Alasan lainnya adalah pemberitaan dan protes keras yang gencar dilakukan oleh media-media independen, kalangan jurnalis dan intelektual kritis Barat terhadap tragedi dan dampak buruk invasi AS ke Irak. Kritikan keras itu bahkan mengarah langsung pada media-media pendukung pemerintah AS dan rezim zionis Israel. Tentu saja, media-media yang selama ini dikenal sebagai pendukung perang, akhirnya terpaksa mengungkap sebagian realitas yang ada demi menjaga reputasinya. Untuk mengetahui lebih jauh sejauh mana tingkat perubahan arah kebijakan media-media Barat, menarik rasanya jika kita simak beberapa contoh berikut ini.
Patrick Cockburn, adalah seorang wartawan Inggris yang aktif di kawasan Timur Tengah sejak 1979. Ia banyak menulis sejumlah makalah dan buku mengenai Saddam Hussein dan perang Teluk Persia yang pertama. Dalam artikelnya di majalah cetakan AS, Counter Punch, Patrick memaparkan kesaksiannya tentang pendudukan AS di Irak. Dalam artikelnya yang bertajuk 'How to Destroy a Country in Five Years? (Bagaimana Menghancurkan Sebuah Negara dalam Lima Tahun?)' ini, ia menulis, 'Pendudukan selama lima tahun telah menghancurkan Irak sebagai sebuah negara...dibanding perang di tahun 1991, perang tahun 2003 memiliki situasi yang berbeda. Liputan televisi dan pers pada perang pertama benar-benar bohong. Pasalnya, mereka berusaha untuk menciptakan perasaan perang total, padahal perang dengan artian bentrokan antara dua tentara, nyatanya tidak terjadi. Namun mengenai perang kedua, mereka menyatakan, ‘Jika AS hengkang, kekacauan bakal muncul. AS masih bertahan, namun kekacauan tetap saja terjadi. Saya lihat, serdadu-serdadu AS membakar tank-tank kosong Irak di jalan-jalan pinggiran Baghdad, supaya mereka bisa mengesankan situasi perang total kepada pemirsa televisi'.
Lebih lanjut Patrick menambahkan, 'Kendati mayoritas rakyat Irak menginginkan Saddam Hussein hengkang, namun mereka tidak ingin kekuatan asing menduduki negaranya. Kini, pasukan AS, milisi AlQaeda, dan pelbagai kelompok di Irak berperang untuk merebut kekuasaan. Namun sampai sekarang AS tak juga mampu memperbaiki reputasinya lantaran menggelar perang tersebut.'
Salah satu strategi yang digunakan media massa dalam situasi perang Irak saat ini adalah memanfaatkan pendapat para pakar dan menampilkannya. Tampaknya mereka ingin menampik tudingan yang selama ini muncul. Mereka menyuguhkan analisa para pakar tentang situasi aktual perang dan problema yang dihadapi AS. Media-media Barat seolah-olah hendak menempatkan dirinya hanya sebagai perantara yang memperkenalkan suatu informasi.
Baru-baru ini, koran cetakan Inggris, Daily Mail dalam laporannya berusaha membeberkan faktor ketidakmampuan AS dalam meraih kemenangan di perang Irak. Penulis artikel tersebut menilai bahwa penambahan tentara di Irak sebagai strategi yang gagal dan menganggap sama hinanya seperti kelakar Presiden Bush lima tahun lalu. Ia menulis, 'George Bush, lima tahun lalu, saat menyerang ke Irak menandaskan, ‘Permainan telah usai'. Namun kini kita saksikan bahwa tentara AS sudah letih dan kekuatan Washington nyaris hancur'.
Oleh karena itulah, Joseph E. Stiglitz, ekonom masyhur yang memprediksikan biaya perang Irak menghabiskan 3 triliun USD dalam wawancaranya dengan penulis artikel tersebut menuturkan, 'Petualangan AS di Irak bukan hanya yang terpanjang dan perang termahal di sepanjang sejarah AS tapi juga merupakan yang paling sia-sia'.
New York Times, merupakan salah satu media massa AS lainnya yang mengkritik politik perang AS di Irak. Koran ini baru saja merilis hasil polling seratus sejarawan AS. Dalam polling ini, mereka menilai George W. Bush sebagai presiden AS yang paling buruk. 98 persen dari mereka beranggapan juga bahwa masa delapan tahun kepemimpinan Bush merupakan era kekalahan AS. New York Times menambahkan, 'Selama 8 tahun terakhir, AS mengasingkan dirinya sendiri. Alasan ini sudah cukup untuk kita nyatakan bahwa era saat ini merupakan era kekalahan di segala bidang'. Para sejarawan ini mengutuk Bush lantaran ia telah menjadikan AS sebagai negara yang dibenci oleh masyarakat internasional'. Di bagian lain artikelnya, New York Times menulis, 'Diplomasi Cowboy Bush telah menggambarkan AS sebagai negara adidaya yang licik, tukang tipu dan musuh.
Begitu juga dengan Seymour Hersh, wartawan senior AS. Seraya merujuk pendapat tokoh sosiolog AS, Hersh menyebut taktik pemerintahan Bush dalam perang Irak sebagai realisme orang-orang gila. Ia menulis, sebagaimana yang terjadi dalam perang Korea selama bertahun-tahun, lantaran takut akan dampak kekalahan AS di Irak, mereka terpaksa menempuh suatu jalan yang tidak mereka ketahui lika-likunya dan hanya mengeluarkan perintah serangan dan perang yang lebih banyak.
Hersh juga menyinggung pernyataan sejumlah politisi AS dan menyebut mereka sebagai pencari kekuasaan yang gila. Mereka tidak tahu dampak dan dimensi ledakan kekuasaan dan hanya bisa berkata-kata. Di bagian akhir artikelnya, Hersh menulis bahwa kita harus akui, pemerintahan Bush berhasil merealisasikan slogan Caligula secara sempurna. Caligula adalah kaisar setengah gila imperium Roma pada abad pertama. Ia pernah berkata, 'Biarkan mereka membenci kita, tapi mereka takut pada kita'.
Sebelum menutup perjumpaan kita, menarik kiranya jika kita tengok sebuah foto yang melukiskan secara apik mental intervensi AS dan dampak akhirnya. Foto pilihan tahun 2007, yang dimenangkan oleh fotografer bernama Tim Hetherington. Foto itu diambil pada 16 September 2007, di jurang Karangol Afghanistan, yang melukiskan seorang serdadu AS duduk letih di atas tanah yang lusuh di samping tenda. Sang fotografer menuturkan, ini adalah gambar seorang lelaki letih, yang mengungkapkan letihnya suatu bangsa dan akhir perang Irak. Dewan juri pemilihan foto tahunan terbaik dunia yang ke-51 'World Press Photo mengumumkan foto tersebut sebagai foto berita terbaik tahun 2007. Sebuah foto yang juga melukiskan tumbangnya kedigdayaan suatu kekuatan adidaya.' (sumber:http://indonesian.irib.ir)