Petugas pengawalan kepolisian (Voorijder) mengiringi kendaraan pejabat negara membelah kemacetan di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat
Iring-iringan pengawal para pejabat di Indonesia memang kerap mengundang keluhan. Tak tahan lagi memafhumi, Hendra NS, seorang warga Cibubur yang selalu berhadapan dengan Petugas Patroli Pengawal (Patwal) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengungkapkan kekesalannya melalui Surat Pembaca KOMPAS edisi 16 Juli 2010.
Keluh kesah Hendra, seakan mewakili uneg-uneg ribuan warga lainnya yang kerap mendapatkan kesal yang sama saat berkendara di jalanan Ibukota. Setidaknya, Kompas.com merangkum beberapa keluhan lainnya. Semoga para pejabat mau mendengarnya…Inilah surat Hendra yang dimuat di Harian KOMPAS dan mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan :
Redaksi Yth .
Trauma oleh Patwal PresidenSebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya-juga mayoritas pengguna jalan itu-memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal.
Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya. Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar sirene dan hardikan petugas lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman.Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri. Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan.
Bingung dan panik, sayapun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan. Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, “Apa mau Anda saya bedil?” Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpatan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara.Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya. Saya jelaskan situasi tadi. Amarahya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti “dari mana sumber suara speaker itu?”, atau “mestinya kamu ikuti saya saja”, atau “tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri”. Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantam tak digubris.
Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat di depan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk hati satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat. Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi. Oknum ini malah mengeluarkan ocehan,“Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?” Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong. Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.
HENDRA NS Cibubur ***
Seorang warga Jakarta, Rinda, juga pernah mengalami hal yang sama. Bekerja di kawasan Thamrin membuatnya saat berkendara kerap bersinggungan dengan iringan mobil pejabat yang berkantor di kawasan Medan Merdeka. Surat pembaca yang dikirimkan Hendra pun sempat dibacanya.
“Iya, itu surat pembaca udah bener banget. Saya pikir, orang Jakarta, kalo ditanya soal mobil-mobil pejabat yang lewat kesannya sama deh : kesal dan sok banget. Enggak merakyat,” kata Rinda, Jumat (16/7/2010) malam.
Ia lantas bercerita, suatu saat pernah mengalami kejadian yang membuatnya kesal setengah mati. Ketika melintas di kawasan Pakubuwono, Jakarta Selatan, petugas pengawal mobil pejabat dengan seenaknya meminta mobil-mobil menepi. Padahal, saat itu dalam keadaan macet.
“Saya paham sih, dia cuma pengawal yang mungkin takut sama bosnya. Tapi kelakuannya itu suka enggak mikir. Waktu itu sore dalam keadaan hujan. Pakubuwono itu kan satu arah. Pas macet banget. Mobil pengawalnya, kalo enggak salah Nissan Terrano. Bunyiin sirene yang ampun deh, heboh banget. Terus, jendela bagian depan dibuka, si petugas mengacung-acungkan pentungannya nyuruh mobil minggir karena mobil dia dan pejabat juga terjebak kemacetan.
Lah, saya yang ada di sebelah mobilnya, langsung bilang, ‘Mau minggir gimana, Pak. Lihat dong, macet gini. Enak aja main perintah’. Saya bilang gitu, dia langsung turun, terus minggir-minggirin mobil. Mana bisa, saat itu padet banget. Akhirnya ikut kena macet juga enggak bisa apa-apa,” cerita Rinda panjang lebar.
Ia memaklumi, jika para pejabat memang mendapatkan perlakuan yang istimewa. Namun, ia mengharapkan, ada sikap arif dari sang pejabat untuk memahami kondisi saat berkendara di jalan raya.
“Jangan karena kita rakyat biasa, kemudian mereka seenaknya aja memperlakukan kita. Sekali-sekali merasakan jadi rakyat biasa kan juga enggak apa-apa. Merasakan bagaimana nikmatnya macet, hahaha,” ujarnya.
Ya, semoga mereka mendengarnya! Anda juga, punyakah pengalaman yang sama?
Sumber: kompas.com