Showing posts with label Sistem Immunologi. Show all posts
Showing posts with label Sistem Immunologi. Show all posts

Monday, February 22, 2010

Tanda-tanda Sistem Imun Tubuh Buruk

Tiap orang memiliki sistem imun atau kekebalan tubuh yang berbeda-beda. Semuanya tergantung dari genetik, pola hidup maupun lingkungan. Lalu bagaimana dengan Anda? Kenali tanda-tanda jika sistem imun sudah tubuh terganggu. Sistem imun membantu melindungi tubuh dari zat-zat asing yang bisa membahakan tubuh seperti racun, sel-sel kanker, darah atau jaringan yang tidak seharusnya berada dalam tubuh.

Ketika sistem kekebalan seseorang sudah terganggu, berbagai jenis penyakit pun gampang menyerang. Berikut ini adalah tanda-tanda terganggunya atau kurangnya sistem imun tubuh seseorang, seperti Dikutip dari Health.

Infeksi yang tak kunjung sembuh
Normalnya bila seseorang terluka, secara alami tubuh akan menutup luka itu sendiri, namun bagi mereka yang sistem kekebalannya terganggu, menyembuhkan luka membutuhkan waktu yang lebih lama.

Munculnya daging jadi, tumor atau sel kanker
Tubuh yang lemah adalah sasaran empuk zat-zat radikal bebas yang bisa memicu tumbuhnya daging jadi, tumor bahkan kanker. Karena kurangnya zat imun yang bisa melawan radikal bebas itu, tubuh membiarkan zat asing masuk dan berkembang di dalamnya.

Infeksi saluran pernafasan seperti pneumonia dan bronkitis
Saluran pernafasan sangat rawan terserang bakteri, virus dan zat asing lainnya karena berhubungan langsung dengan lingkungan. Oleh karena itu, mereka yang yang rendah daya tahan tubuhnya gampang terserang penyakit seperti bronkitis atau pneumonia.

Penyembuhan penyakit yang lambat
Proses penyembuhan penyakit merupakan proses bekerjanya sistem imun, Namun jika seseorang tak kunjung sembuh jua meski telah diberi berbagai macam obat, mungkin ada yang salah dengan sistem imunnya, contohnya penyakit diabetes.

Ketika tanda-tanda kurangnya sistem imun ditemukan pada diri Anda, segera lakukan sesuatu untuk mengatasinya. Konsumsi makanan bergizi, terutama yang kaya antioksidan, minuman probiotik untuk menjaga saluran pencernaan dan olahraga teratur untuk memperkuat daya tahan tubuh. (sumber: detik.com)

Tuesday, January 26, 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DHF

1. Pengertian

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman , 1990).

DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypty (Seoparman, 1996).

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam.
2. Etiologi

a. Virus dengue sejenis arbovirus.

b. Virus dengue tergolong dalam family Flavividae dan dikenal ada 4 serotif, Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70 oC.

Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling banyak.
3. Patofisiologi

Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.

Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.

Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah , menurunnya volume plasma , terjadinya hipotensi , trombositopenia dan diathesis hemorrhagic , renjatan terjadi secara akut.

Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.
4. Tanda dan gejala

a. Demam tinggi selama 5 – 7 hari

b. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.

c. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.

d. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.

e. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.

f. Sakit kepala.

g. Pembengkakan sekitar mata.

h. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.

i. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah).

5. Komplikasi

Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah diantaranya :

a. Perdarahan luas.

b. Shock atau renjatan.

c. Effuse pleura

d. Penurunan kesadaran.

6. Klasifikasi

a. Derajat I :

Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi, trombositopeni dan hemokonsentrasi.

b. Derajat II :

Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah kulit seperti peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.

c. Derajat III :

Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi kegagalan system sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan kulit yang lembab, dingin dan penderita gelisah.

d. Derajat IV :

Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba.

7. Pemeriksaan penunjang

a. Darah

1) Trombosit menurun.

2) HB meningkat lebih 20 %

3) HT meningkat lebih 20 %

4) Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3

5) Protein darah rendah

6) Ureum PH bisa meningkat

7) NA dan CL rendah

b. Serology : HI (hemaglutination inhibition test).

1) Rontgen thorax : Efusi pleura.

2) Uji test tourniket (+)

8. Penatalaksanaan

a. Tirah baring

b. Pemberian makanan lunak .

c. Pemberian cairan melalui infus.

Pemberian cairan intra vena (biasanya ringer lactat, nacl) ringer lactate merupakan cairan intra vena yang paling sering digunakan , mengandung Na + 130 mEq/liter , K+ 4 mEq/liter, korekter basa 28 mEq/liter , Cl 109 mEq/liter dan Ca = 3 mEq/liter.

d. Pemberian obat-obatan : antibiotic, antipiretik,

e. Anti konvulsi jika terjadi kejang

f. Monitor tanda-tanda vital ( T,S,N,RR).

g. Monitor adanya tanda-tanda renjatan

h. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut

i. Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.

9. Tumbuh kembang pada anak usia 6-12 tahun

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.

Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.
a. Motorik kasar

1) Loncat tali

2) Badminton

3) Memukul

4) Motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama dan kehalusan.

b. Motorik halus

1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan

2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
c. Kognitif

1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi

2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah

3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal

4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang
d. Bahasa

1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak

2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan kata depan

3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal

4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan
10. Dampak hospitalisasi

Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.

Penyebab anak stress meliputi ;

a. Psikososial

Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran

b. Fisiologis

Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri

c. Lingkungan asing

Kebiasaan sehari-hari berubah

d. Pemberian obat kimia

Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)

e. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya

f. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri

g. Selalu ingin tahu alasan tindakan

h. Berusaha independen dan produktif

Reaksi orang tua

a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan dampaknya terhadap masa depan anak

b. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya peraturan Rumah sakit.

B. ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan perawat untuk mendapatkan data yang dibutuhkan sebelum melakukan asuhan keperawatan . pengkajian pada pasien dengan “DHF” dapat dilakukan dengan teknik wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan fisik. Adapun tahapan-tahapannya meliputi :

a. Mengkaji data dasar, kebutuhan bio-psiko-sosial-spiritual pasien dari berbagai sumber (pasien, keluarga, rekam medik dan anggota tim kesehatan lainnya).

b. Mengidentifikasi sumber-sumber yang potensial dan tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasien.

c. Kaji riwayat keperawatan.

d. Kaji adanya peningkatan suhu tubuh ,tanda-tanda perdarahan, mual, muntah, tidak nafsu makan, nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda-tanda syok (denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran).

2. Diagnosa keperawatan .

Penyusunan diagnosa keperawatan dilakukan setelah data didapatkan, kemudian dikelompokkan dan difokuskan sesuai dengan masalah yang timbul sebagai contoh diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus DHF diantaranya :

a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam.

b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.

d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi

e. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.

f. Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

3. Intervensi

Perumusan rencana perawatan pada kasus DHF hendaknya mengacu pada masalah diagnosa keperawatan yang dibuat. Perlu diketahui bahwa tindakan yang bisa diberikan menurut tindakan yang bersifat mandiri dan kolaborasi. Untuk itu penulis akan memaparkan prinsip rencana tindakan keperawatan yang sesuai dengan diagnosa keperawatan :

a. Gangguan volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan , muntah dan demam.

Tujuan :

Gangguan volume cairan tubuh dapat teratasi

Kriteria hasil :

Volume cairan tubuh kembali normal

Intervensi :

1) Kaji KU dan kondisi pasien

2) Observasi tanda-tanda vital ( S,N,RR )

3) Observasi tanda-tanda dehidrasi

4) Observasi tetesan infus dan lokasi penusukan jarum infus

5) Balance cairan (input dan out put cairan)

6) Beri pasien dan anjurkan keluarga pasien untuk memberi minum banyak

7) Anjurkan keluarga pasien untuk mengganti pakaian pasien yang basah oleh keringat.

b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

Tujuan

Hipertermi dapat teratasi

Kriteria hasil

Suhu tubuh kembali normal

Intervensi

1) Observasi tanda-tanda vital terutama suhu tubuh

2) Berikan kompres dingin (air biasa) pada daerah dahi dan ketiak

3) Ganti pakaian yang telah basah oleh keringat

4) Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti terbuat dari katun.

5) Anjurkan keluarga untuk memberikan minum banyak kurang lebih 1500 – 2000 cc per hari

6) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi, obat penurun panas.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.

Tujuan

Gangguan pemenuhan nutrisi teratasi

Kriteria hasil

Intake nutrisi klien meningkat

Intervensi

1) Kaji intake nutrisi klien dan perubahan yang terjadi

2) Timbang berat badan klien tiap hari

3) Berikan klien makan dalam keadaan hangat dan dengan porsi sedikit tapi sering

4) Beri minum air hangat bila klien mengeluh mual

5) Lakukan pemeriksaan fisik Abdomen (auskultasi, perkusi, dan palpasi).

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi anti emetik.

7) Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet.

d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan

Pengetahuan keluarga tentang proses penyakit meningkat

Kriteria hasil

Klien mengerti tentang proses penyakit DHF

1) Kaji tingkat pendidikan klien.

2) Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit DHF

3) Jelaskan pada keluarga klien tentang proses penyakit DHF melalui Penkes.

4) beri kesempatan pada keluarga untuk bertanya yang belum dimengerti atau diketahuinya.

5) Libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien

e. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trobositopenia.

Tujuan

Perdarahan tidak terjadi

Kriteria hasil

Trombosit dalam batas normal

Intervensi

1) Kaji adanya perdarahan

2) Observasi tanda-tanda vital (S.N.RR)

3) Antisipasi terjadinya perlukaan / perdarahan.

4) Anjurkan keluarga klien untuk lebih banyak mengistirahatkan klien

5) Monitor hasil darah, Trombosit

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi ,pemberian cairan intra vena.

f. Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

Tujuan

Shock hipovolemik dapat teratasi

Kriteria hasil

Volume cairan tubuh kembali normal, kesadaran compos mentis.

Intervensi

1) Observasi tingkat kesadaran klien

2) Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR).

3) Observasi out put dan input cairan (balance cairan)

4) Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi

5) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi cairan.

4. Evaluasi.

Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan.

Evaluasi :

a. Suhu tubuh dalam batas normal.

b. Intake dan out put kembali normal / seimbang.

c. Pemenuhan nutrisi yang adekuat.

d. Perdarahan tidak terjadi / teratasi.

e. Pengetahuan keluarga bertambah.

f. Shock hopovolemik teratasi
APBI : 2004

http://askep-askeb.cz.cc/

Friday, January 22, 2010

Mekanisme leukosit dalam menangani virus penyebab penyakit


Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal dan lain-lain.

Pada bayi baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000 - 30.000/µl. Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara 13.000 - 38.000 /µl. Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan pada umur 21 tahun jumlah leukosit berkisar antara 4500 - 11.000/µl. Pada keadaan basal jumlah leukosit pada orang dewasa berkisar antara 5000 - 10.0004/µ1. Jumlah leukosit meningkat setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang, tetapijarang lebih dari 11.000/µl.Bila jumlah leukosit lebih dari nilai rujukan, maka keadaan tersebut disebut leukositosis.

Leukositosis dapat terjadi secara fisiologik maupun patologik. Leukositosis yang fisiologik dijumpai pada kerja fisik yang berat, gangguan emosi, kejang, takhikardi paroksismal, partus dan haid. Leukositosis yang terjadi sebagai akibat peningkatan yang seimbang dari masing-masing jenis sel, disebut balanced leokocytosis. Keadaan ini jarang terjadi dan dapat dijumpai pada hemokonsentrasi. Yang lebih sering dijumpai adalah leukositosis yang disebabkan peningkatan dari salah satu jenis leukosit sehingga timbul istilah neutrophilic leukocytosis atau netrofilia, lymphocytic leukocytosis atau limfositosis, eosinofilia dan basofilia. Leukositosis yang patologik selalu diikuti oleh peningkatan absolut dari salah satu atau lebih jenis leukosit.Leukopenia adalah keadaan dimana jumlah leukosit kurang dari 5000/0 darah. Karena pada hitung jenis leukosit, netrofil adalah sel yang paling tinggi persentasinya hampir selalu leukopenia disebabkan oleh netropenia.

kata kunci: Penyebab Leukositosis

Monday, January 4, 2010

KANKER SERVIKS

KANKER SERVIKS:

A. PENGERTIAN
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal di sekitarnya (FKUI, 1990; FKKP, 1997).

B. ETIOLOGI
Penyebab kanker serviks belum jelas diketahui namun ada beberapa faktor resiko dan predisposisi yang menonjol, antara lain :
1. Umur pertama kali melakukan hubungan seksual
Penelitian menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual semakin besar mendapat kanker serviks. Kawin pada usia 20 tahun dianggap masih terlalu muda
2. Jumlah kehamilan dan partus
Kanker serviks terbanyak dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus semakin besar kemungkinan resiko mendapat karsinoma serviks.

3. Jumlah perkawinan
Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti pasangan mempunyai faktor resiko yang besar terhadap kankers serviks ini.
4. Infeksi virus
Infeksi virus herpes simpleks (HSV-2) dan virus papiloma atau virus kondiloma akuminata diduga sebagai factor penyebab kanker serviks
5. Sosial Ekonomi
Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah mungkin faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas dan kebersihan perseorangan. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya kuantitas dan kualitas makanan kurang hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.
6. Hygiene dan sirkumsisi
Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kankers serviks pada wanita yang pasangannya belum disirkumsisi. Hal ini karena pada pria non sirkum hygiene penis tidak terawat sehingga banyak kumpulan-kumpulan smegma.
7. Merokok dan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker, sedangkan pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap serviks yaitu bermula dari adanya erosi diserviks yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang terus menerus, hal ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks.

C. Klasifikasi pertumbuhan sel akan kankers serviks


Mikroskopis
1. Displasia
Displasia ringan terjadi pada sepertiga bagaian basal epidermis. Displasia berat terjadi pada dua pertiga epidermihampir tidak dapat dibedakan dengan karsinoma insitu.
2. Stadium karsinoma insitu
Pada karsinoma insitu perubahan sel epitel terjadi pada seluruh lapisan epidermis menjadi karsinoma sel skuamosa. Karsinoma insitu yang tumbuh didaerah ektoserviks, peralihan sel skuamosa kolumnar dan sel cadangan endoserviks.
3. Stadium karsinoma mikroinvasif.
Pada karksinoma mikroinvasif, disamping perubahan derajat pertumbuhan sel meningkat juga sel tumor menembus membrana basalis dan invasi pada stoma sejauh tidak lebih 5 mm dari membrana basalis, biasanya tumor ini asimtomatik dan hanya ditemukan pada skrining kanker.
4. Stadium karsinoma invasif
Pada karsinoma invasif perubahan derajat pertumbuhan sel menonjol besar dan bentuk sel bervariasi. Petumbuhan invasif muncul diarea bibir posterior atau anterior serviks dan meluas ketiga jurusan yaitu jurusan forniks posterior atau anterior, jurusan parametrium dan korpus uteri.
5. Bentuk kelainan dalam pertumbuhan karsinoma serviks
Pertumbuhan eksofilik, berbentuk bunga kool, tumbuh kearah vagina dan dapat mengisi setengah dari vagina tanpa infiltrasi kedalam vagina, bentuk pertumbuhan ini mudah nekrosis dan perdarahan.
Pertumbuhan endofilik, biasanya lesi berbentuk ulkus dan tumbuh progesif meluas ke forniks, posterior dan anterior ke korpus uteri dan parametrium.
Pertumbuhan nodul, biasanya dijumpai pada endoserviks yang lambatlaun lesi berubah bentuk menjadi ulkus.


Markroskopis
1. Stadium preklinis
Tidak dapat dibedakan dengan servisitis kronik biasa
2. Stadium permulaan
Sering tampak sebagian lesi sekitar osteum externum
3. Stadium setengah lanjut
Telah mengenai sebagian besar atau seluruh bibir porsio
4. Stadium lanjut
Terjadi pengrusakan dari jaringan serviks, sehingga tampaknya seperti ulkus dengan jaringan yang rapuh dan mudah berdarah.


D. GEJALA KLINIS
1. Perdarahan
Sifatnya bisa intermenstruit atau perdarahan kontak, kadang-kadang perdarahan baru terjadi pada stadium selanjutnya. Pada jenis intraservikal perdarahan terjadi lambat.
2. Biasanya menyerupai air, kadang-kadang timbulnya sebeluma ada perdarahan. Pada stadium lebih lanjut perdarahan dan keputihan lebih banyak disertai infeksi sehingga cairan yang keluar berbau.



E. Pemeriksaan diagnostik
1. Sitologi/Pap Smear
Keuntungan, murah dapat memeriksa bagian-bagian yang tidak terlihat.
Kelemahan, tidak dapat menentukan dengan tepat lokalisasi.
2. Schillentest
Epitel karsinoma serviks tidak mengandung glycogen karena tidak mengikat yodium. Kalau porsio diberi yodium maka epitel karsinoma yang normal akan berwarna coklat tua, sedang yang terkena karsinoma tidak berwarna.
3. Koloskopi
Memeriksa dengan menggunakan alat untuk melihat serviks dengan lampu dan dibesarkan 10-40 kali.
Keuntungan ; dapat melihat jelas daerah yang bersangkutan sehingga mudah untuk melakukan biopsy.
Kelemahan ; hanya dapat memeiksa daerah yang terlihat saja yaitu porsio, sedang kelianan pada skuamosa columnar junction dan intra servikal tidak terlihat.
4. Kolpomikroskopi
Melihat hapusan vagina (Pap Smear) dengan pembesaran sampai 200 kali
5. Biopsi
Dengan biopsi dapat ditemukan atau ditentukan jenis karsinomanya.
6. Konisasi
Dengan cara mengangkat jaringan yang berisi selaput lendir serviks dan epitel gepeng dan kelenjarnya. Konisasi dilakukan bila hasil sitologi meragukan dan pada serviks tidak tampak kelainan-kelainan yang jelas.



F. KLASIFIKASI KLINIS
• Stage 0:Ca.Pre invasif
• Stage I: Ca. Terbatas pada serviks
• Stage Ia ; Disertai invasi dari stroma yang hanya diketahui secara histopatologis
• Stage Ib : Semua kasus lainnya dari stage I
• Stage II : Sudah menjalar keluar serviks tapi belum sampai kepanggul telah mengenai dinding vagina. Tapi tidak melebihi dua pertiga bagian proksimal
• Stage III : Sudah sampai dinding panggul dan sepertiga bagian bawah vagina
• Stage IIIB : Sudah mengenai organ-organ lain.


G. Terapi
1. Irradiasi
• Dapat dipakai untuk semua stadium
• Dapat dipakai untuk wanita gemuk tua dan pada medical risk
• Tidak menyebabkan kematian seperti operasi.
2. Dosis
Penyinaran ditujukan pada jaringan karsinoma yang terletak diserviks
3. Komplikasi irradiasi
• Kerentanan kandungan kencing
• Diarrhea
• Perdarahan rectal
• Fistula vesico atau rectovaginalis
4. Operasi
• Operasi Wentheim dan limfatektomi untuk stadium I dan II
• Operasi Schauta, histerektomi vagina yang radikal
5. Kombinasi
• Irradiasi dan pembedahan
Tidak dilakukan sebagai hal yang rutin, sebab radiasi menyebabkan bertambahnya vaskularisasi, odema. Sehingga tindakan operasi berikutnya dapat mengalami kesukaran dan sering menyebabkan fistula, disamping itu juga menambah penyebaran kesistem limfe dan peredaran darah.
6. Cytostatika : Bleomycin, terapi terhadap karsinoma serviks yang radio resisten. 5 % dari karsinoma serviks adalah resisten terhadap radioterapi, diangap resisten bila 8-10 minggu post terapi keadaan masih tetap sama.

"

KANKER SERVIKS

KANKER SERVIKS:

A. PENGERTIAN
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal di sekitarnya (FKUI, 1990; FKKP, 1997).

B. ETIOLOGI
Penyebab kanker serviks belum jelas diketahui namun ada beberapa faktor resiko dan predisposisi yang menonjol, antara lain :
1. Umur pertama kali melakukan hubungan seksual
Penelitian menunjukkan bahwa semakin muda wanita melakukan hubungan seksual semakin besar mendapat kanker serviks. Kawin pada usia 20 tahun dianggap masih terlalu muda
2. Jumlah kehamilan dan partus
Kanker serviks terbanyak dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus semakin besar kemungkinan resiko mendapat karsinoma serviks.

3. Jumlah perkawinan
Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti pasangan mempunyai faktor resiko yang besar terhadap kankers serviks ini.
4. Infeksi virus
Infeksi virus herpes simpleks (HSV-2) dan virus papiloma atau virus kondiloma akuminata diduga sebagai factor penyebab kanker serviks
5. Sosial Ekonomi
Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah mungkin faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas dan kebersihan perseorangan. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya kuantitas dan kualitas makanan kurang hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.
6. Hygiene dan sirkumsisi
Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kankers serviks pada wanita yang pasangannya belum disirkumsisi. Hal ini karena pada pria non sirkum hygiene penis tidak terawat sehingga banyak kumpulan-kumpulan smegma.
7. Merokok dan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker, sedangkan pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap serviks yaitu bermula dari adanya erosi diserviks yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang terus menerus, hal ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks.

C. Klasifikasi pertumbuhan sel akan kankers serviks


Mikroskopis
1. Displasia
Displasia ringan terjadi pada sepertiga bagaian basal epidermis. Displasia berat terjadi pada dua pertiga epidermihampir tidak dapat dibedakan dengan karsinoma insitu.
2. Stadium karsinoma insitu
Pada karsinoma insitu perubahan sel epitel terjadi pada seluruh lapisan epidermis menjadi karsinoma sel skuamosa. Karsinoma insitu yang tumbuh didaerah ektoserviks, peralihan sel skuamosa kolumnar dan sel cadangan endoserviks.
3. Stadium karsinoma mikroinvasif.
Pada karksinoma mikroinvasif, disamping perubahan derajat pertumbuhan sel meningkat juga sel tumor menembus membrana basalis dan invasi pada stoma sejauh tidak lebih 5 mm dari membrana basalis, biasanya tumor ini asimtomatik dan hanya ditemukan pada skrining kanker.
4. Stadium karsinoma invasif
Pada karsinoma invasif perubahan derajat pertumbuhan sel menonjol besar dan bentuk sel bervariasi. Petumbuhan invasif muncul diarea bibir posterior atau anterior serviks dan meluas ketiga jurusan yaitu jurusan forniks posterior atau anterior, jurusan parametrium dan korpus uteri.
5. Bentuk kelainan dalam pertumbuhan karsinoma serviks
Pertumbuhan eksofilik, berbentuk bunga kool, tumbuh kearah vagina dan dapat mengisi setengah dari vagina tanpa infiltrasi kedalam vagina, bentuk pertumbuhan ini mudah nekrosis dan perdarahan.
Pertumbuhan endofilik, biasanya lesi berbentuk ulkus dan tumbuh progesif meluas ke forniks, posterior dan anterior ke korpus uteri dan parametrium.
Pertumbuhan nodul, biasanya dijumpai pada endoserviks yang lambatlaun lesi berubah bentuk menjadi ulkus.


Markroskopis
1. Stadium preklinis
Tidak dapat dibedakan dengan servisitis kronik biasa
2. Stadium permulaan
Sering tampak sebagian lesi sekitar osteum externum
3. Stadium setengah lanjut
Telah mengenai sebagian besar atau seluruh bibir porsio
4. Stadium lanjut
Terjadi pengrusakan dari jaringan serviks, sehingga tampaknya seperti ulkus dengan jaringan yang rapuh dan mudah berdarah.


D. GEJALA KLINIS
1. Perdarahan
Sifatnya bisa intermenstruit atau perdarahan kontak, kadang-kadang perdarahan baru terjadi pada stadium selanjutnya. Pada jenis intraservikal perdarahan terjadi lambat.
2. Biasanya menyerupai air, kadang-kadang timbulnya sebeluma ada perdarahan. Pada stadium lebih lanjut perdarahan dan keputihan lebih banyak disertai infeksi sehingga cairan yang keluar berbau.



E. Pemeriksaan diagnostik
1. Sitologi/Pap Smear
Keuntungan, murah dapat memeriksa bagian-bagian yang tidak terlihat.
Kelemahan, tidak dapat menentukan dengan tepat lokalisasi.
2. Schillentest
Epitel karsinoma serviks tidak mengandung glycogen karena tidak mengikat yodium. Kalau porsio diberi yodium maka epitel karsinoma yang normal akan berwarna coklat tua, sedang yang terkena karsinoma tidak berwarna.
3. Koloskopi
Memeriksa dengan menggunakan alat untuk melihat serviks dengan lampu dan dibesarkan 10-40 kali.
Keuntungan ; dapat melihat jelas daerah yang bersangkutan sehingga mudah untuk melakukan biopsy.
Kelemahan ; hanya dapat memeiksa daerah yang terlihat saja yaitu porsio, sedang kelianan pada skuamosa columnar junction dan intra servikal tidak terlihat.
4. Kolpomikroskopi
Melihat hapusan vagina (Pap Smear) dengan pembesaran sampai 200 kali
5. Biopsi
Dengan biopsi dapat ditemukan atau ditentukan jenis karsinomanya.
6. Konisasi
Dengan cara mengangkat jaringan yang berisi selaput lendir serviks dan epitel gepeng dan kelenjarnya. Konisasi dilakukan bila hasil sitologi meragukan dan pada serviks tidak tampak kelainan-kelainan yang jelas.



F. KLASIFIKASI KLINIS
• Stage 0:Ca.Pre invasif
• Stage I: Ca. Terbatas pada serviks
• Stage Ia ; Disertai invasi dari stroma yang hanya diketahui secara histopatologis
• Stage Ib : Semua kasus lainnya dari stage I
• Stage II : Sudah menjalar keluar serviks tapi belum sampai kepanggul telah mengenai dinding vagina. Tapi tidak melebihi dua pertiga bagian proksimal
• Stage III : Sudah sampai dinding panggul dan sepertiga bagian bawah vagina
• Stage IIIB : Sudah mengenai organ-organ lain.


G. Terapi
1. Irradiasi
• Dapat dipakai untuk semua stadium
• Dapat dipakai untuk wanita gemuk tua dan pada medical risk
• Tidak menyebabkan kematian seperti operasi.
2. Dosis
Penyinaran ditujukan pada jaringan karsinoma yang terletak diserviks
3. Komplikasi irradiasi
• Kerentanan kandungan kencing
• Diarrhea
• Perdarahan rectal
• Fistula vesico atau rectovaginalis
4. Operasi
• Operasi Wentheim dan limfatektomi untuk stadium I dan II
• Operasi Schauta, histerektomi vagina yang radikal
5. Kombinasi
• Irradiasi dan pembedahan
Tidak dilakukan sebagai hal yang rutin, sebab radiasi menyebabkan bertambahnya vaskularisasi, odema. Sehingga tindakan operasi berikutnya dapat mengalami kesukaran dan sering menyebabkan fistula, disamping itu juga menambah penyebaran kesistem limfe dan peredaran darah.
6. Cytostatika : Bleomycin, terapi terhadap karsinoma serviks yang radio resisten. 5 % dari karsinoma serviks adalah resisten terhadap radioterapi, diangap resisten bila 8-10 minggu post terapi keadaan masih tetap sama.

"

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LEUKEMIA

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LEUKEMIA
Leukemia adalah istilah umum yang digunakan untuk keganasan pada sumsum tulang dan sistem limpatik (Wong, 1995). Sedangkan menurut Robbins & Kummar (1995), leukemia adalah neoplasma ganas sel induk hematopoesis yang ditandai oelh penggantian secara merata sumsum tulang oleh sel neoplasi.
Klasifikasi
1. Leukemia Limfosit Akut (ALL)
2. Leukemia Limfosit Kronik (CLL)
3. Leukemia Mielosit (mieloblastik) Akut (AML)
4. Leukemia Mielosit Kronik (CML)
Pada klien anak, dua bentuk yang umum ditemukan adalah ALL dan AML
Patofisiologi
Leukemia merupakan proliferasi yang tidak terbatas dari sel darah putih yang immatur pada jaringan pembentuk darah. Walaupun bukan berwujud sebagai tumor sebagaimana biasanya, sel leukemia menunjukkan property suatu neoplasma dari kanker yang solid. Manifestasi klinik yang timbul merupakan akibat dari infiltrasi atau penggantian dari jaringan-jaringan tubuh oleh sel leukemia yang non-fungsional. Organ vaskuler atas seperti limpa dan hati merupakan organ yang sering diserang oleh sel ini.
Ada dua miskonsepsi yang harus diluruskan mengenai leukemia ini yaitu 1)Walaupun leukemia merupakan overproduksi dari sel darah putih, tetapi sering ditemukan pada leukemia akut bahwa jumlah leukosit rendah. Ini diakibatkan karena produksi yang dihasilkan adalah sel yang immatur. 2)Sel immatur tersebut tidak menyerang dan menghancurkan sel darah normal atau jaringan vaskuler. Destruksi celluler diakibatkan proses infiltrasi dan sebagai bagian dari konsekwensi kompetisi untuk mendapatkan element makanan metabolik.
Masalah Keperawatan :
[1] Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, Resiko infeksi
[2] Resiko infeksi, Infeksi aktual
[3] Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Resiko gangguan perfusi jaringan
[4] Gangguan rasa nyaman : Nyeri
[5] Gangguan mobilitas fisik, Resiko Injury
[6] Gangguan rasa nyaman : Nyeri
[7] Infeksi aktual, Resiko gangguan tumbuh kembang
[8] Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, Gangguan keseimbangan cairan & elektrolit
Manajemen terapeutik :
Chemotherapi dengan tiga fase yaitu 1)Induksi, 2)CNS profilaksis terapi, 3)Konsolidasi.
Masalah Keperawatan yang timbul karena kemoterapi :
1. Kerusakan membran mukosa
2. Gangguan integritas kulit
3. Cemas




http://askep-askeb-kita.blogspot.com/

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LEUKEMIA

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LEUKEMIA
Leukemia adalah istilah umum yang digunakan untuk keganasan pada sumsum tulang dan sistem limpatik (Wong, 1995). Sedangkan menurut Robbins & Kummar (1995), leukemia adalah neoplasma ganas sel induk hematopoesis yang ditandai oelh penggantian secara merata sumsum tulang oleh sel neoplasi.
Klasifikasi
1. Leukemia Limfosit Akut (ALL)
2. Leukemia Limfosit Kronik (CLL)
3. Leukemia Mielosit (mieloblastik) Akut (AML)
4. Leukemia Mielosit Kronik (CML)
Pada klien anak, dua bentuk yang umum ditemukan adalah ALL dan AML
Patofisiologi
Leukemia merupakan proliferasi yang tidak terbatas dari sel darah putih yang immatur pada jaringan pembentuk darah. Walaupun bukan berwujud sebagai tumor sebagaimana biasanya, sel leukemia menunjukkan property suatu neoplasma dari kanker yang solid. Manifestasi klinik yang timbul merupakan akibat dari infiltrasi atau penggantian dari jaringan-jaringan tubuh oleh sel leukemia yang non-fungsional. Organ vaskuler atas seperti limpa dan hati merupakan organ yang sering diserang oleh sel ini.
Ada dua miskonsepsi yang harus diluruskan mengenai leukemia ini yaitu 1)Walaupun leukemia merupakan overproduksi dari sel darah putih, tetapi sering ditemukan pada leukemia akut bahwa jumlah leukosit rendah. Ini diakibatkan karena produksi yang dihasilkan adalah sel yang immatur. 2)Sel immatur tersebut tidak menyerang dan menghancurkan sel darah normal atau jaringan vaskuler. Destruksi celluler diakibatkan proses infiltrasi dan sebagai bagian dari konsekwensi kompetisi untuk mendapatkan element makanan metabolik.
Masalah Keperawatan :
[1] Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, Resiko infeksi
[2] Resiko infeksi, Infeksi aktual
[3] Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Resiko gangguan perfusi jaringan
[4] Gangguan rasa nyaman : Nyeri
[5] Gangguan mobilitas fisik, Resiko Injury
[6] Gangguan rasa nyaman : Nyeri
[7] Infeksi aktual, Resiko gangguan tumbuh kembang
[8] Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, Gangguan keseimbangan cairan & elektrolit
Manajemen terapeutik :
Chemotherapi dengan tiga fase yaitu 1)Induksi, 2)CNS profilaksis terapi, 3)Konsolidasi.
Masalah Keperawatan yang timbul karena kemoterapi :
1. Kerusakan membran mukosa
2. Gangguan integritas kulit
3. Cemas




http://askep-askeb-kita.blogspot.com/

JAUNDICE

Pengertian
Kata jaundice berasal dari bahasa Perancis, dari kata jaune yang berarti kuning. Sakit kuning (jaundice) yang juga dikenal dengan ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah 1.


II. Etiologi

Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu. Gangguan dalam pembuangan mengakibatkan penumpukan bilirubin dalam aliran darah yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin akan menumpuk kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan perkursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibatproses fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini 2.


Patofisiologis

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, pascahepatik masih relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier 1. Jaundice disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

1. Fase Prahepatik

Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut jaundice yang disebabkan oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah) 4

a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% datang dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.

b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

2. Fase Intrahepatik

Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin 4

a. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkojugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein meningkat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.

b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak laurut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid. Reaksi konjugasi terjadi dalam retikulum endoplasmik hepatosit dan dikatalisis oleh enzim bilirubin glukuronosil transferase dalam reaksi dua-tahap.



3. Fase Pascahepatik

Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu empedu atau tumor 4

a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri men”dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkojugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair.


Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Secara klinis hiperbilirubinemia terlihat sebagai gejala kuning atau ikterus, yaitu pigmentasi kuning pada kulit dan sklera. Ikterus biasanya baru dapat dilihat kalau kadar bilrubin serum melebihi 34 hingga 43 µmol/L (2,0 hingga 2,5 mg/dL), atau sekitar dua kali batas atas kisaran normal; namun demikian, gejala ini dapat terdeteksi dengan kadar bilirubin yang lebih rendah pada pasien yang kulitnya putih dan yang menderita anemia berat. Sebaliknya, gejala ikterus sering tidak terlihat jelas pada orang-orang yang kulitnya gelap atau yang menderita edema. Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap, yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukuronid. Pada ikterus yang mencolok, kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang beredar menjadi biliverdin. Efek ini sering terlihat pada kondisi dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi berlangsung lama tau berat seperti sirosis. Gejala lain dapat muncul tergantung pada penyebabnya, misalnya:

1. peradangan hati (hepatitis) bisa menyebabkan hilangnya nafsu makan, mual muntah, dan demam 3

2. penyumbatan empedu bisa menyebabkan gejala kolestasis 3

Penilaian jaundice yang dilakukan pada bayi baru lahir, berbarengan dengan pemantauan tanda-tanda vital (detak jantung, pernapasan, suhu) bayi, minimal setiap 8-12 jam. Salah satu tanda jaundice adalah tidak segera kembalinya warna kulit setelah penekanan dengan jari. Cara menilai jaundice membutuhkan cahaya yang cukup, misalnya dengan kadar terang siang hari atau dengan cahaya fluorescent. Jika ditemukan tanda jaundice pada 24 jam pertama setelah lahir, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan melalui kulit (TcB: Transcutaneus Bilirubin) , (TSB: Total Serum Bilirubin) dan penilaian faktor resiko. Kadar bilirubin yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi si bayi.


Faktor risiko mayor 5

TSB atau TcB di high-risk zone
Jaundice dalam 24 jam pertama
Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus
Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk dapat berfungsi normal
Usia gestasi 35-36 minggu
Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung
Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang dibantu vakum
Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan
Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina

Faktor risiko minor 5

TSB atau TcB di high intermediate-risk zone
Usia gestasi 37-38 minggu
Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB
Riwayat jaundice pada saudara sekandung
Bayi besar dari ibu yang diabetik
Usia ibu ≥ 25 tahun
Bayi laki-laki

Pengobatan

Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer) dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) mg/hari SK untuk 2-3hari 1.

Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase bilier paliatip dapet dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaranbatu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengenluaran batu di saluran empedu.



Pencegahan

Cara-cara mencegah peningkatan kadar pigmen empedu (bilirubin) dalam darah / mengatasi hiperbilirubinemia :

1. Mempercepat proses konjugasi / meningkatkan kemampuan kinerja enzim yang terlibat dalam pengolahan pigmen empedu (bilirubin).

2. Mengupayakan perubahan pigmen empedu (bilirubin) tidak larut dalam air menjadi larut dalam air, agar memudahkan proses pengeluaran (ekskresi), dengan cara pengobatan sinar (foto terapi).

3. Membuang pigmen empedu (bilirubin) dengan cara transfusi tukar.

4. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi





Daftar Pustaka

[1]. Sudoyo,Aru.W, dkk, eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Dep. Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta, 2006, vol. I, hlm. 422-425

[2]. Kaplain, Lee M., Isselbacher, Kurt.J, “Harrison”, in Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, H.A,Ahmad, eds., EGC : Jakarta, 2000, vol.I, hlm. 263-269

[3]. Sakit Kuning (Jaundice), http://info-sehat.com/content.php?s_sid=1064, acces : 05 November 2007

[4]. Jaundice, http://en.wikipedia.org/wiki/Jaundice, last modified : 30 November 2007, acces : 05 Nopember 2007

[5]. dr. Itqiyah, Nurul, Jaundice / Kuning, http://www.sehatgroup.web.id/guidelines/isiGuide.asp?guideID=14, last modified : 15 Januari 2007, acces : 05 November 2007

[6] Quality improvement report: The “jaundice hotline” for the rapid assessment of patients with jaundice, doi:10.1136/bmj.325.7357.213 BMJ 2002;325;213-215 BMJ, volume 325, 27 July 2002, halaman 213



http://askep-askeb-kita.blogspot.com/

JAUNDICE

Pengertian
Kata jaundice berasal dari bahasa Perancis, dari kata jaune yang berarti kuning. Sakit kuning (jaundice) yang juga dikenal dengan ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah 1.


II. Etiologi

Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu. Gangguan dalam pembuangan mengakibatkan penumpukan bilirubin dalam aliran darah yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin akan menumpuk kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan perkursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibatproses fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini 2.


Patofisiologis

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, pascahepatik masih relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier 1. Jaundice disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

1. Fase Prahepatik

Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut jaundice yang disebabkan oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah) 4

a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% datang dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.

b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

2. Fase Intrahepatik

Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin 4

a. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkojugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein meningkat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.

b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak laurut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid. Reaksi konjugasi terjadi dalam retikulum endoplasmik hepatosit dan dikatalisis oleh enzim bilirubin glukuronosil transferase dalam reaksi dua-tahap.



3. Fase Pascahepatik

Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu empedu atau tumor 4

a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri men”dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkojugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair.


Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Secara klinis hiperbilirubinemia terlihat sebagai gejala kuning atau ikterus, yaitu pigmentasi kuning pada kulit dan sklera. Ikterus biasanya baru dapat dilihat kalau kadar bilrubin serum melebihi 34 hingga 43 µmol/L (2,0 hingga 2,5 mg/dL), atau sekitar dua kali batas atas kisaran normal; namun demikian, gejala ini dapat terdeteksi dengan kadar bilirubin yang lebih rendah pada pasien yang kulitnya putih dan yang menderita anemia berat. Sebaliknya, gejala ikterus sering tidak terlihat jelas pada orang-orang yang kulitnya gelap atau yang menderita edema. Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap, yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukuronid. Pada ikterus yang mencolok, kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang beredar menjadi biliverdin. Efek ini sering terlihat pada kondisi dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi berlangsung lama tau berat seperti sirosis. Gejala lain dapat muncul tergantung pada penyebabnya, misalnya:

1. peradangan hati (hepatitis) bisa menyebabkan hilangnya nafsu makan, mual muntah, dan demam 3

2. penyumbatan empedu bisa menyebabkan gejala kolestasis 3

Penilaian jaundice yang dilakukan pada bayi baru lahir, berbarengan dengan pemantauan tanda-tanda vital (detak jantung, pernapasan, suhu) bayi, minimal setiap 8-12 jam. Salah satu tanda jaundice adalah tidak segera kembalinya warna kulit setelah penekanan dengan jari. Cara menilai jaundice membutuhkan cahaya yang cukup, misalnya dengan kadar terang siang hari atau dengan cahaya fluorescent. Jika ditemukan tanda jaundice pada 24 jam pertama setelah lahir, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan melalui kulit (TcB: Transcutaneus Bilirubin) , (TSB: Total Serum Bilirubin) dan penilaian faktor resiko. Kadar bilirubin yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi si bayi.


Faktor risiko mayor 5

TSB atau TcB di high-risk zone
Jaundice dalam 24 jam pertama
Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus
Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk dapat berfungsi normal
Usia gestasi 35-36 minggu
Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung
Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang dibantu vakum
Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan
Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina

Faktor risiko minor 5

TSB atau TcB di high intermediate-risk zone
Usia gestasi 37-38 minggu
Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB
Riwayat jaundice pada saudara sekandung
Bayi besar dari ibu yang diabetik
Usia ibu ≥ 25 tahun
Bayi laki-laki

Pengobatan

Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer) dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) mg/hari SK untuk 2-3hari 1.

Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase bilier paliatip dapet dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaranbatu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengenluaran batu di saluran empedu.



Pencegahan

Cara-cara mencegah peningkatan kadar pigmen empedu (bilirubin) dalam darah / mengatasi hiperbilirubinemia :

1. Mempercepat proses konjugasi / meningkatkan kemampuan kinerja enzim yang terlibat dalam pengolahan pigmen empedu (bilirubin).

2. Mengupayakan perubahan pigmen empedu (bilirubin) tidak larut dalam air menjadi larut dalam air, agar memudahkan proses pengeluaran (ekskresi), dengan cara pengobatan sinar (foto terapi).

3. Membuang pigmen empedu (bilirubin) dengan cara transfusi tukar.

4. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi





Daftar Pustaka

[1]. Sudoyo,Aru.W, dkk, eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Dep. Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta, 2006, vol. I, hlm. 422-425

[2]. Kaplain, Lee M., Isselbacher, Kurt.J, “Harrison”, in Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, H.A,Ahmad, eds., EGC : Jakarta, 2000, vol.I, hlm. 263-269

[3]. Sakit Kuning (Jaundice), http://info-sehat.com/content.php?s_sid=1064, acces : 05 November 2007

[4]. Jaundice, http://en.wikipedia.org/wiki/Jaundice, last modified : 30 November 2007, acces : 05 Nopember 2007

[5]. dr. Itqiyah, Nurul, Jaundice / Kuning, http://www.sehatgroup.web.id/guidelines/isiGuide.asp?guideID=14, last modified : 15 Januari 2007, acces : 05 November 2007

[6] Quality improvement report: The “jaundice hotline” for the rapid assessment of patients with jaundice, doi:10.1136/bmj.325.7357.213 BMJ 2002;325;213-215 BMJ, volume 325, 27 July 2002, halaman 213



http://askep-askeb-kita.blogspot.com/

Sunday, January 3, 2010

Askep Sifilis

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SIFILIS

A. PENGERTIAN

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini sangat kronik, bersifat sistemik dan menyerang hampir semua alat tubuh.

B. ETIOLOGI

Penyebab penyakit ini adalah Treponema pallidum yang termasuk ordo spirochaetales, familia spirochaetaceae, dan genus treponema. Bentuk spiral, panjang antara 6 – 15 µm, lebar 0,15 µm. Gerakan rotasi dan maju seperti gerakan membuka botol. Berkembang biak secara pembelahan melintang, pembelahan terjadi setiap 30 jam pada stadium aktif.

C. EPIDEMIOLOGI

Asal penyakit tidak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Pada tahun 1494 terjadi epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis melelui hubungan seksual. Pada abad ke-15 terjadiwabah di Eropa. Sesudah tahun 1860, morbilitas sifilis menurun cepat. Selama perang dunia II, kejadian sifilis meningkat dan puncaknya pada tahun 1946, kemudian menurun setelah itu.

Kasus sifilis di Indonesia adalah 0,61%. Penderita yang terbanyak adalah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II.

D. PATOFISIOLOGI

1. Stadium Dini

Pada sifilis yang didapat, Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut berkembang biak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskuler, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh Treponema pallidum dan sel-sel radang. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofi endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I. Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan berkembang biak, terjadi penjalaran hematogen yang menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Multiplikasi diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II yang terjadi 6-8 minggu setelah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut berkurang jumlahnya. Terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatrik. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan lalu menghilang. Timbul stadium laten. Jika infeksi T.pallidum gagal diatasi oleh proses imunitas tubuh, kuman akan berkembang biak lagi dan menimbulkan lesi rekuren. Lesi dapat timbul berulang-ulang.

2. Stadium Lanjut

Stadium laten berlangsung bertahun-tahun karena treponema dalam keadaan dorman. Treponema mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.

F. KLASIFIKASI dan GEJALA

Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisital (didapat). Sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis dini (sebelum dua tahun), lanjut (setelah dua tahun), dan stigmata. Sifillis akuisita dapat dibagi menurut dua cara yaitu:

- Klinis (stadium I/SI, stadium II/SII, stadium III/SIII) dan

- Epidemiologik, menurut WHO dibagi menjadi:

1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II, stadium rekuren, dan stadium laten dini.

2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium laten lanjut dan S III.

GEJALA KLINIS

Sifilis Akuisita

1. Sifilis Dini

a. Sifilis Primer (S I)

b. Sifilis Sekunder (S II)

2. Sifilis Lanjut

G. DIAGNOSA BANDING

1. Stadium I

§ Herpes simplek

§ Ulkus piogenik

§ Skabies

§ Balanitis

§ Limfogranuloma venereum (LGV)

§ Karsinoma sel skuamosa

§ Penyakit behcet

§ Ulkus mole

2. Stadium II

§ Erupsi obat alergik

§ Morbili

§ Pitiriasis rosea

§ Psoriasis

§ Dermatitis seboroika

§ Kandiloma akuminatum

§ Alopesia areata

3. Stadium III

§ Sporotrikosis

§ Aktinomikosis

H. PENCEGAHAN

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah seseorang agar tidak tertular penyakit sifilis. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain:

1. Tidak berganti-ganti pasangan

2. Berhubungan seksual yang aman: selektif memilih pasangan dan pempratikkan ‘protective sex’.

3. Menghindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan transfusi darah yang sudah terinfeksi.

I. PENATALAKSANAAN

Penderita sifilis diberi antibiotik penisilin (paling efektif). Bagi yang alergi penisillin diberikan tetrasiklin 4×500 mg/hr, atau eritromisin 4×500 mg/hr, atau doksisiklin 2×100 mg/hr. Lama pengobatan 15 hari bagi S I & S II dan 30 hari untuk stadium laten. Eritromisin diberikan bagi ibu hamil, efektifitas meragukan. Doksisiklin memiliki tingkat absorbsi lebih baik dari tetrasiklin yaitu 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.

Obat lain adalah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4×500 mg/hr selama 15 hari, Sefaloridin memberi hasil baik pada sifilis dini, Azitromisin dapat digunakan untuk S I dan S II.

J. PROGNOSIS

Prognosis sifilis menjadi lebih baik setelah ditemukannya penisilin. Jika penisilin tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, 5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskuler, neurosifilis, dan 23% akan meninggal.

Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu.

Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun setelah terapi berupa lesi menular pada mulut, tenggorokan, dan regio perianal. Selain itu, terdapat kambuh serologik.

Pada sifilis laten lanjut, prognosis baik. Pada sifilis kardiovaskuler, prognosis sukar ditentukan. Prognosis pada neurosifilis bergantung pada tempat dan derajat kerusakan.

Sel saraf yang sudah rusak bersifat irreversible. Prognosis neurosifilis pada sifilis dini baik, angka penyembuhan dapat mencapai 100%. Neurosifilis asimtomatik pada stadium lanjut juga baik, kurang dari 1% memerlukan terapi ulang

Prognosis sifilis kongenital dini baik. Pada yang lanjut, prognosis tergantung pada kerusakan yang sudah ada.

K. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum

Kesadaran, status gizi, TB, BB, suhu, TD, nadi, respirasi

b. Pemeriksaan sistemik

Kepala (mata, hidung, telinga, gigi&mulut), leher (terdapat perbesaran tyroid atau tidak), tengkuk, dada (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi), genitalia, ekstremitas atas dan bawah.

c.Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan laboratorium (kimia darah, ureum, kreatinin, GDS, analisa urin, darah rutin)

2. Diagnosa Keperawatan & Intervensi

a. Nyeri kronis b.d adanya lesi pada jaringan

Tujuan: nyeri klien hilang dan kenyamanan terpenuhi

Kriteria:

- Nyeri klien berkurang

- Ekspresi wajah klien tidak kesakitan

- Keluhan klien berkurang

Intervensi:

- Kaji riwayat nyeri dan respon terhadap nyeri

- Kaji kebutuhan yang dapat mengurangi nyeri dan jelaskan tentang teknik mengurangi nyeri dan penyebab nyeri

- Ciptakan lingkungan yang nyaman (mengganti alat tenun)

- Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan

- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik

b. Hipertermi b.d proses infeksi

Tujuan: klien akan memiliki suhu tubuh normal

Kriteria:

- Suhu 36–37 °C

- Klien tidak menggigil

- Klien dapat istirahat dengan tenang

Intervensi:

- Observasi keadaan umum klien dengan tanda vital tiap 2 jam sekali

- Berikan antipiretik sesuai anjuran dokter dan monitor keefektifan 30-60 menit kemudian

- Berikan kompres di dahi dan lengan

- Anjurkan agar klien menggunakan pakaian yang tipis dan longgar

- Berikan minum yang banyak pada klien

c. Cemas b.d proses penyakit

Tujuan: cemas berkurang atau hilang

Kriteria:

- Klien merasa rileks

- Vital sign dalam keadaan normal

- Klien dapat menerima dirinya apa adanya

Intervensi:

- Kaji tingkat ketakutan dengan cara pendekatan dan bina hubungan saling percaya

- Pertahankan lingkungan yang tenang dan aman serta menjauhkan benda-benda berbahaya

- Libatkan klien dan keluarga dalam prosedur pelaksanaan dan perawatan

- Ajarkan penggunaan relaksasi

- Beritahu tentang penyakit klien dan tindakan yang akan dilakukan secara sederhana.

L. DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI.

http://askep-askeb-kita.blogspot.com/

Blog Archive