Friday, May 20, 2011

MULLA SHADRA

Mulla Shadra
Oleh: MUH. ADLANI

Mulla Shadra seorang filosof yang sederajat dengan filosof Abu Nasir Farabi, Ibnu Sina, Syaikh Isyraq Suhrawardi, Nasiruddin Thusi, Ibnu Rusd, Ibnu Miskawai dan lain sebagainya. Juga penafsir serta penyempurna filsafat-filsafat Islam sebelumnya, dalam ilmu Irfan iapun sederajat dengan para urafa seperti Ibnu Arabi. Dalam kehidupannya ia berupaya jauh dari kehidupan mewah dan tidak mengejar kekuasaan dan tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat awam. Pada tahun 1039 H atau 1631 dia ke desa kecil bernama Kahak yang terletak di dekat kota suci Qum dan menggunakan banyak waktunya untuk pensucian diri, tafakkur tentang hakikat-halikat segala sesuatu dan beribadah kepada Tuhan. Ia meninggalkan desa tersebut dan kembali lagi ke Syiraz pada tahun 1040 H atau 1632.Mulla Shadra berkeyakinan untuk sampai kepada kesempurnaan makrifat Tuhan (tauhid) dan ilmu akhirat (eskatologi) maka seseorang harus mutlak meninggalkan dunia, syahwat dan cinta pada kekuasaan disertai dengan kecerdasan akal, ketajaman fitrah dan kesucian jiwa.”

Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars. Di zaman Mulla Shadra, pemerintah Iran di bawah kekuasaan keturunan Shafawiyan yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars, saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah ayah Mulla Shadra.

Ayah Mulla Shadra –Khajah Ibrahim Qiwami– seorang negarawan yang cerdas dan mukmin serta memiliki kekayaan yang melimpah dan kedudukannya yang mulia lagi terhormat, namun setelah menunggu bertahun-tahun ia baru dianugerahkan seorang putra yang diberi nama Muhammad (Sadruddin) dan sehari-hari dipanggil Shadra, setelah dia dewasa kemudian digelari mulla yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya menjadi Mulla Shadra.

Sadruddin Muhammad (Shadra), merupakan anak tunggal seorang menteri raja yang menguasai wilayah luas Pars, hidup di lingkungan yang religius, terhormat dan mulia. Biasanya untuk anak-anak yang tinggal di lingkungan istana pada saat itu mereka diajar oleh guru privat di rumah mereka sendiri. Shadra seorang anak yang cerdas, semangat dan rajin belajar, dalam waktu yang singkat dia menguasai seluruh pelajaran yang diajarkan seperti, tata-bahasa Persia, Arab, seni dan tulisan indah. Pelajaran-pelajaran lain yang juga diperlajari misalnya, Fiqih, Logika dan Filsafat, tetapi Shadra yang belum balig waktu lebih condong ke Filsafat dan terkhusus dalam bidang Irfan. Hal ini dapat dilihat dari diarynya yang banyak tertulis syair-syair irfani berbahasa parsi dari Jalaluddin Maulawi, Araqi dan Attar.

Sebagian dari pelajaran di atas ia pelajari di kota Syiraz dan sebagian lagi dipelajari sewaktu berumur enam tahun di Qazwin. Di sana ia belajar dengan banyak guru dalam bidang yang beragam dan menyelesaikannya dengan cepat mulai dari pelajaran tingkat pertama, menengah sampai tingkat tinggi.

Mulla Shadra selama DI Qazwin bertemu dengan guru-guru besar seperti Syaikh Bahauddin Amili Ra dan Mir Damad Ra dan kemudian menuntut ilmu dari mereka. Dalam waktu yang cepat, dengan kecerdasan yang dimilikinya, ia dapat menguasai pelajaran dengan sempurna dan menjadi murid yang paling dihormati dan dicintai oleh kedua gurunya.

Dengan berpindahnya ibukota Shafawiyyah dari Qazwin ke Ishfahan (tahun 1006 H atau 1598 M)[1] Syaikh Bahauddin dan Mir Damad beserta muridnya juga hijrah ke kota tersebut dan meluaskan pengajarannya di sana. Pada masa itu, Mulla Shadra berusia 27 tahun dan secara resmi telah menamatkan semua pelajarannya.

Tidak diketahui secara pasti selama berapa tahun ia menetap di Ishfahan dan setelah itu ia ke kota mana. Kemungkinan besar setelah tahun 1010 H atau 1602 M ia hijrah dari Ishfahan ke kotanya Syiraz untuk mengurusi warisan kekayaan ayahnya, sebagian hartanya diberikan ke fakir miskin dan beberapa bagian diwakafkan untuk kepentingan umum di Syiraz.

Muhammad Ibrahim bin Yahya Qiwami Syirazi yang digelar Sadr al-Mutaallihin dan lebih dikenal sebagai Mulla Shadra adalah salah seorang filosof ilahi terbesar dan teragung yang mewarisi secara sempurna filsafat Islam dan pendiri aliran baru dalam filsafat Islam yang dinamakan al-Hikmah al-Muta’aliyah yang terus berpengaruh hingga saat ini.

Syaikh Muhammad Husain Garawi Isfahani Ra[2] bertutur ihwal Mulla Shadra: Jika ada orang yang mengetahui sempurna rahasia kitab Asfar[3] maka saya akan berguru kepadanya walaupun ke negeri Cina.

Mulla Shadra seorang filosof yang sederajat dengan filosof Abu Nasir Farabi, Ibnu Sina, Syaikh Isyraq Suhrawardi, Nasiruddin Thusi, Ibnu Rusd, Ibnu Miskawai dan lain sebagainya. Juga penafsir serta penyempurna filsafat-filsafat Islam sebelumnya, dalam ilmu Irfan iapun sederajat dengan para urafa seperti Ibnu Arabi.

Dalam kehidupannya ia berupaya jauh dari kehidupan mewah dan tidak mengejar kekuasaan dan tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat awam. Pada tahun 1039 H atau 1631 dia ke desa kecil bernama Kahak yang terletak di dekat kota suci Qum dan menggunakan banyak waktunya untuk pensucian diri, tafakkur tentang hakikat-halikat segala sesuatu dan beribadah kepada Tuhan. Ia meninggalkan desa tersebut dan kembali lagi ke Syiraz pada tahun 1040 H atau 1632.

Mulla Shadra berkeyakinan untuk sampai kepada kesempurnaan makrifat Tuhan (tauhid) dan ilmu akhirat (eskatologi) maka seseorang harus mutlak meninggalkan dunia, syahwat dan cinta pada kekuasaan disertai dengan kecerdasan akal, ketajaman fitrah dan kesucian jiwa.

Lebih lanjut dia berkata bahwa seseorang yang tidak sampai pada derajat mukasyafah (penyingkapan) dalam memahami hakikat-hakikat segala sesuatu maka secara hakiki tidak bisa disebut sebagai hakim. Dia katakan bahwa hukum-hukum syariat sesuai dengan ilmu makrifat (filsafat ilahi dan irfan) dan tidak bertentangan satu sama lain.

Kata Mulla Shadra orang yang tidak ingin menapaki jalan spritual (suluk) dan tidak istiqamah dalam meraih mukasyafah atas apa yang telah diargumentasikan tidak akan mendapatkan manfaat dalam menghayati secara serius ayat-ayat al-Quran dan sebaiknya orang tersebut tidak mempelajari dan mendalami karya-karyanya. Orang seperti ini sebaiknya mempelajari ilmu-ilmu lahiriah seperti ilmu Bahasa, Sejarah, ilmu Ushul, ilmu Fiqih dan ilmu Hadis. Menurutnya sebagian besar masyarakat haram memperlajari ilmu makrifat ini karena kesulitan yang sangat dalam meraihnya dan mencapainya dibutuhkan niat suci, cita-cita yang tinggi, keinginan yang membaja dan taufik dari Tuhan.

Ilmu makrifat dipelajari hanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, jika tidak maka dia tidak akan mungkin sampai pada hakikat ilmu tersebut, bahkan sebaliknya akan menjauhkannya dari jalan yang lurus dan tujuan suci. Seorang filosof yang bijaksana tidak boleh mengajarkan dan mewariskan ilmu itu kepada orang seperti ini.


Kelahiran dan wafat

Mulla Shadra lahir pada tahun 979 H atau 1571 M di kota Syiraz. Ayah Mulla Shadra khajah Ibrahim Yahya Qiwami Syirazi anak dari Qiwamuddin Muhammad seorang wakil raja dari keturunan Muzaffar.

Syiraz saat itu merupakan kota yang paling tenang dan paling indah di bawah kekuasaan raja Muhammad Mirza Khudo Bandeh (saudara Syah Ismail kedua) dari keturunan Shafawiyah, raja ini sangat mendukung penyebaran agama dan mencintai ilmu, ayah Mulla Shadra bekerja di kerajaan tersebut dan dihormati masyarakat karena budi-baiknya.

Syaikh Abdullah Zanjani dalam salah satu karyanya menulis kisah tentang Mulla Shadra, dikisahkan suatu hari ayahnya pergi dan melimpahkan satu pekerjaan kepadanya, setelah kembali dari safar ia meminta laporan pertanggungjawaban keuangan selama ditinggal, dalam laporannya tertulis ada sejumlah besar uang disumbangkan kepada orang fakir, jumlah uang yang disumbangkan tersebut setara dengan jumlah uang yang dinazarkan ayahnya kepada Tuhan ketika memohon seorang anak. Ketika ayahnya menanyakan alasan penggunaan uang sebanyak itu Mulla Shadra menjawab bahwa uang itu adalah uang nazar yang mesti dibayarkan. Ia sangat terperanjat mendengar jawaban anaknya karena hal itu tidak pernah disampaikan kepadanya.

Mulla Shadra dilahirkan di zaman dimana cahaya filsafat redup dan tiada pendukungnya, Tuhan Yang Maha Bijaksana kemudian memilih hamba-Nya dan mengutus untuk menyempurnakan dan menyebarkan ilmu tersebut setelah sebelumnya mengutus secara bertahap filosof-filosof untuk menyiapkan lahan demi menerima hakikat-hakikat yang lebih tinggi.

Filosof Ilahi ini meninggal tahun 1050 H atau 1640 M di kota Bashrah dalam perjalanannya yang ketujuh ke Mekkah dengan berjalan kaki. Filosof Sayyid Abul Hasan al-Qazwini Ra berkata: empat puluh tahun yang lalu saya bertanya tentang kuburan Mulla Shadra kepada salah seorang Arab yang tinggal di Najaf Asyraf Iraq yang sering ke kota Bashrah Iraq, orang Arab tersebut menjawab di kota Bashrah ada kuburan yang dikenal dengan kuburan Mulla Shadra Syirazi, tapi peneliti sejarah tidak pernah menemukan tanda-tanda kuburan filosof tersebut mungkin karena pengaruh perubahan tata letak kota mengakibatkan kuburan tersebut hancur, wallahu a’lam bihaqayikil umur.

Guru-guru Mulla Shadra

Mulla Shadra belajar di Qazwin kepada Syaikh Bahauddin Amili Ra dan Mir damad Ra, setelah ibukota berpindah dari Qazwin ke Ishfahan pada tahun 1006 H atau 1596 M iapun hijrah bersama kedua gurunya ke kota tersebut dan menyelesaikan pelajaran tertingginya seperti Logika, Filsafat dan Irfan di sana. Mulla Shadra banyak sekali mengambil manfaat dari kedua gurunya tersebut.


1. Syaikh Bahauddin Amili

Syaikh Bahauddin (953 – 1030 H) walaupun bukan guru pertama Mulla Shadra tetapi merupakan guru yang paling penting dan berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya hingga mencapai kesempurnaan akhlak dan ilmu.

Dia adalah anak dari salah seorang fuqaha Libanon bernama Syaikh Husain bin Abd ash-Shamad Amili Ra. Kota Jabal Amil salah satu kota yang terletak di selatan dan penduduknya mayoritas Syiah, saat itu di bawah kekuasaan pemerintah Jabbar Usmani yang menyiksa dan membunuh banyak ulama-ulama Syiah, sehingga sebagian ulama-ulama hijrah dan berlindung di bawah pemerintahan Iran Shafawi. Syaikh Bahauddin yang saat itu berumur tujuh tahun bersama ayahnya juga hijrah ke Iran. Ayahnya sebagai Syaikh al-Islam dan menjadi wakil ruhani di kota Harat Khurosan dan Syaikh belajar dan menyelesaikan studinya di Iran kemudian dengan cepat menjadi seorang ulama yang terkenal.

Syaikh menguasai berbagai cabang ilmu seperti Fiqih, Hadis, Tafsir, Adabiyat, Matematika dan Astronomi.

2. Mir Damad

Mir Muhammad Baqir Husaini yang dikenal dengan Mir Damad adalah salah seorang ulama terbesar di zamannya dan guru terkenal yang mengajarkan filsafat peripatetik (masyai), filsafat iluminasi (isyraqi), Irfan, Fiqih dan ilmu keislaman. Ayahnya juga seorang faqih dari Istarabad (sekarang Gurgon), di masa muda Mir Damad belajar di Madrasah Khurasan setelah itu menjadi menantu (damad) ulama terkenal dari Libanon Syaikh Ali Karaky yang di kenal sebagai Muhaqqiq kedua dan penasihat agung raja Shafawi, karena ia menjadi menantu ulama tersebut maka gelar Damad yang artinya menantu melekat padanya.

Ia dilahirkan di Khurasan tahun 969 H atau 1562 M, dan menghabiskan masa remajanya di Masyhad ibukota Khurasan. Dia sangat cerdas dan cepat menamatkan semua pelajaaran dasar kemudian berangkat ke Qazwin (saat itu ibukota Pars) untuk menyempurnakan ilmunya. Semua tingkatan keilmuan dilalui dengan sempurna dan menjadi seorang ulama dan guru yang terkenal.

Mulla Shadra semasa remaja bersama ayahnya ke Qazwin bertemu dengan Mir Damad dan menjadi muridnya. Pada tahun 1006 H atau 1596 M ibukota Pars berpindah dari Qazwin ke Ishfahan maka Mir Damad pun memindahkan pengajarannya ke sana. Mulla Shadra banyak mengambil manfaat dari gurunya dan menguasai secara sempurna ilmu yang dimilikinya, ialah pewaris ilmu gurunya. Mulla Shadra sangat menghormati dan mencintai gurunya sedemikian hingga hubungan dengan gurunya sangatlah erat dan tak terputus.

Mir Damad pada tahun 1041 H atau 1631 M meninggal karena sakit dalam perjalanannya ke Iraq.

Tiga tahapan kehidupan Mulla Shadra

Kehidupan Mulla Shadra dibagi dalam tiga tahapan:

Tahapan pertama: masa menuntut ilmu dan mengkaji berbagai pemikiran-pemikiran Filsafat dan Irfan (tasawuf). Di masa ini juga pemikiran kedua gurunya -Mir Damad dan Syaikh Bahauddin- masih berpengaruh kuat pada dirinya.

Tahapan kedua: Karena tekanan dan prilaku yang buruk dari orang-orang yang hasad atas kemajuan ilmunya begitu juga dari orang yang benci karena pemikiran-pemikiran barunya yang banyak bertentangan dengan pemikiran ulama dan fuqaha saat itu dia kemudian meninggalkan Syiraz tahun 1039 H atau 1631 M dan mengasingkan dirinya ke desa Kahak dekat dengan kota suci Qum[4].

Di tempat kudus ini, ia melakukan pensucian diri dengan berkonsentrasi pada peribadatan, puasa dan riyadhah (olah batin). Ia menjalani dengan cepat tingkatan-tingkatan suluk irfani hingga sampai pada derajat spiritual tertinggi dan mukasyafah. Pada tahun 1040 H atau 1632 M kembali ke Syiraz.

Tahapan ketiga: masa menulis, mengajar dan mendidik. Masa ini merupakan hasil dari dua tahapan tersebut. Di masa ini ia menulis kitab Asfar dan karya-karya lainnya yang ditulis pada tahapan pertama kehidupannya merupakan sumber-sumber untuk penulisan kitab Asfar. Mulla Shadra kembali mengajar setelah menyelesaikan secara sempurna sair wa suluk (tangga-tangga perjalanan spiritual) dan telah tersingkap baginya hakikat-hakikat Islam, dengan perbedaan bahwa pengajaran beliau kali ini dengan ilmu syuhudi (intuisi) disertai hadis dari Rasul Saw dan Ahlulbait As. Karena penafsiran-penafsiran beliau berdasarkan kedua sumber tersebut – ilmu syuhudi dan hadis – tidak sesuai dengan apa yang dipahami secara umum oleh banyak ulama dan fuqaha, akhirnya membangkitkan kebencian dan kemarahan mereka yang berujung pada pengkafiran (tafkir) dirinya dan pengharaman membaca karya-karyanya.


Mulla Shadra setelah melewati ketiga tahapan tersebut berkata:

Segala hal yang mengantarkan kami kepada inayah (perhatian) dan hidayah Tuhan serta pengetahuan rahasia tauhid dan alam akhirat, saya berkeyakinan bahwa tak satupun pengikut filsafat peripatetik selain Aritoteles sampai kepada derajat pengetahuan tersebut dan juga saya yakin tak satupun para sufi yang sampai pada mukasyafah (penyingkapan) irfani mampu mengargumentasikan segala hal yang didapati dari mukasyafah[5].



Putra-putri Mulla Shadra


Kemungkinan besar Mulla Shadra menikah diumur 40 tahun dan dianugerahkan lima anak dua laki-laki dan tiga perempuan anak, berikut ini nama dan tahun kelahiran mereka:

1. Ummu Kulsum lahir tahun 1019 H/1609 M

2. Ibrahim lahir tahun 1021H/1611 M

3. Zubaidah lahir tahun 1024 H/1614 M

4. Nizamuddin Ahmad lahir tahun 1031 H/1621 M

5. Ma’shumah lahir tahu 1033 H/1623 M


Murid-murid Mulla Shadra

Pada tahapan ketiga kehidupan Mulla Shadra dikatakan bahwa dia kembali mengajar dan mendidik murid-muridnya di madrasah Syiraz yang bernama Khan di bangun pada zaman pemerintahan Syah Abbas Shafawi.

Di madrasah inilah dihasilkan banyak murid-muridnya yang ternama dan kemudian menjadi filosof terkenal, di bawah ini kami hanya menyebutkan murid-muridnya yang memiliki karya-karya yang banyak, seperti:

1. Mulla Muhsin Faidh Kasyani, menikah dengan Zubaidah anak ketiga Mulla Shadra

2. Mulla Abdurazzaq Lahiji yang di gelari Fayyadh, menikah dengan Ummu Kulsum anak pertama Mulla Shadra.

3. Mirza Syarafuddin Abu Ali Ibrahim, anak kedua Mulla Shadra

4. Nizamuddin Ahmad, anak keempat Mulla Shadra

5. Syaikh Husain Tankabi

6. Syah Abul Wali Syiraz

7. Mulla Muhammad Irwani

8. Muhammad bin Ridha bin Ogho Jani


Karya-karya Mulla Shadra


1. Al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-Arba’ah: kitab ini adalah magnum opusnya dan induk dari semua karya-karyanya serta paling lengkapnya pembahasan filsafat dari seorang filosof. Kitab ini terbagi dalam empat perjalanan: perjalanan dari makhluk ke Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke Tuhan bersama Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke makhluk bersama Tuhan, perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama Tuhan.

2. Ittihâd al-Âqil wa al-Ma’qul: risalah ini merupakan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan khusus yang ada di kitab Asfar.

3. Ittishâf al-Mahiyat bi al-Wujud: risalah ini menjelasakan tentang bagaimana hubungan kesatuan antara esensi (mahiyat) dengan eksistensi (wujud).

4. Ajwibatu al-Masail: kandungan risalah ini tentang penjelasan kekuasaan Tuhan, substansi, pengertian aksiden dan masalah-masalah komposisi dan terbentuknya materi dan jawaban Mulla Shadra atas pertanyaan yang ditujukan kepada filosof Nashruddin Thusi dari seseorang tapi tidak terjawab, pertanyaan tersebut berkisar: gerak merupakan sebab dari waktu, penciptaan jiwa manusia, bagaimana terpancarnya kejamakan dari ketunggalan wujud..

5. Ajwibatul al-Masâil an-Nashiriyat: berisi lima persoalan antara lain: pertanyaan tentang gerak, tentang jiwa nabati, bagaimana hadirnya gambaran sesuatu dalam pikiran, perbedaan pengindraan hewan dan manusia, penciptaan jiwa setelah kematian.

6. Asrar al-Ayat wa Anwâr al-Bayyinat: Kitab ini membahas tentang ilmu-ilmu Ketuhanan, perbuatan ilahi dan ilmu tentang alam akhirat.

7. Aksirul ‘Arifin: tentang makrifat-makrifat yang tinggi, membahas tentang pembagian ilmu—ilmu dan makrifat nafs (ilmu jiwa).

8. At-Tasyakhkhush: berisi tiga bab tentang pembahasan umum wujud.

9. At-Tasawwur wa at-Tashdiq: berhubungan dengan pembahasan logika tapi khusus mengupas masalah-masalah tolok ukur kebenaran pemahaman manusia.

10. Ta’liqât ‘ala al-Hikmat al-Isyrâq: catatan-catatan kaki Mulla Shadra atas buku Syaikh Isyraq Suhrawardi.

11. Ta’liqât ‘ala al-Ilahiyyat as-Syifa: berisi penjelasan, tafsir dan kritik atas kitab Syifa Ibnu Sina.

12. At-tafsir al-Quran: berisi tafsiran dan penjelasan beberapa surah dari al-Quran, antara lain: al-Hadid, Ayatul Kursi, an-Nur, as-Sajdah, al-Fatihah, al-Baqarah, Yasin, Jum’ah, al-Waqi’ah, at-Thariq, al-‘Ala dan az-Zalzalah.

13. Huduts al-‘Âlam: penjelasan tentang hadis dan hadirnya alam materi.

14. Al-Hasyr: berisi penjelasan bahwa kebangkitan setelah hari kiamat berkaitan dengan semua makhluk bukan hanya manusia.

15. Al-Hikmat al-Arsyiyyah: Kitab ini merupakan kesimpulan kitab Asfar yang hanya memuat pikiran-pikiran Mulla Shadra.

16. Khalq al-‘Amâl: membahas masalah jabr (keterpaksaan) dan ikhtiar (kebebasan) berdasarkan argumentasi rasional dan dukungan hadis-hadis Ahlulbait As.

17. Diwâne Sy’er: kumpulan syair-syair Mulla Shadra yang dikumpulkan oleh muridnya Mulla Muhsin Kasyani.

18. Zad al-Masafir wa Zad as-Sâlik: pembahasan khusus tentang ma’ad jasmani.

19. Sarayân Nur Wujud al-Haq fi al-Maujudat: risalah ini mengkaji rahasia kebersamaan Tuhan dengan makhluk.

20. Seh Asl: kitab ini menggambarkan kepada kita bagaimana sebagian ulama dan fuqaha menampakkan kebencian dan perlawanannya kepada filosof dan ‘arif, dan juga berisi nasihat-nasihat spiritual bagi para pesuluk ilmu dan amal.

21. Syar Ushul al-Kâfi: hanya menafsirkan bab-bab tauhid dan doktrin-doktrin aqidah lainnya dalam kumpulan hadis Syiah ini.

22. Syar Hidayat al-Asiriyyah: kitab ini menafsirkan pemikiran-pemikiran aliran filsafat peripatetik.

23. Asy-Syawâhid ar-Rububiyyah fi al-Manâhij as-Sulukiyyah: Kitab ini mengulas seluruh pikiran-pikiran Mulla Shadra secara luas atau hanya memuat dotrin-dotrin aliran filsafat muta’aliyyah.

24. Al-Qadha wa al-Qadr: risalah ini memuat penjelasan tentang arti qadha dan qadar, bagaimana hadirnya keburukan dalam qadha ilahi, faktor penting dalam ikhtiar dan pengaruh doa serta manfaat ketaatan kepada Tuhan.

25. Kasr Ashnam al-Jahiliyyah: Kitab ini ditulis mengkritik prilaku orang-orang yang mengaku sufi.

26. Al-Lamâ’at al-Masyriqiyyah fi al-Mubahats al-Manthiqiyyah: Kitab ini khusus membahas masalah-masalah logika.

27. Lammiyat ikhtishash al-manthaqat bi mawdi’a mu’ayyan min al-falak.

28. Al-mabda’ wa al-ma’ad: Kitab ini membahas mulai dari tauhid sampai ilmu tentang alam akhirat.

29. Mutasyabih al-Quran: risalah ini mengkaji perkataan aliran-aliran yang bermacam dan juga kesimpulan pembahasan ayat kursi.

30. Al-Mizâj

31. Al-Masail al-Qudsiyyah: risalah ini memuat hukum-hukum tentang wujud dan wajib al-wujud, juga berisi tentang penetapan wujud pikiran dan beberapa pembahasan tentang akal dan tingkatan-tingkatannya.

32. Al-Masyâ’ir: Kitab ini berisi tentang pengertian wujud, hakikat wujud dan hal-hal partikular tentang wujud. Paling lengkapnya pembahasan tentang wujud dalam kitab ini.

33. Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrâr al-‘Ulum al-Kamâliyah: Kitab ini mengulas tentang makrifat zat, sifat dan perbuatan Tuhan. Penetapan wujud Tuhan, ahadiyyat, wahidiyyat dan asma-asma Tuhan serta hari kemudian.

34. Mafatih al-Ghaib: paling baiknya kitab berkenaan dengan tafsir al-Quran.

35. Al-Waridat al-Qalbiyyah: kitab menjelaskan tentang penyingkapan irfani atas masalah ketuhanan, tingkatan alam besar dan alam kecil (manusia) serta pentingnya pensucian diri dan menjalani maqam-maqamnya.

36. Nomeh hoye Sadr al-mutaallihin: tentang surat-surat pujian Mulla Shadra kepada gurunya Mir Damad.

37. Ashalat j’al al-Wujud: risalah yang menguraikan tentang penciptaan wujud dan secara prinsipil bersandarnya ciptaan kepada wujud.


Hikmah Muta’aliyah

Pada dasarnya hikmah dalam filsafat Mulla Shadra memiliki pengertian khusus yaitu mengenal Tuhan, sifat, perbuatan dan manifestasi-Nya.

Dalam kitab Mafâtih al-Ghaib tentang hikmah muta’aliyyah berkata: hakikat hikmah diperoleh dari ilmu laduni (hudhuri), jika seorang belum mencapai maqam ini maka tidak disebut hakim (seorang yang memiliki hikmah).

Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.

Dalam kitab Asfar dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan wahyu sejalan satu sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para nabi dan rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai hakim atau filosof ilahi. Syariat yang benar tidak mungkin bertentangan dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu makrifat Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.

Untuk sampai ke derajat kasyf dan syuhud maka akal harus dicahayai dengan syariat, karena hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal jika belum menyatu dengan realitas luar maka merupakan hijab untuk mencapai hakikat-hakikat syuhudi, dengan bahasa lain kalau akal belum dicahayai oleh syariat maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan pernah mencapai ilmu huduri.

Menurut filosof ini fiqih untuk mengarahkan amal perbuatan manusia, jika prilaku manusia terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima pancaran ilmu dan makrifatnya dari Tuhan. Jadi fiqih merupakan pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan makrifat manusia.

Dalam filsafat Mulla Shadra empat aliran berpikir – aliran peripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf – tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah al-Muta’aliyah, aliran filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas tapi pemikiran yang dihasilkannya sangat jauh berbeda. Karenanya aliran filsafat ini dikatakan sebagai aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan dunia yang baru.

Aliran filsafat Mulla Shadra mampu menggabungkan antara dotrin Islam dengan pemikiran filsafat. Al-Quran dan hadis dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk menyelesaikan setiap persoalan dan pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran filsafat lainnya. Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya filsafatnya sebuah kitab tafsir agama dan begitu juga sebaliknya kitab tafsir al-Quran dan hadis bisa dinamakan sebuah kitab filsafat. [*]

[1] . Dua tahun setelah kelahiran filosof Descartes.

[2] . Beliau adalah salah seorang marja’ besar di Najaf Asyraf Iraq, menulis banyak buku dalam bidang fiqih, Ushul fiqih, tafsir dan filsafat khususnya mendalami filsafat Mulla Shadra.

[3] . Nama lengkap kitab ini al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Arba’ah al-Aqliyah. Karya yang terbesar dan terlengkap dalam membahas dotrin-dotrin filsafat dan kritik atas seluruh pemikiran-pemikiran filosof lainnya serta mengungkapkan pemikirannya sendiri di akhir setiap pembahasan.

[4] . Kota suci Qom saat itu belum menjadi kota ilmu dan filsafat, di sini dikuburkan anak perempuan Imam Syiah yang ketujuh (Imam Musa Kazim As) dan saudara perempuan Imam Syiah kedelapan (Imam Ridha As) bernama Sayyidah Ma’shumah.

[5] . Mukasyafah dan musyahadah dari sisi arti sangatlah dekat, dengan perbedaan bahwa mukasyafah lebih sempurna dari musyahadah. Mukasyaafah yaitu jiwa manusia sampai pada tingkat dimana hakikat-hakikat batin dan perkara-perkara akal tersingkap baginya tanpa
berpikir dan berkehendak.


SOURCE

Blog Archive