Showing posts with label kumpulan askep. Show all posts
Showing posts with label kumpulan askep. Show all posts

Tuesday, January 26, 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DHF

1. Pengertian

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman , 1990).

DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypty (Seoparman, 1996).

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam.
2. Etiologi

a. Virus dengue sejenis arbovirus.

b. Virus dengue tergolong dalam family Flavividae dan dikenal ada 4 serotif, Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70 oC.

Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling banyak.
3. Patofisiologi

Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.

Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.

Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah , menurunnya volume plasma , terjadinya hipotensi , trombositopenia dan diathesis hemorrhagic , renjatan terjadi secara akut.

Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.
4. Tanda dan gejala

a. Demam tinggi selama 5 – 7 hari

b. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.

c. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.

d. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.

e. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.

f. Sakit kepala.

g. Pembengkakan sekitar mata.

h. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.

i. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah).

5. Komplikasi

Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah diantaranya :

a. Perdarahan luas.

b. Shock atau renjatan.

c. Effuse pleura

d. Penurunan kesadaran.

6. Klasifikasi

a. Derajat I :

Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi, trombositopeni dan hemokonsentrasi.

b. Derajat II :

Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah kulit seperti peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.

c. Derajat III :

Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi kegagalan system sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan kulit yang lembab, dingin dan penderita gelisah.

d. Derajat IV :

Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba.

7. Pemeriksaan penunjang

a. Darah

1) Trombosit menurun.

2) HB meningkat lebih 20 %

3) HT meningkat lebih 20 %

4) Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3

5) Protein darah rendah

6) Ureum PH bisa meningkat

7) NA dan CL rendah

b. Serology : HI (hemaglutination inhibition test).

1) Rontgen thorax : Efusi pleura.

2) Uji test tourniket (+)

8. Penatalaksanaan

a. Tirah baring

b. Pemberian makanan lunak .

c. Pemberian cairan melalui infus.

Pemberian cairan intra vena (biasanya ringer lactat, nacl) ringer lactate merupakan cairan intra vena yang paling sering digunakan , mengandung Na + 130 mEq/liter , K+ 4 mEq/liter, korekter basa 28 mEq/liter , Cl 109 mEq/liter dan Ca = 3 mEq/liter.

d. Pemberian obat-obatan : antibiotic, antipiretik,

e. Anti konvulsi jika terjadi kejang

f. Monitor tanda-tanda vital ( T,S,N,RR).

g. Monitor adanya tanda-tanda renjatan

h. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut

i. Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.

9. Tumbuh kembang pada anak usia 6-12 tahun

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.

Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.
a. Motorik kasar

1) Loncat tali

2) Badminton

3) Memukul

4) Motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama dan kehalusan.

b. Motorik halus

1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan

2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
c. Kognitif

1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi

2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah

3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal

4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang
d. Bahasa

1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak

2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan kata depan

3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal

4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan
10. Dampak hospitalisasi

Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.

Penyebab anak stress meliputi ;

a. Psikososial

Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran

b. Fisiologis

Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri

c. Lingkungan asing

Kebiasaan sehari-hari berubah

d. Pemberian obat kimia

Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)

e. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya

f. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri

g. Selalu ingin tahu alasan tindakan

h. Berusaha independen dan produktif

Reaksi orang tua

a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan dampaknya terhadap masa depan anak

b. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya peraturan Rumah sakit.

B. ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan perawat untuk mendapatkan data yang dibutuhkan sebelum melakukan asuhan keperawatan . pengkajian pada pasien dengan “DHF” dapat dilakukan dengan teknik wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan fisik. Adapun tahapan-tahapannya meliputi :

a. Mengkaji data dasar, kebutuhan bio-psiko-sosial-spiritual pasien dari berbagai sumber (pasien, keluarga, rekam medik dan anggota tim kesehatan lainnya).

b. Mengidentifikasi sumber-sumber yang potensial dan tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasien.

c. Kaji riwayat keperawatan.

d. Kaji adanya peningkatan suhu tubuh ,tanda-tanda perdarahan, mual, muntah, tidak nafsu makan, nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda-tanda syok (denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran).

2. Diagnosa keperawatan .

Penyusunan diagnosa keperawatan dilakukan setelah data didapatkan, kemudian dikelompokkan dan difokuskan sesuai dengan masalah yang timbul sebagai contoh diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus DHF diantaranya :

a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam.

b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.

d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi

e. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.

f. Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

3. Intervensi

Perumusan rencana perawatan pada kasus DHF hendaknya mengacu pada masalah diagnosa keperawatan yang dibuat. Perlu diketahui bahwa tindakan yang bisa diberikan menurut tindakan yang bersifat mandiri dan kolaborasi. Untuk itu penulis akan memaparkan prinsip rencana tindakan keperawatan yang sesuai dengan diagnosa keperawatan :

a. Gangguan volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan , muntah dan demam.

Tujuan :

Gangguan volume cairan tubuh dapat teratasi

Kriteria hasil :

Volume cairan tubuh kembali normal

Intervensi :

1) Kaji KU dan kondisi pasien

2) Observasi tanda-tanda vital ( S,N,RR )

3) Observasi tanda-tanda dehidrasi

4) Observasi tetesan infus dan lokasi penusukan jarum infus

5) Balance cairan (input dan out put cairan)

6) Beri pasien dan anjurkan keluarga pasien untuk memberi minum banyak

7) Anjurkan keluarga pasien untuk mengganti pakaian pasien yang basah oleh keringat.

b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

Tujuan

Hipertermi dapat teratasi

Kriteria hasil

Suhu tubuh kembali normal

Intervensi

1) Observasi tanda-tanda vital terutama suhu tubuh

2) Berikan kompres dingin (air biasa) pada daerah dahi dan ketiak

3) Ganti pakaian yang telah basah oleh keringat

4) Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti terbuat dari katun.

5) Anjurkan keluarga untuk memberikan minum banyak kurang lebih 1500 – 2000 cc per hari

6) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi, obat penurun panas.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.

Tujuan

Gangguan pemenuhan nutrisi teratasi

Kriteria hasil

Intake nutrisi klien meningkat

Intervensi

1) Kaji intake nutrisi klien dan perubahan yang terjadi

2) Timbang berat badan klien tiap hari

3) Berikan klien makan dalam keadaan hangat dan dengan porsi sedikit tapi sering

4) Beri minum air hangat bila klien mengeluh mual

5) Lakukan pemeriksaan fisik Abdomen (auskultasi, perkusi, dan palpasi).

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi anti emetik.

7) Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet.

d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan

Pengetahuan keluarga tentang proses penyakit meningkat

Kriteria hasil

Klien mengerti tentang proses penyakit DHF

1) Kaji tingkat pendidikan klien.

2) Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit DHF

3) Jelaskan pada keluarga klien tentang proses penyakit DHF melalui Penkes.

4) beri kesempatan pada keluarga untuk bertanya yang belum dimengerti atau diketahuinya.

5) Libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien

e. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trobositopenia.

Tujuan

Perdarahan tidak terjadi

Kriteria hasil

Trombosit dalam batas normal

Intervensi

1) Kaji adanya perdarahan

2) Observasi tanda-tanda vital (S.N.RR)

3) Antisipasi terjadinya perlukaan / perdarahan.

4) Anjurkan keluarga klien untuk lebih banyak mengistirahatkan klien

5) Monitor hasil darah, Trombosit

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi ,pemberian cairan intra vena.

f. Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

Tujuan

Shock hipovolemik dapat teratasi

Kriteria hasil

Volume cairan tubuh kembali normal, kesadaran compos mentis.

Intervensi

1) Observasi tingkat kesadaran klien

2) Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR).

3) Observasi out put dan input cairan (balance cairan)

4) Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi

5) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi cairan.

4. Evaluasi.

Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan.

Evaluasi :

a. Suhu tubuh dalam batas normal.

b. Intake dan out put kembali normal / seimbang.

c. Pemenuhan nutrisi yang adekuat.

d. Perdarahan tidak terjadi / teratasi.

e. Pengetahuan keluarga bertambah.

f. Shock hopovolemik teratasi
APBI : 2004

http://askep-askeb.cz.cc/

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS

I. PENGERTIAN

Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000)

II. JENIS FRAKTUR
a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran.
b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang
c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,sedang sisi lainnya membengkak.
f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perlekatannnya.

III. ETIOLOGI
a. Trauma
b. Gerakan pintir mendadak
c. Kontraksi otot ekstem
d. Keadaan patologis : osteoporosis, neoplasma

V. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
b. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
c. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens ginjal
VII. PENATALAKSANAAN

a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
b. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
? Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
? Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
? Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
? Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah

VIII. KOMPLIKASI
a. Malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b. Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

IX. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer
- Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
- Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
- Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2. Pengkajian sekunder
a.Aktivitas/istirahat
? kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
? Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
? Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
? Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
? Tachikardi
? Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
? Cailary refil melambat
? Pucat pada bagian yang terkena
? Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
? Kesemutan
? Deformitas, krepitasi, pemendekan
? kelemahan
d. Kenyamanan
? nyeri tiba-tiba saat cidera
? spasme/ kram otot
e. Keamanan
? laserasi kulit
? perdarahan
? perubahan warna
? pembengkakan lokal

X. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
a. Kerusakan mobilitas fisik b.d cedera jaringan sekitasr fraktur, kerusakan rangka neuromuskuler
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperaawatan
Kriteria hasil:
? Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
? Mempertahankan posisi fungsinal
? Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
? Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah fraktur ketika bergerak
e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
g. Ubah psisi secara periodik
h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
b.Nyeri b.d spasme tot , pergeseran fragmen tulang
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
? Klien menyatajkan nyei berkurang
? Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
? Tekanan darahnormal
? Tidak ada eningkatan nadi dan RR
Intervensi:
a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan
d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
e. Jelaskanprosedu sebelum memulai
f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
h. Observasi tanda-tanda vital
i. Kolaborasi : pemberian analgetik

C. Kerusakan integritas jaringan b.d fraktur terbuka , bedah perbaikan
Tujuan: kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan
Kriteria hasil:
? Penyembuhan luka sesuai waktu
? Tidak ada laserasi, integritas kulit baik

Intervensi:
a. Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainae
b. Monitor suhu tubuh
c. Lakukan perawatan kulit, dengan sering pada patah tulang yang menonjol
d. Lakukan alihposisi dengan sering, pertahankan kesejajaran tubuh
e. Pertahankan sprei tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan
f. Masage kulit ssekitar akhir gips dengan alkohol
g. Gunakan tenaat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi
h. Kolaborasi emberian antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC
2. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
3. Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC
4. Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC

http://askep-askeb.cz.cc/

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STRIKTUR URETRA

A. Pendahuluan
Berdasarkan Etiologinya Striktur dibagi dalam 3 jenis, Yaitu stirktur konginetal,
striktur traumatik dan stritur akibat infeksi. Striktur Uretra Kongenital Sering
terjadi di Fosa nafikularis dan Pars membranasea, sifat striktur ini adalah
stationer. Striktur Uretra Traumatik Trauma pada daerah kemaluan dapat
menyebabkan ruptura uretra. Timbul Striktur traumatik dalam waktu satu bulan.
Striktur akibat trauma lebih progresif dari pada striktur akibat infeksi. Pada
ruptura uretra ditemukan hematuri gross. Striktur akibat Infeksi Jenis ini biasanya
disebabkan oleh infeksi Veneral. Timbulnya lebih lambat dari pada triktur
traumatik.
Gambaran Klinik : Pancaran kecil, lemah dan sering disertai mengejan, biasanya
karena ada retensio urin serta timbul gejala-gejala sistitis. Gejala ini timbul
perlahan-lahan selama beberapa bulan atau bertahun-tahun , apa bila satu hari
pancaran normal kemudian hari berikutnya pancaran kecil dan lemah jangan
dipikirkan striktur uretra tetapi ke arah batu buli-buli yang turun ke uretra.
Diagnosis : Dengan anamnesis yang baik, diagnosa striktura uretra dapat
ditegakkan. Apalagi bila ada riwayat infeksi veneral atau “Straddle Injury”.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan Uretrosistograf.
Ke dalam lumen uretra dimasukkan zat kontras, kemudian difoto sehingga dapat
dilihat seluruh saluran uretra dan buli-buli.
Dari foto tersebut dapat ditentukan :
1. Lokasi striktur : terletak proksimal atau distal dari sphincter , sebab ini
penting untuk tindakan operasi
2. Besar kecilnya striktur
3. Panjang striktur
4. Jenis strikturnya.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian :
a. Inspeksi :
a) Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya

b) Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan
purulent ( nanah )
c) Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
d) Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya pada
penis, scrotom, labia dan orifisium Vagina.
e) Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak
nyamanan pada saat akan mixi.
b. Pengkajian Psikososial :
a) Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu : menarik
diri, cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.
b) Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran diri, takut
dan kemampuan seks menurun dan takut akan kematian. Pengkajian
Diagnostik
c) Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin yaitu sel,
eritrosit, leukosit, bakteria, kristal, dan protein.
d) Urine kultur
2. Diagnosa Perawatan yang sering timbul:
a. Nyeri sehubungan dengan penyempitan pada uretra
b. Potensial infeksi sehubungan dengan luka trauma pada uretra
c. Potensial infeksi sehubungan dengan faktor resiko obstruksi
d. Cemas sehubungan dengan ketidaknyamanan pada proses miksi dan
fungsi seksual menurun.
e. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi ntuk
mencegah terjadi sakit yang berulang.
3. Pentalaksanaan
Intervensi
a. Tingkatkan kemampuan pada : Hygiene perorangan, eliminasi, dan
pergerakkan.

b. Jelaskan tentang pentingnya kebersihan kelamin (pada wanita catat bila
terjadi kelainan pada vagina).
c. Hindari penggunaan bedak pada kelamin.
d. Jelaskan tehnik penanmpungan urine bila terjadi gangguan ( perdarahan )
e. Bila perlu disarankan untuk sirkumsisi.
Rasional :
Untuk mencegah terjadinya infeksi dan injuri.
Intervensi
Ganti alat tenun secara periodik.
Rasional
Meningkatkan relaksasi keyamanan pada saat bedrest.
Intervensi
Observasi tanda-tanda vital.
Rasional
Syok neurogenik terjadi akibat nyeri berlebihan, tanda-tanda vital merupakan
deteksi dini dari tanda-tanda syok.
Intervensi
Bantu aktifitas jika diperlukan (turun dari tempat tidur, pergerakkan, dan lain-
lain)
Rasional
Mencegah terjadinya cedera
Intervensi
Mengatasi kecemasan
Rasional
Dengan mengurangi rasa cemas dapat membantu proses penyembuhan.
Intervensi

Kolaborasi : Berikan obat-obatan : analgetik, untuk mengatasi nyeri
Rasional
Obat-obat narkotik, analgetik : Oxybutimin cloride (diazepam) dan
propantelin bromid (pro-banthin)

Daftar Pustaka
Purnawan Junadi, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 2. Media Aeskulapius, FKUI
1982. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990.
Sylvia Anderson Price, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih
Bahasa Adji Dharma, Edisi II.
Marllyn E. Doengoes, Nursing Care Plan, Fa. Davis Company, Philadelpia, 1987.

http://askep-askeb.cz.cc/

Monday, January 25, 2010

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GAGAL NAPAS

s

PENGERTIAN

Gagal nafas adalah kegagalan system pernafasan untuk mempertahankan pertukaran O2 dan CO2 dalam tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (Heri Rokhaeni, dkk, 2001)

Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran O2 terhadap CO2 dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi O2 dan pembentukan CO2 dalam sel-sel tubuh sehingga menyebabkan PO2 <>2 > 45 mmHg (hiperkapnia) (Smeltzer, C Susane, 2001)

ETIOLOGI

Kerusakan atau depresi pada system saraf pengontrol pernafasan

o Luka di kepala

o Perdarahan / trombus di serebral

o Obat yang menekan pernafasan

o Gangguan muskular yang disebabkan

o Tetanus

o Obat-obatan

o Kelainan neurologis primer

Penyakit pada saraf seperti medula spinalis, otot-otot pernafasan atau pertemuan neuromuskular yang terjadi pada pernafasa sehingga mempengaruhi ventilasi.

o Efusi pleura, hemathorak, pneumothorak

Kondisi ini dapat mengganggu dalam ekspansi paru

o Trauma

Kecelakakan yang mengakibatkan cedera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan hidung, mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas dan depresi pernafasan

o Penyakit akut paru

Pneumonia yang disebabkan bakteri dan virus, asma bronchiale, atelektasis, embolisme paru dan edema paru

TANDA DAN GEJALA

Tanda

a. Gagal nafas total

o Aliran udara di mulut, hidung tidak terdengar / dirasakan

o Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta tidak ada pengemabngan dada pada inspirasi

b. Gagal nafas partial

o Terdengar suara nafas tambahan gargling, snoring, growing dan wheezing

o Ada retraksi dada

Gejala

o Hiperkapnia yaitu peningkatan kadar CO2 dalam tubuh lebih dari 45 mmHg

o Hipoksemia terjadi takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis atau PO2 menurun

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. BGA

Hipopksemia

o Ringan : PaO2 <>

o Sedang : PaO2 <>

o Berat : paO2 <>

b. Pemeriksaan rontgen dada

Untuk melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui

c. Hemodinamik: tipe I terjadi peningkatan PCWP

d. EKG

o Memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan

o Disritmia

PENGKAJIAN

a. Airway

o Terdapat secret di jalan nafas (sumbatan jalan nafas)

o Bunyi nafas krekels, ronchi, dan wheezing

b. Breathing

o Distress pernafasan: pernafasan cuping hidung, takhipnea / bradipnea

o Menggunakan otot asesoris pernafasan

o Kesulitan bernafas: lapar udara, diaforesis, dan sianoasis

o Pernafasan memakai alat Bantu nafas

c. Circulation

o Penurunan curah jantung, gelisah, letargi, takikardi

o Sakit kepala

o Gangguan tingkat kesadaran: gelisah, mengantuk, gangguan mental (ansietas, cemas)

PENATALAKSANAAN MEDIS

  1. Terapi oksigen: pemberian oksigen rendah nasal atau masker
  2. Ventilator mekanik dengan memberikan tekanan positif kontinu
  3. Inhalasi nebulizer
  4. Fisioterapi dada
  5. Pemantauan hemodinamik / jantung
  6. Pengobatan: bronkodilator, steroid
  7. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas dan kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lendir

Tujuan: jalan nafas efektif

Kriteria hasil:

o Bunyi nafas bersih

o Secret berkurang atau hilang

Intervensi:

a. Catat karakteristik bunyi nafas

b. Catat karakteristik batuk, produksi dan sputum

c. Monitor status hidrasi untuk mencegah sekresi kental

d. Berikan humidifikasi pada jalan nafas

e. Pertahankan posisi tubuh / kepala dan gunakan ventilator sesuai kebutuhan

f. Observasi perubahan pola nafas dan upaya bernafas

g. Berikan lavase cairan garam faaal sesuai indiaksi untuk membuang skresi yang lengket

h. Berikan O2 sesuai kebutuhan tubuh

i. Berikan fisioterapi dada

j. Berikan bronkodilator

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan dalam interstitial / area alveolar, hipoventilasi alveolar, kehilangan surfaktan

Tujuan; pertukaran gas adekuat

Criteria hasil:

o Perbaikan oksigenasi adekuat: akral hangat, peningkatan kesadaran

o BGA dalam batas normal

o Bebas distres pernafasan

Intervensi:

o Kaji status pernafasan

o Kaji penyebab adanya penurunan PaO2 atau yang menimbulkan ketidaknyaman dalam pernafasan

o Catat adanya sianosis

o Observasi kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia

o Berikan oksigen sesuai kebutuhan

o Berikan bantuan nafas dengan ventilator mekanik

o Kaji seri foto dada

o Awasi BGA / saturasi oksigen (SaO2)

c. Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik

Tujuan: klien bebas dari cidera selama ventilasi mekanik

Intervensi:

o Monitor ventilator terhadap peningkatan tajam pada ukuran tekanan

o Observasi tanda dan gejala barotrauma

o Posisikan selang ventilator untuk mencegah penarikan selang endotrakeal

o Kaji panjang selang ET dan catat panjang tiap shift

o Berikan antasida dan beta bloker lambung sesuai indikasi

o Berikan sedasi bila perlu

o Monitor terhadap distensi abdomen

d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan selang ET dengan kondisi lemah

Tujuan: klien tidak mengalami infeksi nosokomial

Intervensi:

o Evaluasi warna, jumlah, konsistensi sputum tiap penghisapan

o Tampung specimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi

o Pertahanakan teknik steril bila melakukan penghisapan

o Ganti sirkuit ventilator tiap 72 jam

o Lakukan pembersihan oral tiap shift

o Monitor tanda vital terhadap infeksi

o Alirkan air hangat dalam selang ventilator dengan cara eksternal keluar dari jalan nafas dan reservoir humidifier

o Pakai sarung tangan steril tiap melakukan tindakan / cuci tangan prinsip steril

o Pantau keadaan umum

o Pantau hasil pemeriksaan laborat untuk kultur dan sensitivitas

o Pantau pemberian antibiotik

e. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi tubuh tidak mampu makan peroral

Tujuan: klien dapat mempertahankan pemenuhan nutrisi tubuh

Intervensi:

o Kaji status gizi klien

o Kaji bising usus

o Hitung kebutuhan gizi tubuh atau kolaborasi tim gizi

o Pertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi perenteral sesuai indikasi

o Periksa laborat darah rutin dan protein

DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

2. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M, Jakarta: EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993

3. Hudak, Carolyn M, Gallo, Barbara M., Critical Care Nursing: A Holistik Approach (Keperawatan kritis: pendekatan holistik). Alih bahasa: Allenidekania, Betty Susanto, Teresa, Yasmin Asih. Edisi VI, Vol: 2. Jakarta: EGC;1997

4. Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)

5. Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001(Buku asli diterbitkan tahun 1999)

6. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong, Buku-ajar Ilmu Bedah. Ed: revisi. Jakarta: EGC, 1998

7. Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001

http://askep-askeb.cz.cc/

Sunday, January 24, 2010

ASKEP NEONATUS dengan RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (RDS)

ASKEP NEONATUS dengan RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (RDS)
Latar Belakang
Penyakit saluran pernapasan adalah salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang paling sering pada anak terutama pada bayi, dikarenakan :
Saluran pernafasan yang masih sempit
Daya tahan tubuh yang masih rendah
Latar Belakang
Gangguan pernafasan pada bayi dan anak dapat disebabkan :
Kelainan organik
Trauma
Alergi
Infeksi
dan lain-lain
Latar Belakang
Gangguan pernapasan dapat terjadi sejak bayi baru lahir (BBL), yang paling sering ditemukan :
Respiratory Distress Syndrome (RDS), atau
Idiopatic Respiratory Distress Syndrome (IRDS) yang terdapat pada bayi premature.
Definisi
RDS adalah perkembangan yang immature pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.
RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disease.
(Suryadi dan Yuliani, 2001)
Definisi
RDS adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnea (>60 x/menit), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. (Stark, 1986)
Definisi
Sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN) atau respiratory distress syndrome (RDS), merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea.

Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan.
Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur.
Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini.
Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah :
Pneumothoraks/pneumomediastinum
Penyakit membran hialin (PMH)
Pneumonia
Aspirasi

Fisiologi
Penilaian keadaan pernafasan dapat dilakukan dengan mengamati gerakan dada dan atau perut.
Neonatus normal biasanya mempunyai pola pernafasan abdominal.
Bila anak sudah dapat berjalan pernafasannya menjadi thorakoabdominal.
Pola pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih panjang daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan bekerja aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja secara pasif.

Patofisiologi
Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang disebut surfaktan.
Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II.
Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max pada minggu ke 35.
Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%).
Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi dan kehamilan kembar.
Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi.
Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. i
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
Oksigenasi jaringan menurun  metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat asam organic  asidosis metabolic.
Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris  transudasi kedalam alveoli  terbentuk fibrin  fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantung, penurunan aliran darah ke paru, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan terjadinya atelektasis.
Manifestasi Klinis
Takipnea (>60 x/menit)
Retraksi dada
Sianosis pada udara kamar
X-ray thorak spesifik
yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan.

Manifestasi Klinis
Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA. (Stark, 1986)
Syndrom ini berhubungan dengan kerusakan awal paru-paru yang terjadi di membran kapiler alveolar.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan akibat masuknya cairan ke dalam ruang interstitial yang dipengaruhi oleh aktifitas surfaktan, akibatnya terjadi tanda-tanda atelektasis.
Cairan juga masuk dalam alveoli dan mengakibatkan oedema paru.
Plasma dan sel darah merah keluar dari kapiler-kapiler yang rusak, oleh karena itu mungkin perdarahan merupakan manifestasi patologi yang umum.

Diagnosa Keperawatan
Gangguan pola nafas b.d belum terbentuknya zat surfaktan dalam tubuh.
Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.
Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d seringnya BAB dan BAK.
Resiko tinggi gangguan termoregulasi : hipotermi b.d belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit.
Kecemasan orangtua b.d kurang pengetahuan orangtua tentang kondisi bayi.
Rencana Keperawatan
Gangguan pola nafas b.d belum terbentuknya zat surfaktan dalam tubuh.
Ditandai dengan :
RR 78 x/menit
Retraksi dinding dada (+)
Retraksi dinding efigastrium (+)
Bayi tampak lemah
Rencana Keperawatan
Dx.1

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan pola nafas dapat teratasi. Kriteria Evaluasi :
RR 60 x/menit
Sesak (-)
Sianosis (-)
Retraksi dinding dada (-)
Reaksi diafragma (-)
Rencana Keperawatan
Dx.1

Intervensi dan Rasional :
Observasi pola nafas
R : Mengetahui frekuensi nafas
Observasi TTV
R : Mengetahui keadaan umum bayi
Monitor SPO2
R : Mengetahui kadar O2 dalam darah
Atur posisi semi ekstensi
R : Memudahkan paru-paru mengembang saat ekspansi
Rencana Keperawatan
Dx.1

Intervensi dan Rasional :
Tempatkan bayi pada tempat yang hangat
R : Mempertahankan suhu tubuh
Atur suhu dalam inkubator
R : Membantu memenuhi suplai O2
Berikan terapy O2 sesuai dengan kebutuhan
R : Membantu kemudahan dalam bernafas
Kolaborasi pemberian terapy obat Bronchodilator
R : Obat Bronchodilator berfungsi untuk membuka broncus guna memudahkan dalam pertukaran udara
Rencana Keperawatan
Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.
Ditandai dengan :
Reflek hisap lemah
Retensi lambung 0,5 cc
Bising usus 4x/menit
Bayi tampak lemah
Rencana Keperawatan
Dx.2

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.

Kriteria Evaluasi :
Reflek hisap (+)
Retensi lambung (-)
Bising usus 8x/menit
Rencana Keperawatan
Dx.2

Intervensi dan Rasional :
Pertahankan pemberian cairan melalui IVFD, Glukosa 10%
R : Mempertahankan kebutuhan cairan dalam tubuh
Kaji kesiapan bayi untuk minum
R : Mengetahui reflek hirup
Retensi cairan lambung
R : Mengetahui cairan lambung dan konsistensinya
Rencana Keperawatan
Dx.2

Intervensi dan Rasional :
Berikan minum sesuai jadwal
R : Memberikan cairan tambahan melalui oral
Timbang BB
R : Mengetahui status nutrisi
Rencana Keperawatan
Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d seringnya BAB dan BAK.
Ditandai dengan :
Turgor kulit jelek
Pada mukosa bibir terdapat keputihan
Bayi sering BAK
Bayi terpasang infus
Rencana Keperawatan
Dx.3

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan kebutuhan cairan tidak terjadi.

Kriteria Evaluasi :
Turgor kulit baik/elastis
Mukosa bibir tak tampak keputihan
Frekuansi BAK normal
Rencana Keperawatan
Dx.3

Intervensi dan Rasional :
Kaji turgor kulit
R : Mengetahui tanda dehidrasi
Pertahankan pemberian cairan IVFD
R : Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh
Beri minum sesuai jadwal
R : Mencegah terjadinya kekurangan cairan
Pantau frekuensi BAB + BAK
R : Mengetahui output tubuh
Rencana Keperawatan
Resiko tinggi gangguan termoregulasi : hipotermi b.d belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit.
Ditandai dengan :
Suhu bayi 36,5 °C
Bayi didalam inkubator dengan suhu 32 °C
Bayi tidak menggunakan baju
Rencana Keperawatan
Dx.4

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan suhu tubuh tetap normal.

Kriteria Evaluasi :
Suhu 37 °C
Bayi tidak kedinginan
Rencana Keperawatan
Dx.4

Intervensi dan Rasional :
Tempatkan bayi pada tempat yang hangat
R : Mencegah terjadinya hipotermi
Atur suhu inkubator
R : Menjaga kestabilan suhu tubuh
Pantau suhu tubuh setiap 2 jam
R : Memonitor perkembangan suhu tubuh bayi
Rencana Keperawatan
Kecemasan orangtua b.d kurang pengetahuan orangtua tentang kondisi bayi.
Ditandai dengan :
Ibu klien mengatakan kapan anaknya bisa pulang
Ibu tampak cemas
Ibu menangis
Rencana Keperawatan
Dx.5

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan cemas keluarga (orangtua) bayi berkurang.

Kriteria Evaluasi :
Ibu tidak menangis
Mimik/verbal tidak cemas
Rencana Keperawatan
Dx.5

Intervensi dan Rasional :
Kaji tingkat kecemasan
R : Mengetahui koping individu
Berikan penjelasan tentang keadaan klien saat ini
R : Meningkatkan pengetahuan orang tua
Berikan kesempatan kepada keluarga untuk mengungkapkan perasaan
R : Membina hubungan saling percaya
Anjurkan keluarga untuk tetap mengunjungi bayinya

Sumber : Materi Kuliah Keperawatan Anak
STIKes Muhammadiyah Banjarmasin 2009
Dosen :Kamilah F Mustika, S.Kep.Ners

http://askep-askeb.cz.cc/

Saturday, January 23, 2010

Ranah Penelitian Keperawatan Gerontik

ABSTRACT
The population aged over 60 years in Indonesia is expanding rapidly. So there are increasing demands on nursing services that this will bring, but little is known about the research for health needs of this elderly population. In the other hands, the development and utilization of nursing knowledge is essential for continued improvement in the geriatric care. This paper aims to elicit views from a wide range of service user representatives regarding their priorities for research and development in relation to the organization and delivery of the geriatric nursing services. This paper identifies areas of commonality and misalignment in relation to the geriatric nursing. Six broad priority areas for building research evidence are identified and issues relating to achieving these priorities are outlined, i.e.: (1) approaches to care, evaluation and effectiveness of individual, group interventions or new approaches to care; (2) outcomes of specific clinical interventions; (3) organizational factors that affect service delivery and workforce; (4) social factors that affect health; (5) quality of life and psychosocial health interventions; and (6) health promotion.
Keywords: Geriatric, Nursing Research Themes, Evidence-Based Practice


PENDAHULUAN
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama laini. Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduranii­, iii, iv. ­
Transisi demografi pada kelompok lansia terkait dengan status kesehatan lansia yang lebih terjamin, sehingga usia harapan hidup lansia lebih tinggi dibanding masa-masa sebelumnyav. Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990 – 2025, tergolong tercepat di duniavi. Pada tahun 2002, jumlah lansia di Indonesia berjumlah 16 juta dan diproyeksikan akan bertambah menjadi 25,5 juta pada tahun 2020 atau sebesar 11,37 % penduduk dan ini merupakan peringkat keempat dunia, dibawah Cina, India dan Amerika Serikatvii. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS tahun 1998 masing-masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun. Angka di atas berbeda dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke-103 dunia viii.
Data statistik tersebut mengisyaratkan pentingnya pengembangan keperawatan gerontik di Indonesia. Walaupun secara historis, jauh sebelum keperawatan gerontik berkembang menjadi sebuah spesialisasi pada dasarnya keperawatan memiliki peran yang besar terhadap pemberian pelayanan keperawatan bagi lansia. Fokus asuhan keperawatan pada lansia ditujukan pada dua kelompok lansia, yaitu (1) lansia yang sehat dan produktif, dan (2) lansia yang memiliki kerentanan tubuh dengan ditandai kondisi fisik yang mulai melemah, sakit-sakitan, dan daya pikir menurunix. Pemberian asuhan keperawatan bagi kedua kelompok tersebut bertujuan untuk memenuhi harapan-harapan yang diinginkan oleh lansia yaitu memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan produktif dalam tiga dimensi, yaitu fisik, fungsional, dan kognitif. Berbagai penelitian melaporkan bahwa peningkatan kualitas ketiga dimensi tersebut dapat meningkatkan harapan hidup lansia yang lebih sehat5, x, xi, xii, xiii, xiv.

PENELITIAN DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN
Pengembangan dan pemanfaatan ilmu keperawatan merupakan bagian yang esensial dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan termasuk pula keperawatan gerontik. Peningkatan kualitas tersebut hendaknya sejalan dengan penerapan praktik keperawatan yang didasarkan pada fakta (evidence-based practice for nursing). Menurut Loiselle et. al (2004), praktik keperawatan berdasarkan fakta merupakan upaya pemanfaatan hasil penelitian (fakta empiris) klinik keperawatan yang terbaik guna menentukan sebuah keputusan dalam intervensi keperawatanxv. Praktik keperawatan berdasarkan fakta memberikan kerangka kerja dan proses penggabungan hasil penelitian dan preferensi klien yang sistematis dalam pengambilan keputusan klinik, baik di tingkat individu maupun organisasi pelayanan kesehatanxvi. Fakta empiris tersebut bersumber dari temuan penelitian-penelitian keperawatan yang relevan. Fakta terbaiklah yang akan digunakan sebagai pedoman dalam menentukan pendekatan terhadap klien, keputusan klinik, dan tindakan keperawatan. Sedangkan fakta terbaik adalah rangkaian tindakan yang paling efisien, efektif, dan aman bagi klien. Bila perawat telah memiliki budaya kerja yang ilmiah, dimana ia selalu mencari pembenaran tindakan yang dilakukannya melalui pemanfaatan hasil-hasil penelitian maka diharapkan akan didapatkan hasil perawatan yang lebih baik. Karena dalam praktik keperawatan tidak ada ruang sedikit pun yang diperkenankan bagi tindakan trial and error.
Menerapkan hasil penelitian dalam pelayanan kesehatan merupakan upaya signifikan dalam memperbaiki pelayanan kesehatan yang berorientasi pada efektifitas biaya (cost effectiveness). Meningkatkan penelitian keperawatan dan menerapkan hasilnya dalam praktek keperawatan merupakan kebutuhan mendesak untuk membangun praktek keperawatan yang efektif. Menurut studi terhadap berbagai laporan penelitian keperawatan (meta-analysis) yang dilakukan oleh Heater, Beckker, dan Olson (1988), menyatakan bahwa pasien yang mendapatkan intervensi keperawatan yang bersumber dari penelitian memiliki out come yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan intervensi standar xvii.
Terdapat banyak model proses penerapan hasil penelitian dalam lingkup pelayanan keperawatan yang telah disusun oleh para ahli, misalnya model Rosswurm dan Larrabeexviii, model Iowaxix, model Children’s Hospital of Philadelphiaxx, model Auroraxxi, model Stetlerxxii, model Diffusion of Innovationxxiii, model Research Nurse Intern Programxxiv, atau model Process of Research Utilizationxxv. Berikut adalah salah satu model penerapan hasil penelitian keperawatan yang paling banyak digunakanxxvi.

Gambar 1. Model Penerapan Hasil Penelitian

Adaptasi dari Rosswurm MA & Larrabee JH. Image J Nurs Sch 1999;31:317–22.

PRIORITAS PENELITIAN BIDANG KEPERAWATAN GERONTIK
Keperawatan gerontik secara holistik menggabungkan aspek pengetahuan dan ketrampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan kondisi kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual lansia (Lihat Gambar 2). Hal ini diupayakan untuk memfasilitasi lansia ke arah perkembangan kesehatan yang lebih optimum, dengan pendekatan pada pemulihan kesehatan, memaksimalkan kualitas hidup lansia baik dalam kondisi sehat, sakit maupun kelemahan serta memberikan rasa aman, nyaman, terutama dalam menghadapi kematian.
Gambar 2. Sistem Informasi Keperawatan Gerontik

Sumber : Eliopoulos C., (1997)
Penelitian keperawatan gerontik diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan teknik maupun mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas. Namun dalam menyusun prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara kebutuhan untuk menambah ilmu dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas, efektifitas, efisiensi, dan kepatutan pelayanan.
Dalam mengembangkan penelitian tersebut, kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspek-aspek kritis yang ada dalam keperawatan gerontik. Tulisan ini mencoba untuk merangkaikan usulan prioritas penelitian di bidang keperawatan gerontik. Ada enam aspek utama yang perlu dikaji mengingat sampai saat ini penelitian-penelitian keperawatan terutama di dalam negeri masih sedikit, dan apabila ada penelitian tersebut jarang dipublikasikan xxvii.

Tabel 1. Area Penelitian Keperawatan Gerontik

NO. AREA PRIORITAS SUB AREA PRIORITAS
1.
Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu maupun kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan
Ventilasi dan sirkulasi
Nutrisi
Ekskresi
Aktifitas dan istirahat
Stimulasi mental
Tidur
Masalah kardiovaskuler
Masalah penyakit vaskulerisasi perifer
Masalah respiratori
Masalah gastrointestinal
Masalah diabetes
Masalah muskuloskeletal
Masalah genitourinary
Masalah neurology
Masalah menurunnya fungsi sensorik
Masalah dermatology
Masalah kesehatan mental
Tindakan operatif & dampaknya
Paliative care
Manajemen nyeri
Rehabilitasi
Perawatan diri dan higienitas
Pengawasan menelan obat
2.
Parameter & hasil (outcome) intervensi klinis yang spesifik
Diagnosis keperawatan yang spesifik
Pengembangan alat ukur geriatrik (contoh Iowa Index of Geriatric Assessment Tools dapat diakses di http://www.uiowa.edu)
3.
Faktor-faktor organisasi yang berdampak pada sistem pelayanan dan kinerja
Peran kolaborasi
Model perawatan di rumah (home care)
Model perawatan di rumah sakit (hospital care)
Model perawatan di panti jompo (institutional care)
Model perawatan jangka panjang (long-term care)
Nursing agency
Team work
NO.
AREA PRIORITAS
SUB AREA PRIORITAS
4.
Faktor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia
Aspek legal : kebijakan & regulasi
Kelenturan kesehatan yang berbasis budaya & kepercayaan
Sosial ekonomi
Konsep-konsep gerontologi (aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek etika dan moral, aspek nutrisi, aspek psikologis, aspek fisiologis, & aspek sosial)
5.
Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psikososial
Penilaian status fungsional
Psikologis
Senile dementia
Olah raga
Rekreasi
Upaya preventif terhadap risiko kecelakaan
Interaksi sosial
Spiritual
Manajemen Stress
Sakaratul maut
Support keluarga
Aktifitas dan disfungsi seksual
6.
Promosi kesehatan
Pesan
Teknologi

PENUTUP
Mengingat proyeksi penduduk lansia pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 11,37 % penduduk Indonesia, maka keperawatan gerontik memiliki potensi kerja yang cukup besar di masa mendatang. Perawat perlu membudayakan kegiatan penelitian dan pemanfaatan hasil-hasilnya dalam praktik klinik keperawatan untuk mempersiapkan pelayanan yang prima. Praktik yang bersifat evidence-based harus dibuat sebagai bagian integral dari kebijakan organisatoris pelayanan kesehatan pada semua tingkatan agar langkah-langkah tersebut dapat diaplikasikan untuk meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan tersebutxxviii. Budaya ilmiah juga dapat dimanfaatkan sebagai strategi akuntabilitas publik, justifikasi tindakan keperawatan, dan bahan pengambilan keputusan. Kesadaran menejer keperawatan terhadap nilai penelitian yang potensial akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi organisasi, misalnya kinerja keperawatan yang meningkat dan out come klien yang optimal19.

REFERENSI :
Kuntjoro ZS. (2002a). Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. http://www.e-psikologi.com/usia/ 160402.htm. Diakses : 16 April 2002.
ii Setiabudhi T & Hardywinoto. (1999). Panduan Gerontologi Tinjauan Dari Berbagai Aspek, Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
iii Eliopoulos C. (1997). Gerontological Nursing. Philadelphia: Lippincott-Raven Pub.
iv Hogan DB. Effects of Age and Disease on Disability in the Very Elderly. Clinical Geriatrics Online, http://www.mmhc.com/cg/1093.shtml (diakses: 17 November 2003).
v Brayne, C., FE Matthews, MA McGee, & C Jagger. (2001). Health and Ill-health in the Older Population in England and Wales. Age and Ageing, 30: 53-62.
vi Kompas, 25 Maret 2002.
vii Chen AJ & Jones G. (1989). Ageing in Asean: Its Socio-Economic Consequences. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
viii Kuntjoro Z.S. (2002b). Gangguan Psikologis dan Perilaku pada Demensia. http://www.e-psikologi.com/usia/170602b.htm. Diakses: 17 Juni 2002.
ix Chappel, Neena L, Laurel AS, & Blanford AA. (1986). Aging and Health Care: a Social Perspective. Toronto: Holt, Rinehart and Winston of Canada.
x Carver, DJ, CA Chapman, VS Thomas, KJ Stadnyk, & K Rockwood. (1999). Validity and Reliability of the Medical Outcomes Study Short Form-20 Questionnaire as a Measure of Quality of Life in Elderly People Living at Home. Age and Ageing, 28: 167-74.
xi Malone, M., A. Hill, & G Smith. (2002). Three-month Follow Up of Patients Discharged from a Geriatric Day Hospital. Age and Ageing, 31: 471-5.
xii Laukkanen, P., P Karppi, E Heikkinen, & M Kauppinen. (2001). Coping with Activities of Daily Living in Different Care Settings. Age and Ageing, 30: 489-94.
xiii Hillerås, PK, AF Jorm, A Herlitz, & B Winblad. (1999). Activity Patterns in Very Old People: a Survey of Cognitively Intact Subjects Aged 90 Years or Older. Age and Ageing, 28: 147-52.
xiv Sauvaget, C, C Jagger, & AJ Arthur. (2001). Active and Cognitive Impairment-free Life Expectancies: Results from the Melton Mowbray 75+ Health Checks. Age and Ageing, 30: 509-15.
xv Loiselle, CG., JP McGrath, DF Polit, & CT Beck. (2004). Canadian Essentials of Nursing Research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
xvi Newman, M., I Papadopoulos, & R Melifonwu. (2000). Developing organisational systems and culture to support evidence­based practice: the experience of the Evidence­Based Ward Project. Evidence-Based Nursing, Vol. 3 October: 103-5.
xvii Heater BS, Becker AM, & Olson RK. (1988). Nursing interventions and patient outcomes: A meta-analysis of studies. Nursing Research, 37(5): 303-7.
xviii Rosswurm, MA. & Larrabee JH. (1999). A model for change to evidence-based practice. Image J Nurs Sch, 31:317–22.
xix Titler MG, Kleiber C, Rakel B, Budreau G, Everett LQ, Steelman V, Buckwalter KC, Tripp-Reimer T, & Goode C. (2001). The Iowa Model of Evidence-Based Practice to Promote Quality Care. Critical Care Nursing Clinics of North America, 13(4): 497-509.
xx Barnsteiner JH, Ford N, & Howe C. (1995). Research utilization in a metropolitan children’s hospital. Nurs Clin North Am, 30: 447–55.
xxi Van Mullem C, Burke LJ, Dohmeyer K, et al. (1999). Strategic planning for research use in nursing practice. J Nurs Adm, 29: 38–45.
xxii Stetler CB. (1994). Refinement of the Stetler/Marram model for application of research findings to practice. Nursing Outlook; 42:15–25.
xxiii Pearcey P, & Draper P. (1996). Using the diffusion of innovation model to influence practice: a case study. J Adv Nurs, 23: 714-21.
xxiv Warren JJ, Heermann JA. (1998). The Research Nurse Intern program. A model for research dissemination and utilization. J Nurs Adm. 28: 39–45.
xxv Hunt JM. (1996). Barriers to research utilization. J Adv Nurs. 23: 423–5.
xxvi Mohide, EA, & B. King. (2003). Building a Foundation for Evidence-based Practice: Experiences in a Tertiary Hospital. Evidence Based Nursing Vol. 6 October: 100–3.
xxvii Ross F, Mackenzie A, & Smith E. (2003). Identifying Research Priorities for Nursing and Midwifery Service Delivery and Organisation : A study undertaken for the Nursing and Midwifery Subgroup of the National Co-ordinating Centre for NHS Service Delivery and Organisation R & D (NCCSDO). London: NCCSDO.
xxviii McGuire, J. M. (1990). Putting nursing research findings into practice: Research utilization as an aspect of the management of change. Journal of Advanced Nursing, 15(2): 614-20.
Kuntjoro ZS. (2002a). Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. http://www.e-psikologi.com/usia/ 160402.htm. Diakses : 16 April 2002.
ii Setiabudhi T & Hardywinoto. (1999). Panduan Gerontologi Tinjauan Dari Berbagai Aspek, Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
iii Eliopoulos C. (1997). Gerontological Nursing. Philadelphia: Lippincott-Raven Pub.
iv Hogan DB. Effects of Age and Disease on Disability in the Very Elderly. Clinical Geriatrics Online, http://www.mmhc.com/cg/1093.shtml (diakses: 17 November 2003).
v Brayne, C., FE Matthews, MA McGee, & C Jagger. (2001). Health and Ill-health in the Older Population in England and Wales. Age and Ageing, 30: 53-62.
vi Kompas, 25 Maret 2002.
vii Chen AJ & Jones G. (1989). Ageing in Asean: Its Socio-Economic Consequences. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
viii Kuntjoro Z.S. (2002b). Gangguan Psikologis dan Perilaku pada Demensia. http://www.e-psikologi.com/usia/170602b.htm. Diakses: 17 Juni 2002.
ix Chappel, Neena L, Laurel AS, & Blanford AA. (1986). Aging and Health Care: a Social Perspective. Toronto: Holt, Rinehart and Winston of Canada.
x Carver, DJ, CA Chapman, VS Thomas, KJ Stadnyk, & K Rockwood. (1999). Validity and Reliability of the Medical Outcomes Study Short Form-20 Questionnaire as a Measure of Quality of Life in Elderly People Living at Home. Age and Ageing, 28: 167-74.
xi Malone, M., A. Hill, & G Smith. (2002). Three-month Follow Up of Patients Discharged from a Geriatric Day Hospital. Age and Ageing, 31: 471-5.
xii Laukkanen, P., P Karppi, E Heikkinen, & M Kauppinen. (2001). Coping with Activities of Daily Living in Different Care Settings. Age and Ageing, 30: 489-94.
xiii Hillerås, PK, AF Jorm, A Herlitz, & B Winblad. (1999). Activity Patterns in Very Old People: a Survey of Cognitively Intact Subjects Aged 90 Years or Older. Age and Ageing, 28: 147-52.
xiv Sauvaget, C, C Jagger, & AJ Arthur. (2001). Active and Cognitive Impairment-free Life Expectancies: Results from the Melton Mowbray 75+ Health Checks. Age and Ageing, 30: 509-15.
xv Loiselle, CG., JP McGrath, DF Polit, & CT Beck. (2004). Canadian Essentials of Nursing Research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
xvi Newman, M., I Papadopoulos, & R Melifonwu. (2000). Developing organisational systems and culture to support evidence­based practice: the experience of the Evidence­Based Ward Project. Evidence-Based Nursing, Vol. 3 October: 103-5.
xvii Heater BS, Becker AM, & Olson RK. (1988). Nursing interventions and patient outcomes: A meta-analysis of studies. Nursing Research, 37(5): 303-7.
xviii Rosswurm, MA. & Larrabee JH. (1999). A model for change to evidence-based practice. Image J Nurs Sch, 31:317–22.
xix Titler MG, Kleiber C, Rakel B, Budreau G, Everett LQ, Steelman V, Buckwalter KC, Tripp-Reimer T, & Goode C. (2001). The Iowa Model of Evidence-Based Practice to Promote Quality Care. Critical Care Nursing Clinics of North America, 13(4): 497-509.
xx Barnsteiner JH, Ford N, & Howe C. (1995). Research utilization in a metropolitan children’s hospital. Nurs Clin North Am, 30: 447–55.
xxi Van Mullem C, Burke LJ, Dohmeyer K, et al. (1999). Strategic planning for research use in nursing practice. J Nurs Adm, 29: 38–45.
xxii Stetler CB. (1994). Refinement of the Stetler/Marram model for application of research findings to practice. Nursing Outlook; 42:15–25.
xxiii Pearcey P, & Draper P. (1996). Using the diffusion of innovation model to influence practice: a case study. J Adv Nurs, 23: 714-21.
xxiv Warren JJ, Heermann JA. (1998). The Research Nurse Intern program. A model for research dissemination and utilization. J Nurs Adm. 28: 39–45.
xxv Hunt JM. (1996). Barriers to research utilization. J Adv Nurs. 23: 423–5.
xxvi Mohide, EA, & B. King. (2003). Building a Foundation for Evidence-based Practice: Experiences in a Tertiary Hospital. Evidence Based Nursing Vol. 6 October: 100–3.
xxvii Ross F, Mackenzie A, & Smith E. (2003). Identifying Research Priorities for Nursing and Midwifery Service Delivery and Organisation : A study undertaken for the Nursing and Midwifery Subgroup of the National Co-ordinating Centre for NHS Service Delivery and Organisation R & D (NCCSDO). London: NCCSDO.
xxviii McGuire, J. M. (1990). Putting nursing research findings into practice: Research utilization as an aspect of the management of change. Journal of Advanced Nursing, 15(2): 614-20.


"

Monday, January 4, 2010

SECTIO CAESARIA dan Asuhan Keperawatan

SECTIO CAESARIA dan Asuhan Keperawatan:

Pengertian sectio caesaria
Ada beberapa pengertian mengenai sectio caesaria :
Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut. (Rustam Mochtar, 1992).
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 1991).
Sesuai pengertian di atas maka penulis mengambil kesimpulan, sectio caesaria adalah suatu pembedahan guna melahirkan janin lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus persalinan buatan, sehingga janin dilahirkan melalui perut dan dinding perut dan dinding rahim agar anak lahir dengan keadaan utuh dan sehat.
Ibu
Indikasi sectio caesaria
disproporsi kepala panggul/CPD//FPD
Disfungsi uterus
Distosia jaringan lunak
Plasenta previa

Anak
Janin besar
Gawat janin
Letak lingtang


Kontra indikasi sectio caesaria : pada umumnya sectio caesarian tidak dilakukan pada janin mati, syok, anemi berat, sebelum diatasi, kelainan kongenital berat (monster).
(Sarwono, 1991)
Sektio caesaria abdominalis
Tipe operasi sektio caesaria
1. Sektio caesaria klasik atau korporal dengan insisi memanjang pada korpus uteri.
Sektio caesaria ismika atau profunda atau low cervical dengan insisi pada segmen bawah rahim
2. Sectio caesaria transperitonialis yang terdiri dari :
3. Sektio caesaria ekstraperitonealis, yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.

Sektio Caesaria vaginalis
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan sebagai berikut :
Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig
Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr
Sayatan huruf T (T-incision)
(Mochtar, Rustam, 1992)

Prognosis
Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa sekarang oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi, penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun.
Angka kematian ibu pada rumah-rumah sakit dengan fasilitas operasi yang baik dan oleh tenaga – tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000.
Nasib janin yang ditolong secara sectio caesaria sangat tergantung dari keadaan janin sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari negara – negara dengan pengawasan antenatal yang baik dari fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4 – 7 % (Mochtar Rustam, 1992).

Komplikasi
1. Pada Ibu
Infeksi puerperal
Perdarahan
Komplikasi lain seperti luka kandung kencing, embolisme paru, dan sebagainya jarang terjadi.
1. Pada anak
Seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan sectio caesaria banyak tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesaria. Menurut statistik di negara – negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4 dan 7 %. (Sarwono, 1999).
Pemeriksaan diagnostik
1.Pemantauan janin terhadap kesehatan janin
Pemantauan EKG
JDL dengan diferensial
Elektrolit
Hemoglobin/Hematokrit
Golongan dan pencocokan silang darah
Urinalisis
Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi
Pemeriksaan sinar x sesuai indikasi.
Ultrasound sesuai pesanan
(Tucker, Susan Martin, 1998)
Periksa tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, ukur jumlah urin yang tertampung dikantong urin, periksa/kultur jumlah perdarahan selama operasi.
Buat laporan operasi dan cantumkan hasil pemeriksaan diatas pada lembar laporan. Catat lama operasi, jenis kelamin, nilai APGAR dan kondisi bayi saat lahir, lembar operasi ditandatangani oleh operator.
Buat instruksi perawatan yang meliputi :
Perawatan pasca operasi
Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi nadi dan nafas.
Jadwal pengukuran jumlah produksi urin
Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya penyimpangan pada No. 1 dan 2.


Penatalaksanaan medis
Cairan IV sesuai indikasi.
Anestesia; regional atau general
Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria.
Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.
Pemberian oksitosin sesuai indikasi.
Tanda vital per protokol ruangan pemulihan
Persiapan kulit pembedahan abdomen
Persetujuan ditandatangani.
Pemasangan kateter foley
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Pelaksanaan asuhan keperawatan masa nifas pada post operasi sectio caesaria melalui pendekatan proses keperawatan dengan melaksanakan :

Pengkajian
Pada pengkajian klien dengan sectio caesaria, data yang dapat ditemukan meliputi distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan, malposisi janin, prolaps tali pust, abrupsio plasenta dan plasenta previa. (Tucker, Susan Martin, 1998)

Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan post operasi sectio caesaria ada 6 (Tucker, Susan Martin, 1998) yaitu ;
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang prosedur dan perawatan sebelum melahirkan sesar.
Nyeri yang berhubungan dengan kondisi pasca operasi.
Kerusakan perfusi jaringan kardiopulmoner dan perifer yang berhubungan dengan interupsi aliran sekunder terhadap imobilitas pasca operasi.
Resiko terhadap perubahan pola eliminasi perkemihan dan/atau konstipasi yang berhubungan dengan manipulasi dan/atau trauma sekunder terhadap sectio caesaria.
Resiko terhadap infeksi atau cedera yang berhubungan dengan prosedur pembedahan.
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang perawatan melahirkan caesar.

Perencanaan
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang prosedur dan perawatan sebelum melahirkan sesar.
Tujuan : - Pasien akan mengungkapkan rasional untuk melahirkan sesar dan bekerjasama dalam persiapan prabedah.

Intervensi :
Diskusikan dengan ibu dan orang terdekat alasan untuk seksio saesaria.
Jelaskan prosedur praoperasi “normal” dan resiko variasi untuk situasi saat ini.
Saksi penandatanganan persetujuan tindakan dan dapatkan tanda vital dasar.
Ambil darah untuj JDL, elektrolit, golongan darah dan skrin.
Dapatkan urine untuk urinalisis.
Nyeri yang berhubungan dengan kondisi pasca operasi.
Tujuan : Nyeri diminimalkan/dikontrol dan pasien mengungkapkan bahwa ia nyaman.
Intervensi :
Antisipasi kebutuhan terhadap obat nyeri dan atau metode tambahan penghilang nyeri.
Perhatikan dokumentasikan, dan identifikasi keluhan nyeri pada sisi insisi; abdomen, wajah meringis terhadap nyeri, penurunan mobilitas, perilaku distraksi/penghilang.
Berikan obat nyeri sesuai pesanan dan evaluasi efektivitasnya.
Berikan tindakan kenyamanan lain yang dapat membantu, seperti perubahan posisi atau menyokong dengan bantal.
Kerusakan perfusi jaringan kardiopulmoner dan perifer yang berhubungan dengan interupsi aliran sekunder terhadap imobilitas pasca operasi.
Tujuan : - Pasien tidak mengalami kongesti pernafasan
- Menunjukkan tak ada tanda atau gejala emboli pulmonal atau trombosis vena dalam selama perawatan di rumah sakit.
Intervensi :
1.
Kaji status pernafasan dengan tanda vital.
Dokumentasikan dan laporkan peningkatan frekuensi pernafasan, batuk non produktif, ronki terdengar, rales, atau kongesti jalan napas atas.
Anjurkan pasien untuk batuk, membalik, dan napas dalam setiap 2 jam selama hari pascaoperasi pertama.
Demostrasikan pembebatan untuk menyokong insisi.
Anjurkan penggunaan spirometer insentif.
Resiko terhadap perubahan pola eliminasi perkemihan dan/atau konstipasi yang berhubungan dengan manipulasi dan/atau trauma sekunder terhadap sectio caesaria.
Tujuan : - Berkemih secara spontan tanpa ketidaknyamanan
• Mengalami defeksi dalam 3 sampai 4 hari setelah pembedahan.
Intervensi :
1.
Anjurkan berkemih setiap 4 jam sampai 6 jam bila mungkin.
Berikan tekhnik untuk mendorong berkemih sesuai kebutuhan.
Jelaskan prosedur perawatan perineal per kebijakan rumah sakit.
Palpasi abdomen bawah bila pasien melaporkan distensi kandung kemih dan ketidakmampuan untuk berkemih.
Anjurkan ibu untuk ambulasi sesuai toleransi.
Resiko terhadap infeksi atau cedera yang berhubungan dengan prosedur pembedahan.
Tujuan : - Insisi bedah dan kering, tanpa tanda atau gejala infeksi.
• Involusi uterus berlanjut secara normal
Intervensi :
1.
1.
Pantau terhadap peningkatan suhu atau takikardia sebagai tanda infeksi.
Observasi insisi terhadap infeksi.
Penggantian pembalut atau sesuai pesanan
Kaji fundus, lochia, dan kandung kemih dengan tanda vital sesuai pesanan.
Massage fundus uteri bila menggembung dan tidak tetap keras
Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang perawatan melahirkan caesar.
Tujuan : - Klien mengungkapkan pemahaman tentang perawatan melahirkan sesar.
Intervensi :
Diskusikan tentang perawatan insisi, gejala infeksi dan pentingnya diet nutrisi.
Jelaskan tentang pentingnya periode istirahat terencana.
Jelaskan bahwa lochia dapat berlanjut selama 3 – 4 minggu, berubah dari merah ke coklat sampai putih.
Jelaskan pentingnya latihan, tidak mulai latiha keras sampai diizinkan oleh dokter.
Jelaskan tentang perawatan payudara dan ekspresi manual bila menyusui.
1.
1.
1.
Pelaksanaan
Selama tahap implementasi perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil.
Komponen tahap implementasi terdiri dari :
Tindakan keperawatan mandiri
Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa pesanan dokter. Tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktek American Nurses Association; undang – undang praktik keperawatan negara bagian; dan kebijakan institusi perawatan kesehatan.
Tindakan keperawatan kolaboratif
Tindakan keperawatan kolaboratif diimplementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah klien.
Dokumentasi tindakan keperawatan dan respons klien terhadap asuhan keperawatan.
Frekuensi dokumentasi terhantung pada kondisi klien dan terapi yang diberikan. Di rumah sakit, catatan perawat ditulis minimal setiap shift dan diagnosa keperawatan dicatat di rencana asuhan keperawatan. Setiap klien harus dikaji dan dikaji ulang sesuai dengan kebijakan institusi perawatan kesehatan (Allen, Carol Vestal, 1998)

Evaluasi
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil – hasil yang diamati dengan kriteria hsil yang dibuat pada tahap perencanaan. Klien keluar dari siklus proses keperawatan apabila kriteria hasil telah dicapai. Klien akan masuk kembali ke dalam siklus apabila kriteria hasil belum tercapai.
Komponen tahap evaluasi terdiri dari pencapaian kriteria hasil, keefektifan tahap – tahap proses keperawatan dan revisi atau terminasi rencana asuhan keperawatan. (Allen, Carol Vestal, 1998)
Pada evaluasi klien dengan post operasi sectio caesaria, kriteria evaluasi adalah sebagai berikut :
1.
Pasien akan mengungkapkan rasional untuk melahirkan sesar dan bekerjasama dalam persiapan prabedah
Nyeri diminimalkan/dikontrol dan pasien mengungkapkan bahwa ia nyaman
Pasien tidak mengalami kongesti pernafasan dan menunjukkan tak ada tanda atau gejala emboli pulmonal atau trombosis vena dalam selama perawatan di rumah sakit.
Berkemih secara spontan tanpa ketidaknyamanan dan mengalami defeksi dalam 3 sampai 4 hari setelah pembedahan
Insisi bedah dan kering, tanpa tanda atau gejala infeksi, involusi uterus berlanjut secara normal
Klien mengungkapkan pemahaman tentang perawatan melahirkan sesar


Sumber:
1. Allen, Carol Vestal, (1998) Memahami Proses Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
2. Hamilton, Persis Mary,(1995) Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas, Edisi 6, EGC. Jakarta.
3. Ibrahim S. Cristina,(1993) Perawatan Kebidanan, Bratara Jakarta.
4. Manuaba, Ida Bagus Gde, (1998), Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana, EGC. Jakarta.
5. Martius, Gerhard, (1997), Bedah Kebidanan Martius, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
6. ______________, (1999), Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
7. Muchtar, Rustam,(1998), Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 1, EGC. Jakarta.
8. Sarwono Prawiroharjo,(1999)., Ilmu Kebidanan, Edisi 2 Cetakan II Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
1. _____________, (1991), Ilmu Bedah Kebidanan, Edisi 1 Cet. 2, Yayasn Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
2. Tucker, Susan Martin, (1998), Standar Perawatan Pasien, Edisi 5, Volume 4, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.





"

Blog Archive