3-6 kali lebih besar dibandingkan negara-negara ASEAN, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup pada SDKI 2002-2003 atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab dan target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2010 adalah angka kematian ibu menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup (www.google.com, 2006).
500
400
300
200
100
0
1990 1995 2000 2005 2010
Sumber : SDKI 1994, SDKI 1997, SDKI 2002-2003
Gambar 1. Grafik Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
Pada gambar 1 diatas, menunjukan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mulai dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1994, menjadi 334 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 dan menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan upaya yang ingin di capai pada tahun 2010 adalah 125 per 100.000 kelahiran hidup.

Di Provinsi Lampung, cenderung terjadi peningkatan AKI sebesar 143 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 153 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002 (Dinkes Provinsi Lampung, 2003) dan pada tahun 2003 angka kematian ibu sebesar 98 orang dari 186.248 (Dinkes Provinsi Lampung, 2004). Menurut data terakhir di Kabupaten Lampung Timur angka kematian ibu pada tahun 2004 sebesar 19 orang per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Kota Metro, 2004).
Penyebab kematian ibu di Indonesia yang utama adalah perdarahan, eklampsia, partus lama, kompikasi aborsi dan sepsis. Kontribusi dari penyebab kematian ibu tersebut masing – masing adalah perdarahan yang biasanya tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara mendadak yaitu 28 persen, eklamsi 13 persen, aborsi yang tidak aman 11 persen, partus lama sebanyak 9 persen dan sepsis 10 persen (www.google.com, 2006).
Agar persalinan sehat dapat berjalan lancar, diperlukan berbagai persiapan baik sebelum hamil maupun selama kehamilan sehingga ibu dan janin selalu dalam keadaan sehat. Upaya Safe Motherhood merupakan upaya untuk menyelamatkan wanita agar kehamilan dan persalinannya dapat dilalui dengan sehat dan aman serta menghasilkan bayi yang sehat (Saifuddin, 2002).
Setelah program Safe Motherhood, Pemerintah RI pada Oktober 2000 mencanangkan Gerakan Nasional Kehamilan yang Aman atau Making Pregnancy Safer (MPS) sebagai bagian dari Strategi Pembangunan Kesehatan Masyarakat menuju Indonesia sehat 2010. Salah satu tujuan global dari MPS adalah Menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar 75 persen pada tahun 2015 dari AKI tahun 1990 dan target dampak dari MPS adalah menurunkan AKI menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk dapat mencapai tujuan dan target tersebut diatas telah diidentifikasikan empat strategi utama yang konsisten dengan “Rencana Indonesia Sehat 2010” antaranya adalah mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin prilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Depkes RI, 2001)
Meningkatkan pengetahuan kesehatan masyarakat terutama pada ibu hamil, dimana pendidikan kesehatan ibu-ibu hamil dapat dilakukan pada waktu pengawasan hamil di Puskesmas atau Pondok Bersalin Desa dan Bidan Praktek Swasta, saat penyelenggaraan Posyandu, dan saat diadakannya pertemuan atau kegiatan-kegiatan di lingkungannya dan saat melakukan kunjungan rumah (Manuaba, 1998).
Selain itu ibu-ibu hamil harus mengetahui beberapa tanda bahwa persalinan sudah dimulai seperti kontraksi menjadi lebih kuat dan lebih sering, adanya nyeri pada pinggang menuju perut, timbulnya tenaga mengejan karena kontraksi yang semakin kuat, serta keluarnya lendir bercampur darah yang bertambah banyak dari vagina. Khususnya ibu hamil primigravida terkadang mereka tidak mengetahui tanda tersebut merupakan tanda-tanda persalinan karena bagi mereka semua merupakan pengalaman yang baru. Dengan diketahuinya tanda-tanda di atas diharapkan ibu-ibu hamil terutama ibu hamil primigravida dapat mengetahui waktu dan cara yang tepat untuk mengejan sehingga diharapkan dapat mencegah kemungkinan terjadinya robekan perineum, perdarahan, oedema pada vagina dan kehabisan tenaga sebelum waktu persalinan tiba.
Berdasarkan dari study pendahuluan pada bulan Maret 2006 di BPS Sukatmi Pekalongan Lampung Timur bahwa jumlah ibu hamil primigravida yang usia kehamilannya di atas 28 minggu ada 25 orang. Jumlah ibu hamil primigravida tersebut yang tidak mengetahui bagaimana cara mengejan yang benar saat persalinan serta waktu yang tepat untuk mengejan. Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti pengetahuan ibu primigravida tentang tehnik mengejan yang benar saat persalinan di BPS Sukatmi Pekalongan Lampung Timur. Dimana diharapkan dengan adanya ibu hamil primigravida yang mengetahui bagaimana cara dan waktu yang tepat untuk mengejan pada saat persalinan dapat memperkecil terjadinya kasus – kasus obstetri seperti robekan jalan lahir, oedema pada vulva, perdarahan bahkan kehabisan tenaga sebelum waktunya.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana pengetahuan ibu primigravida tentang tehnik mengejan yang benar saat persalinan di BPS Sukatmi Pekalongan Lampung Timur Tahun 2006 ?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Ingin mengetahui gambaran pengetahuan ibu primigravida tentang tehnik mengejan yang benar saat persalinan di BPS Sukatmi Pekalongan Lampung Timur.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu primigravida tentang waktu yang tepat untuk mengejan.
b. Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu primigravida tentang cara mengejan yang benar saat persalinan.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian : Studi Deskriptif.
2. Subyek Penelitian : Ibu primigravida yang ANC di BPS Sukatmi dengan usia kehamilan mulai dari 28 minggu ke atas.
3. Objek Penelitian : Pengetahuan tentang tehnik mengejan yang benar saat persalinan.
4. Lokasi Penelitian : Bidan praktek swasta Sukatmi Pekalongan Lampung Timur.
5. Waktu Penelitian : Penelitian dilakukan mulai tanggal 6 Mei – 13 Mei 2006.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Ibu Hamil
Sebagai masukan bagi ibu hamil khususnya ibu primigravida agar lebih meningkatkan kesadaran terhadap perlunya pengetahuan tentang cara mengejan yang benar dan waktu yang tepat untuk mengejan saat persalinan. Dengan demikian diharapkan kasus-kasus obstetri seperti perdarahan, robekan jalan lahir, oedema pada vagina dan kehabisan tenaga sebelum waktunya tidak terjadi lagi.

2. Bagi BPS
Sebagai salah satu bahan masukan bagi bidan khususnya sebagai tenaga kesehatan yang berada di masyarakat, untuk melakukan tindakan promotif seperti penyuluhan dan memberikan pendidikan kesehatan atau KIE (Komunikasi Informasi Edukasi). Dengan demikian diharapkan dapat mempermudah pendeteksian kasus obstetri secara benar dan persalinan dapat berjalan dengan lancar.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai dokumen dan bahan tambahan sumber bacaan bagi mahasiswi Prodi Kebidanan Metro.
4. Bagi Peneliti Lain
Sebagai bahan perbandingan dan masukan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pengetahuan ibu hamil tentang teknik mengejan yang benar pada saat persalinan

Pengetahuan ibu nifas tentang tanda-tanda bahaya masa nifas di ruang kebidanan rumah sakit umum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil, bersalin dan nifas adalah masalah besar di negara berkembang. Di negara miskin sekitar 25 – 30% kematian wanita usia subur disebabkan oleh kehamilan persalinan dan nifas. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak produktivitasnya. Tahun 1996 WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil bersalin dan nifas. Di Asia Selatan wanita kemungkinan 1 : 18 meninggal akibat kehamilan, persalinan dan nifas. Di negara Afrika 1 : 14, sedangkan di Amerika Utara hanya 1 : 6.366. Lebih dari 50% kematian di negara berkembang sebenarnya dapat dicegah dengan teknologi yang ada serta biaya relatif rendah (Saifuddin : 2001).
Saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi yaitu 334/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB, 21,8/1000 kelahiran hidup salah satu sasaran yang ditetapkan untuk tahun 2010 adalah menurunkan angka kematian maternal menjadi 125/100.000, kelahiran hidup dan angka kematian neonatal menjadi 16/1000 kelahiran hidup (Saifuddin, 2002).
Untuk mencapai sasaran tersebut ditetapkanlah empat strategi utama dan asas-asas pedoman operasionalisasi strategi antara lain bahwa MPS (making Pregnency Sefer) memusatkan perhatiannya pada pelayanan kesehatan maternal neonatal yang baku, cost effective dan berdasarkan bukti pada setiap pelayanan dan rujukan kesehatan (Saifuddin, 2002).
Memperhatikan angka kematian ibu dan perinatal dapat diperkirakan bahwa sekitar 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama (Saifuddin, 2001).
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus ikut mendukung upaya penurunan AKI peranan bidan di Masyarakat sebagai tenaga terlatih dalam sistem kesehatan nasional salah satunya adalah meningkatkan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dan menetapkan keikutsertaan masyarakat dalam berbagai kegiatan untuk mempercepat penurunan AKI. (Saifuddin, 2001)
Keberhasilan dalam mempercepat penurunan AKI dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya yaitu cepat atau lambatnya pengambilan keputusan oleh ibu atau keluarga untuk mencari pertolongan, terlambatnya untuk mencapai fasilitas kesehatan. Tindakan ini sangat banyak dipengaruhi oleh keluarga dan masyarakat, keadaan perekonomian keluarga, masih kurangnya pengetahuan dan penghargaan terhadap kesehatan reproduksi perempuan. (Redjeki, S., 2004)
Selain faktor-faktor tersebut di atas faktor dominan yang mempengaruhi adalah kurang terdeteksinya faktor-faktor komplikasi secara dini. Untuk itu diperlukannya peran serta masyarakat terutama ibu-ibu nifas untuk memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda bahaya pada masa nifas sehingga ibu dapat mengetahui dan mengenal secara dini tanda-tanda bahaya masa nifas sehingga bila ada kelainan dan komplikasi dapat segera terdeteksi.
Asuhan pada masa nifas sangat diperlukan dalam periode ini karena masa nifas merupakan masa kritis untuk ibu dan bayinya. Paling sedikit 4 kali kunjungan pada masa nifas sehingga dapat menilai status ibu dan bayinya, untuk melaksanakan skreening yang komprehensif mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu dan bayi, memberikan pendidikan tentang kesehatan, perawatan kesehatan diri, nutrisi, dan keluarga berencana, sehingga ibu-ibu nifas dapat mencegah komplikasi yang terjadi pada masa nifas (Saifuddin, 2000).
Study pendahuluan yang didapatkan bahwa dalam laporan bulanan ruang kebidanan RSU Ahmad Yani ditentukan data kematian akibat nifas tahun 2003 yaitu eklampsi post partum 3 orang, nifas post secsio cesaria sejumlah 2 orang, ruptur uteri 1 orang dan post partum haemoragi 1 orang. (Data dari ruang kebidanan RSU A. Yani). Berdasarkan data yang diperoleh dari study pendahuluan tersebut dapat diketahui bahwa selama tahun 2003 di ruang kebidanan RSU A. Yani Metro terdapat kematian ibu nifas sejumlah 5 orang. Dengan adanya fakta yang diperoleh maka peneliti menarik kesimpulan bahwa pengetahuan ibu tentang tanda-tanda bahaya pada masa nifas sangat diperlukan agar ibu dapat mengetahui secara cepat tanda-tanda bahaya yang dialaminya dan dapat membawa kefasilitas pelayanan kesehatan dengan cepat.
Hasil prasurvey tanggal 15 April 2004 diketahui jumlah ibu nifas dari bulan Maret sampai awal April tahun 2004 sejumlah 38 orang.
Tabel 1. Distribusi Ibu Nifas Yang Dirawat di Ruang Kebidanan RSU. A. Yani Metro
No Jenis Jumlah Persen
1
2
3
4
5
6 Nifas normal
Nifas post letak lintang
Nifas dengan retensio placenta
Nifas post seksio sesaria
Nifas post partum haemorhagi
Nifas post ektraksi vakum 18 orang
8 orang
7 orang
2 orang
1 orang
2 orang 47,3
21,1
18,4
5,3
2,6
5,3
Jumlah 38 orang 100%
Sumber : Register bulanan Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro, Maret sampai awal April 2004

B. Rumusan Masalah
Masalah adalah adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan antara apa yang diinginkan atau yang dituju dengan apa yang terjadi atau faktanya (Notoatmodjo, 2002). Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana pengetahuan ibu nifas tentang tanda-tanda bahaya masa nifas di ruang kebidanan Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro?”

C. Ruang Lingkup
1. Sifat penelitian : Penelitian Deskriptif
2. Subyek penelitian : Ibu nifas yang dirawat di ruang kebidanan RSU. A. Yani Metro pada tanggal 6 – 31 Mei 2004 .
3. Objek penelitian : Pengetahuan ibu nifas tentang tanda-tanda bahaya masa nifas
4. Lokasi penelitian : Ruang Kebidanan RSU. A. Yani Metro
5. Waktu Penelitian : Setelah proposal disetujui

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengetahuan ibu nifas tentang tanda-tanda bahaya pada masa nifas.
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya pengetahuan ibu tentang perdarahan yang merupakan tanda bahaya pada masa nifas.
b. Diketahuinya pengetahuan ibu tentang lochea yang berbau busuk yang merupakan tanda bahaya masa nifas.
c. Diketahuinya pengetahuan ibu tentang nyeri pada perut dan pelvis yang merupakan tanda bahaya masa nifas.
d. Diketahuinya pengetahuan ibu tentang pusing dan lemas yang merupakan tanda bahaya masa nifas
e. Diketahuinya pengetahuan ibu tentang suhu tubuh > 380C yang merupakan tanda bahaya masa nifas.
f. Diketahuinya pengetahuan ibu tentang penyulit dalam menyusui yang merupakan tanda bahaya masa nifas

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis
Merupakan sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan mendapatkan pengalaman nyata dalam bidang penelitian.
2. Bagi bidan
Sebagai salah satu bahan masukan bagi bidan sebagai tenaga kesehatan yang berada di masyarakat untuk melakukan tindakan promotif seperti penyuluhan dan memberikan pendidikan kesehatan atau KIE (Komunikasi Informasi Edukasi).
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi proses penelitian selanjutnya terutama yang berubungan dengan masalah nifas.
4. Bagi Ibu Nifas
Sebagai masukan bagi ibu nifas agar lebih meningkatkan kesadaran terhadap perlunya pengetahuan tentang tanda-tanda bahaya masa nifas sehingga mereka dapat mengetahui dan mengenali apa yang termasuk dalam tanda-tanda bahaya nifas dengan demikian diharapkan gangguan/komplikasi dalam masa nifas dapat dideteksi secara dini.

Pengetahuan ibu menyusi tentang alat kontrasepsi selama laktasi di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah kependudukan dewasa ini merupakan masalah penting yang mendapatkan perhatian dan perubahan yang serius dari peminat dan ahli kependudukan baik diseluruh dunia maupun Indonesia. Statistik baru memperkirakan jumlah penduduk dunia dewasa ini adalah 4,8 milyar dengan tingkat kelahiran dunia secara keseluruhan adalah 27 per 100 penduduk yang mengakibatkan bertambahnya penduduk dunia sebesar 1,7 % pertahun (Mochtar, 1998).
Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan nomor 5 di dunia dalam hal jumlah penduduk (Mochtar, 1998). Pada tahun 2003 jumlah penduduk Indonesia di perkirakan sebesar 214.374.096 jiwa dengan tingkat kepadatan 113 jiwa per km2 dan angka pertumbuhan penduduk sebesar 1,59 % (jumlah penduduk tahun 2002 dilaporkan sebesar 211.000.598 jiwa) (DepKes RI, 2003).
Salah satu usaha dan kebijakan dalam menanggulangi masalah kependudukan di Indonesia yaitu dengan memberikan pengertian dan pengetahuan tentang kependudukan dan Keluarga Berencana (KB) secara bertahap agar sikap penerimaan keluarga besar akan dapat dirubah lalu dihayati menjadi sikap keluarga kecil menuju Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) (Mochtar, 1998).
Usaha KB tidak hanya bermanfaat dalam menjarangkan/membatasi jumlah anak, tetapi juga bagi kesehatan. Manfaat usaha KB bagi kesehatan keluarga yaitu dengan mengatur jumlah dan jarak kelahiran, ibu dapat meningkatkan kesehatannya dengan demikian ibu mempunyai waktu yang cukup untuk mengasuh anak-anaknya, beristirahat dan menikmati waktu luang untuk pemeliharaan, kecukupan makanan dan memperoleh perkembangan mental dan sosial yang lebih sempurna (Huliana, 2003).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa manfaat KB bagi keluarga sangat besar terutama bagi ibu. Selain itu, KB dan kontrasepsi juga menjamin bahwa bayi akan mendapat nutrisi/Air Susu Ibu (ASI) yang cukup untuk waktu tertentu dengan cara mencegah kehamilan lain yang terlampau dini setelah melahirkan. Hal ini sangat penting karena ASI merupakan sumber nutrisi dan imunitas yang paling baik untuk bayi yang sedang tumbuh kembang dan laktasi dapat menunda fertilitas post-partum (Hartanto, 2003). Menyusui dapat menunda kehamilan jika menyusui dilakukan secara ketat. Namun tetap saja antara 3-12 % wanita akan menjadi hamil lagi sebelum kembalinya haid pertama setelah melahirkan. Itu membuktikan bahwa menyusui memang bisa berfungsi sebagai KB alami akan tetapi belum efektif 100 %. Oleh karena itu, perlu tambahan pemakaian kontrasepsi lain sebagai pelengkap penyempurna (Soetjiningsih, 1997). Namun sebelum memilih kontrasepsi penting bagi ibu menyusui untuk mengetahui dampak dari kontrasepsi terhadap laktasi. Untuk menghindari hal tersebut maka ibu menyusui harus dapat memilih alat kontrasepsi yang dapat mencegah terjadinya kehamilan dan tidak menekan produksi ASI sehingga bayi akan tetap mendapat ASI sampai sistem pencernaan matur dan ASI eksklusif dapat diterapkan sampai bayi berusia 2 tahun (Sri Purwanti, 2004).
Berdasarkan data Puskesmas, jumlah ibu yang menyusui bayi usia 0-6 bulan di Kelurahan Yosomulyo sebanyak 34 orang. Dari hasil prasurvey di Posyandu Dahlia VI dengan 9 orang ibu di ketahui 7 orang akseptor KB suntik depoprovera, 1 orang akseptor KB mini pil dan 1 orang akseptor KB IUD, sebanyak 8 orang mengatakan tidak tahu alasan mengapa menggunakan alat kontrasepsi tersebut selama laktasi dan tidak tahu pengaruh alat kontrasepsi yang digunakan terhadap ASI.
Keterbatasan pengetahuan ibu tersebut merupakan suatu problem dalam memilih alat kontrasepsi selama laktasi, sehingga penulis ingin mengetahui “Bagaimana Pengetahuan Ibu Menyusui tentang Alat Kontrasepsi Selama Laktasi di Kelurahan Yosomulyo ?”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana Pengetahuan Ibu Menyusui tentang Alat Kontrasepsi Selama Laktasi di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat ?”.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menetapkan ruang lingkup penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Deskriptif
2. Objek Penelitian : Pengetahuan ibu menyusui tentang alat kontrasepsi selama laktasi.
3. Subjek Penelitian : Ibu menyusui bayi usia 0-6 bulan.
4. Lokasi Penelitian : Di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat.
5. Waktu Penelitian : Tanggal 4 – 18 Juni 2007

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengetahuan ibu menyusui tentang alat kontrasepsi selama laktasi di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya pengetahuan ibu menyusui tentang pengertian kontrasepsi selama laktasi.
b. Diketahuinya pengetahuan ibu menyusui tentang jenis kontrasepsi selama laktasi.
c. Diketahuinya pengetahuan ibu menyusui tentang efek samping kontrasepsi selama laktasi.
d. Diketahuinya pengetahuan ibu menyusui tentang waktu menggunakan kontrasepsi selama laktasi.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Untuk mendapat informasi yang jelas mengenai pengetahuan ibu menyusui tentang alat kontrasepsi selama laktasi di Kelurahan Yosomulyo Metro Pusat, sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan ilmu kebidanan serta sebagai penerapan ilmu yang telah didapat.
2. Bagi Ibu Menyusui
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan ibu menyusui tentang alat kontrasepsi selama laktasi sehingga ibu dapat mengetahui alat kontrasepsi selama laktasi.
3. Bagi Puskesmas Yosomulyo
Sebagai masukan dalam rangka meningkatkan pengetahuan tentang alat kontrasepsi selama laktasi.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi, berkaitan dengan pengetahuan tentang alat kontrasepsi selama laktasi.

Pengetahuan ibu menyusui tentang usia kurang dari 6 bulan di Desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sejak seorang wanita memasuki kehidupan berkeluarga, harus sudah tertanam suatu keyakinan bahwa menyusui adalah realisasi dan tugas yang dimulai dari seorang ibu. Air Susu Ibu merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang paling tinggi. Pemberian ASI secara penuh sangat dianjurkan oleh para ahli gizi di seluruh dunia. Tidak satupun makanan pendamping ASI yang dapat mengganti perlindungan kekebalan tubuh seorang bayi, seperti yang diperoleh dari kolostrum, yaitu ASI yang dihasilkan selama beberapa hari pertama setelah kelahiran, kolostrum sangat besar manfaatnya sehingga pemberian ASI pada minggu-minggu pertama mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan bayi (Krisnatuti, 2000).
Bayi seharusnya diberikan ASI eksklusif sejak bayi lahir sampai bayi berumur 6 bulan, karena ASI mengandung zat kekebalan. Oleh karena itu pengetahuan ibu menyusui tentang ASI eksklusif sangat penting agar ibu tidak memberikan makanan pendamping ASI (Gizi.Oline, 2006).
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) diberikan kepada bayi setelah berusia 4-6 bulan sampai bayi berusia 24 bulan. Jadi, selain MP-ASI, ASI pun harus tetap diberikan kepada bayi, paling tidak sampai usia 24 bulan. Adapun hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemberian makanan tambahan untuk bayi yaitu makanan bayi (termasuk ASI) harus mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi, dan diberikan kepada bayi yang telah berumur 4-6 bulan sebanyak 4-6 kali/hari, sebelum berumur dua tahun, bayi belum dapat mengkonsumsi makanan orang dewasa, makanan campuran ganda (multi mix) yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, dan sumber vitamin lebih cocok bagi bayi (Krisnatuti, 2000).
Ada 2 resiko yang akan timbul bila bayi diberikan MP-ASI yaitu terjadinya resiko jangka panjang dan resiko jangka pendek. Pada resiko jangka panjang dapat terjadi obesitas, hipertensi raterosklerosis, alergi. Pada resiko jangka pendek dapat terjadi penurunan produksi ASI, anemia, gastroenteritis dan berbagai penyakit infeksi, seperti diare, batuk, pilek, radang tenggorokan dan gangguan pernafasan. (James Akre, 1993).
Keadaan kekurangan gizi pada bayi dan anak di sebabkan kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat (Media indo online, 2006). Akibat rendahnya sanitasi dan hygiene MP-ASI memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh mikroba, hingga meningkatkan resiko dan infeksi lain pada bayi, hasil penelitian widodo (2006) bahwa masyarakat pedesaan di Indonesia jenis MP-ASI yang umum diberikan kepada bayi sebelum usia 4 bulan adalah pisang (57,3%) dan rata-rata berat badan bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih besar dari pada kelompok bayi yang diberikan MP-ASI (Depkes online, 2006)
Riset terbaru WHO pada tahun 2005 yang dikutip oleh Siswono (2006) menyebutkan bahwa 42% penyebab kematian balita di dunia adalah penyakit pneumonia sebanyak 58% terkait dengan malnutrisi, malnutrisi sering kali terkait dengan kurangnya asupan ASI (gizi online, 2006).
Di Propinsi Lampung pada tahun 2002 jumlah bayi yang ada sebesar 159.987 bayi, yang diberikan ASI eksklusif hanya 68.527 bayi atau 42,83% (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2003).
Berdasarkan hasil pra survey di Puskesmas Batanghari pada bulan Januari – Maret 2007, jumlah bayi berusia kurang dari 6 bulan sebanyak 161 bayi, yang diberi ASI Eksklusif adalah sebanyak 53 bayi (32%) dan yang tidak diberikan ASI eksklusif adalah sebanyak 108 bayi (68%). Dari hasil wawancara dengan 8 responden didapatkan bahwa 5 responden sudah memberikan MP-ASI sebelum bayi berusia kurang dari 6 bulan dan 3 orang belum mengerti tentang MP-ASI. Penyebab ibu sudah memberikan MP-ASI pada bayi usia kurang dari 6 bulan karena ibu sibuk bekerja dan kurangnya pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif (James Akre, 1993).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana pengetahuan Ibu menyusui tentang dampak pemberian MP-ASI pada bayi usia kurang dari 6 bulan di Desa Banjarrejo wilayah kerja Puskesmas Batanghari Lampung Timur.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian masalah diatas maka penulis membuat rumusan masalah “Bagaimana pengetahuan ibu menyusui tentang dampak pemberian makanan pendamping ASI pada bayi kurang dan 6 bulan”.

C. Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini, ruang lingkup penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Sifat penelitian : Deskriptif
2. Obyek penelitian : Pengetahuan ibu menyusui tentang dampak pemberian Makanan Pendamping ASI pada bayi usia kurang dari 6 bulan.
3. Subyek penelitian : Seluruh ibu menyusui yang memiliki bayi usia kurang dari 6 bulan dan yang telah memberikan makanan pendamping ASI.
4. Lokasi penelitian : Di Desa Banjarrejo wilayah kerja Puskesmas Batanghari Kabupaten Lampung Timur.
5. Waktu penelitian : 5 Mei-7 Juni 2007

D. Tujuan Penelitian
Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu tentang dampak pemberian Makanan Pendamping ASI pada bayi usia kurang dari 6 bulan di desa Banjarrejo puskesmas Batanghari Kabupaten Lampung Timur.

E. Manfaat Penclitian
1. Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman untuk penerapan ilmu yang didapat selama kuliah dalam rangka pengetahuan ibu menyusui.
2. Seluruh Ibu menyusui di desa Banjarrejo puskesmas Batanghari Kabupaten Lampung Timur.
Hasil penelitian ini diharapkan meningkatkan pengetahuan ibu menyusui tentang dampak makanan pendamping ASI pada bayi usia kurang dari 6 bulan.
3. Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi proses penelitian selanjutnya terutama yang berhubungan dengan dampak pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia kurang dari 6 bulan.

Blog Archive