Showing posts with label contoh Daftar Pustaka. Show all posts
Showing posts with label contoh Daftar Pustaka. Show all posts

Saturday, January 23, 2010

Model Kemitraan Keperawatan Komunitas Dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat

1. Latar Belakang

Pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia yang telah dijalankan selama ini masih memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara pendekatan pembangunan kesehatan masyarakat dengan tanggapan masyarakat, manfaat yang diperoleh masyarakat, dan partisipasi masyarakat yang diharapkan. Meskipun di dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah ditegaskan bahwa tujuan pembangunan kesehatan masyarakat salah satunya adalah meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya.
Oleh karena itu pemerintah maupun pihak-pihak yang memiliki perhatian cukup besar terhadap pembangunan kesehatan masyarakat –termasuk perawat spesialis komunitas— perlu mencoba mencari terobosan yang kreatif agar program-program tersebut dapat dilaksanakan secara optimal dan berkesinambungan.


Salah satu intervensi keperawatan komunitas di Indonesia yang belum banyak digali adalah kemampuan perawat spesialis komunitas dalam membangun jejaring kemitraan di masyarakat. Padahal, membina hubungan dan bekerja sama dengan elemen lain dalam masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang memiliki pengaruh signifikan pada keberhasilan program pengembangan kesehatan masyarakat (Kahan & Goodstadt, 2001). Pada bagian lain Ervin (2002) menegaskan bahwa perawat spesialis komunitas memiliki tugas yang sangat penting untuk membangun dan membina kemitraan dengan anggota masyarakat. Bahkan Ervin mengatakan bahwa kemitraan merupakan tujuan utama dalam konsep masyarakat sebagai sebuah sumber daya yang perlu dioptimalkan (community-as-resource), dimana perawat spesialis komunitas harus memiliki ketrampilan memahami dan bekerja bersama anggota masyarakat dalam menciptakan perubahan di masyarakat.

Terdapat lima model kemitraan yang menurut anggapan penulis cenderung dapat dipahami sebagai sebuah ideologi kemitraan, sebab model tersebut merupakan azas dan nafas kita dalam membangun kemitraan dengan anggota masyarakat lainnya. Model kemitraan tersebut antara lain: kepemimpinan (manageralism) (Rees, 2005), pluralisme baru (new-pluralism), radikalisme berorientasi pada negara (state-oriented radicalism), kewirausahaan (entrepreneurialism) dan membangun gerakan (movement-building) (Batsler dan Randall, 1992). Berkaitan dengan praktik keperawatan komunitas di atas, maka model kemitraan yang sesuai untuk mengorganisasi elemen masyarakat dalam upaya pengembangan derajat kesehatan masyarakat dalam jangka panjang adalah model kewirausahaan (entrepreneurialism). Model kewirausahaan memiliki dua prinsip utama, yaitu prinsip otonomi (autonomy) –kemudian diterjemahkan sebagai upaya advokasi masyarakat—dan prinsip penentuan nasib sendiri (self-determination) yang selanjutnya diterjemahkan sebagai prinsip kewirausahaan.

Menurut penulis model kewirausahaan memiliki pengaruh yang strategis pada pengembangan model praktik keperawatan komunitas dan model kemitraan dalam pengorganisasian pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia. Praktik keperawatan mandiri atau kelompok hubungannya dengan anggota masyarakat dapat dipandang sebagai sebuah institusi yang memiliki dua misi sekaligus, yaitu sebagai institusi ekonomi dan institusi yang dapat memberikan pembelaan pada kepentingan masyarakat terutama berkaitan dengan azas keadilan sosial dan azas pemerataan bidang kesehatan. Oleh karenanya praktik keperawatan sebagai institusi sangat terpengaruh dengan dinamika perkembangan masyarakat (William, 2004; Korsching & Allen, 2004), dan perkembangan kemasyarakatan tentunya juga akan mempengaruhi bentuk dan konteks kemitraan yang berpeluang dikembangkan (Robinson, 2005) sesuai dengan slogan National Council for Voluntary Organizations (NCVO) yang berbunyi : “New Times, New Challenges” (Batsler dan Randall, 1992).

Pada bagian lain, saat ini mulai terlihat kecenderungan adanya perubahan pola permintaan pelayanan kesehatan pada golongan masyarakat tertentu dari pelayanan kesehatan tradisional di rumah sakit beralih ke pelayanan keperawatan di rumah disebabkan karena terjadinya peningkatan pembiayaan kesehatan yang cukup besar dibanding sebelumnya (Depkes RI, 2004a, 2004b; Sharkey, 2000; MacAdam, 2000). Sedangkan secara filosofis, saat ini telah terjadi perubahan “paradigma sakit” yang menitikberatkan pada upaya kuratif ke arah “paradigma sehat” yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Sehingga situasi tersebut dapat dijadikan peluang untuk mengembangkan praktik keperawatan komunitas beserta pendekatan kemitraan yang sesuai di Indonesia.

Tulisan ini mencoba untuk: (1) mengidentifikasi model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat; (2) menganalisis kemanfaatan model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat; dan (3) mengidentifikasi implikasi model pada pengembangan kebijakan keperawatan komunitas dan promosi kesehatan.

2. Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Nies dan Mc. Ewan (2001) mendeskripsikan pengembangan kesehatan masyarakat (community health development) sebagai pendekatan dalam pengorganisasian masyarakat yang mengkombinasikan konsep, tujuan, dan proses kesehatan masyarakat dan pembangunan masyarakat. Dalam pengembangan kesehatan masyarakat, perawat spesialis komunitas mengidentifikasikan kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan kemudian mengembangkan, mendekatkan, dan mengevaluasi tujuan-tujuan pembangunan kesehatan melalui kemitraan dengan profesi terkait lainnya (Nies & Mc.Ewan, 2001; CHNAC, 2003; Diem & Moyer, 2004; Falk-Rafael, et al.,1999).

Bidang tugas perawat spesialis komunitas tidak bisa terlepas dari kelompok masyarakat sebagai klien termasuk sub-sub sistem yang terdapat di dalamnya, yaitu: individu, keluarga, dan kelompok khusus. Menurut Nies dan McEwan (2001), perawat spesialis komunitas dalam melakukan upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatan masyarakat dapat menggunakan alternatif model pengorganisasian masyarakat, yaitu: perencanaan sosial, aksi sosial atau pengembangan masyarakat. Berkaitan dengan pengembangan kesehatan masyarakat yang relevan, maka penulis mencoba menggunakan pendekatan pengorganisasian masyarakat dengan model pengembangan masyarakat (community development).

Tujuan dari penggunaan model pengembangan masyarakat adalah (1) agar individu dan kelompok-kelompok di masyarakat dapat berperan-serta aktif dalam setiap tahapan proses keperawatan, dan (2) perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) dan kemandirian masyarakat yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatannya di masa mendatang (Nies & McEwan, 2001; Green & Kreuter, 1991). Menurut Mapanga dan Mapanga (2004) tujuan dari proses keperawatan komunitas adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian fungsional klien / komunitas melalui pengembangan kognisi dan kemampuan merawat dirinya sendiri. Pengembangan kognisi dan kemampuan masyarakat difokuskan pada dayaguna aktifitas kehidupan, pencapaian tujuan, perawatan mandiri, dan adaptasi masyarakat terhadap permasalahan kesehatan sehingga akan berdampak pada peningkatan partisipasi aktif masyarakat (Lihat Gambar 1).

Gambar 1. Partisipasi klien sebagai Luaran Kesehatan pada Praktik Keperawatan Komunitas

Sumber : Kudakwashe G. Mapanga dan Margo B. Mapanga (2004) halaman 275


Perawat spesialis komunitas perlu membangun dukungan, kolaborasi, dan koalisi sebagai suatu mekanisme peningkatan peran serta aktif masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi implementasi upaya kesehatan masyarakat. Anderson dan McFarlane (2000) dalam hal ini mengembangkan model keperawatan komunitas yang memandang masyarakat sebagai mitra (community as partner model). Fokus dalam model tersebut menggambarkan dua prinsip pendekatan utama keperawatan komunitas, yaitu (1) lingkaran pengkajian masyarakat pada puncak model yang menekankan anggota masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan kesehatan, dan (2) proses keperawatan.

Asumsi dasar mekanisme kolaborasi perawat spesialis komunitas dengan masyarakat tersebut adalah hubungan kemitraan yang dibangun memiliki dua manfaat sekaligus yaitu meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dan keberhasilan program kesehatan masyarakat (Kreuter, Lezin, & Young, 2000). Mengikutsertakan masyarakat dan partisipasi aktif mereka dalam pembangunan kesehatan dapat meningkatkan dukungan dan penerimaan terhadap kolaborasi profesi kesehatan dengan masyarakat (Schlaff, 1991; Sienkiewicz, 2004). Dukungan dan penerimaan tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatnya sumber daya masyarakat yang dapat dimanfaatkan, meningkatnya kredibilitas program kesehatan, serta keberlanjutan koalisi perawat spesialis komunitas-masyarakat (Bracht, 1990).

3. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Menurut Hitchcock, Scubert, dan Thomas (1999) fokus kegiatan promosi kesehatan adalah konsep pemberdayaan (empowerment) dan kemitraan (partnership). Konsep pemberdayaan dapat dimaknai secara sederhana sebagai proses pemberian kekuatan atau dorongan sehingga membentuk interaksi transformatif kepada masyarakat, antara lain: adanya dukungan, pemberdayaan, kekuatan ide baru, dan kekuatan mandiri untuk membentuk pengetahuan baru. Sedangkan kemitraan memiliki definisi hubungan atau kerja sama antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan atau memberikan manfaat (Depkes RI, 2005). Partisipasi klien/masyarakat dikonseptualisasikan sebagai peningkatan inisiatif diri terhadap segala kegiatan yang memiliki kontribusi pada peningkatan kesehatan dan kesejahteraan (Mapanga & Mapanga, 2004)

Pemberdayaan, kemitraan dan partisipasi memiliki inter-relasi yang kuat dan mendasar. Perawat spesialis komunitas ketika menjalin suatu kemitraan dengan masyarakat maka ia juga harus memberikan dorongan kepada masyarakat. Kemitraan yang dijalin memiliki prinsip “bekerja bersama” dengan masyarakat bukan “bekerja untuk” masyarakat, oleh karena itu perawat spesialis komunitas perlu memberikan dorongan atau pemberdayaan kepada masyarakat agar muncul partisipasi aktif masyarakat (Yoo et. al, 2004). Membangun kesehatan masyarakat tidak terlepas dari upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas, kepemimpinan dan partisipasi masyarakat (Nies & McEwan, 2001), namun perawat spesialis komunitas perlu membangun dan membina jejaring kemitraan dengan pihak-pihak yang terkait (Robinson, 2005), misalnya: profesi kesehatan lainnya, penyelenggara pemeliharaan kesehatan, Puskesmas, donatur / sponsor, sektor terkait, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat.

Berdasarkan hubungan elemen-elemen di atas, maka penulis mencoba untuk merumuskan sebuah model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat yang dijiwai oleh ideologi entrepreneurialisme (Gambar 2).

Gambar 2. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat merupakan suatu paradigma yang memperlihatkan hubungan antara beberapa konsep penting, tujuan dan proses dalam tindakan pengorganisasian masyarakat yang difokuskan pada upaya peningkatan kesehatan (Hickman, 1995 dalam Nies & McEwan, 2001). Konsep utama dalam model tersebut adalah kemitraan, kesehatan masyarakat, nilai dan kepercayaan yang dianut, pengetahuan, partisipasi, kapasitas dan kepemimpinan yang didasarkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip kewirausahaan dan advokasi masyarakat.

4. Ideologi Entrepreneurialisme dalam Kemitraan Keperawatan Komunitas

Profesi perawat memiliki implikasi pada pengembangan praktik keperawatan yang profesional, etis dan legal (PPNI, 2004) sehingga profesi perawat berhak menyelenggarakan praktik secara mandiri atau berkelompok. Berdasarkan tugas dan fungsi perawat spesialis komunitas tersebut, penulis berpandangan bahwa perawat spesialis komunitas dalam membina kemitraan di masyarakat perlu memiliki ideologi kewirausahaan (entrepreunership) sebab segala tindakan dan kebijakan yang diambil selalu berkaitan dinamika perubahan kehidupan masyarakat, baik kehidupan sosial, ekonomi, dan politik (William, 2004; Korsching & Allen, 2004).

Menurut Batsleer dan Randall (1992) ideologi entrepreneurialisme memiliki dua karakter, yaitu: prinsip otonomi (autonomy) dan penentuan nasib sendiri (self determination). Dalam prinsip otonomi, perawat spesialis komunitas berupaya membela dan memperjuangkan hak-hak dan keadilan masyarakat dalam sistem pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, perawat spesialis komunitas memainkan perannya sebagai advokator (pembela) dan mitra (partner) bagi kliennya (masyarakat) (Stanhope & Lancaster, 1997). Sedangkan dalam prinsip penentuan nasib sendiri, perawat sebagai profesi berhak untuk melaksanakan praktik legal yang dapat diselenggarakan secara mandiri maupun berkelompok sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1239 tahun 2001. Praktik keperawatan komunitas sebagai institusi perlu dijalankan secara profesional agar dapat bertahan menghadapi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang dinamis.

4.1. Advokasi

Walaupun istilah advokasi mempunyai banyak definisi, dua definisi di bawah ini mengandung konsep-konsep utama advokasi hak asasi manusia (hak masyarakat) yang esensial. Pengertian pertama advokasi sebagai segala aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran publik di antara para pengambil-keputusan dan khalayak umum atas sebuah masalah atau kelompok masalah, dalam rangka menghasilkan berbagai perubahan kebijakan dan perbaikan situasi (Black, 2002, hal.11). Pengertian kedua, advokasi keadilan sosial, yaitu upaya pencapaian hasil-hasil yang berpengaruh – meliputi kebijakan-publik dan keputusan-keputusan alokasi sumber daya dalam sistem dan institusi politik, ekonomi, dan sosial – yang mempengaruhi kehidupan banyak orang secara langsung (Cohen et al., 2001, hal. 8).

4.2. Kewirausahaan

Definisi kewirausahaan adalah individu (kelompok) yang dapat mengidentifikasi kesempatan berdasarkan kemampuan, keinginan, dan kepercayaan yang dimilikinya serta membuat pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan upaya menyelaraskan sumber daya dalam pencapain keuntungan personal (Otuteye & Sharma, 2004). Perawat spesialis komunitas dapat dianggap sebagai institusi penyedia layanan keperawatan. Sehingga untuk menggambarkan faktor-faktor institusi yang dapat mempengaruhi etos kewirausahaan perawat spesialis komunitas, Penulis menggunakan kerangka kerja Douglass C. North dalam Mary Jesselyn Co (2004). Kerangka kerja tersebut menganalisis bagaimana institusi dan perubahan institusi berdampak pada penampilan ekonominya.


Gambar 3. Beberapa faktor yang mempengaruhi etos kewirausahaan

Sumber : Mary Jesselyn Co (2004) halaman 188.

Kemitraan antara perawat spesialis komunitas dan pihak-pihak terkait dengan masyarakat digambarkan dalam bentuk garis hubung antara komponen-komponen yang ada. Hal ini memberikan pengertian perlunya upaya kolaborasi dalam mengkombinasikan keahlian masing-masing yang dibutuhkan untuk mengembangkan strategi peningkatan kesehatan masyarakat. Pihak-pihak terkait yang dapat dibina hubungannya dengan perawat spesialis komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat, adalah :
  1. Profesi kesehatan lainnya, misalnya dokter, ahli gizi, sanitarian, bidan/bidan di desa, atau fisioterapist.
  2. Puskesmas
  3. Organisasi Penyelenggara Pemeliharaan Kesehatan (PPK) atau Health Maintenance Organization (HMO). Organisasi PPK memberikan jaminan pelayanan keperawatan dan pelayanan profesi kesehatan lainnya dengan prinsip managed care. Managed care yaitu suatu integrasi antara pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan yang tepat guna untuk menjamin anggota masyarakat (Thabrany, 2000a). Pembiayaan managed care menggunakan sistem kapitasi (Thabrany, 2000b).
  4. Donatur / sponsor, merupakan badan atau lembaga yang dapat memberikan bantuan finansial baik secara sukarela atau mengikat untuk program pengembangan kesehatan masyarakat.
  5. Lintas sektor terkait, merupakan institusi formal (birokrasi) yang terkait dengan upaya pengembangan kesehatan masyarakat dari tingkat teknis lapangan sampai ke tingkat kabupaten/kota. Misalnya: Pemerintah Daerah, Bappeda, Dinas Pertanian / Peternakan, BKKBN, PDAM, Dinas Pekerjaan Umum, dan lain-lain.
  6. Organisasi masyarakat formal dan informal, misalnya: Organisasi Muhammadiyah/Aisyah, Nahdlatul Ulama/Fatayat NU, Lembaga Swadaya Masyarakat, TP-PKK, kelompok pengajian, kelompok arisan, dasa wisma, dan lain-lain.
  7. Tokoh masyarakat atau tokoh agama yang memiliki pengaruh kuat di tengah masyarakat (key persons).

Kesehatan masyarakat digambarkan sebagai bangun segitiga beserta unsur partisipasi, kapasitas, dan kepemimpinan (Nies & Mc. Ewan, 2001). Partisipasi berkaitan dengan peran serta aktif seluruh komponen masyarakat, yaitu individu, keluarga, kelompok risiko tinggi, dan sektor terkait lainnya, dalam upaya perencanaan dan peningkatan derajat kesehatan secara komprehensif. Kapasitas memiliki makna tingkat pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan anggota masyarakat secara keseluruhan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Sedangkan kepemimpinan mengindikasikan kemampuan mempengaruhi anggota masyarakat dalam meningkatkan fungsionalnya pada pengembangan kesehatan masyarakat. Masyarakat memerlukan pemimpin yang dapat mengorganisasikan, bertanggungjawab, dan memobilisasi anggota masyarakat lain untuk lebih berperan aktif dalam pengembangan kesehatannya.
Garis panah penghubung masing-masing unsur dalam bangun segitiga menggambarkan tingkat pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai panutan masyarakat yang berpengaruh terhadap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Fokus utama model adalah masyarakat atau komunitas secara keseluruhan. Tiga tanda panah yang mengarah pada “Kesehatan Masyarakat” memberikan makna adanya interaksi berbagai unsur dalam model untuk mencapai tujuan bersama yaitu masyarakat yang sehat. Menurut Nies dan Mc. Ewan (2001), terminologi “kesehatan masyarakat” dalam pembangunan kesehatan masyarakat memiliki dua pengertian. Pertama, digunakan untuk menggambarkan pencapaian kualitas kesehatan yang diinginkan atau dampak dari upaya pengembangan kesehatan masyarakat (outcome indicators). Dan kedua, sebagai perangkat utama untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan masyarakat (input indicators dan process indicators).

5. Analisis Kemanfaatan Model Kemitraan Keperawatan Komunitas

Berdasarkan penjelasan model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan komunitas, maka perlu dianalisis dari beberapa aspek, yaitu :

5.1. Keperawatan Spesialis Komunitas
  1. Dapat dikembangkannya model praktik keperawatan komunitas yang terintegrasi antara praktik keperawatan dengan basis riset ilmiah.
  2. Mengenalkan model praktik keperawatan komunitas.
  3. Meningkatkan proses berpikir kritis dan pengorganisasian pengembangan kesehatan masyarakat
  4. Meningkatkan jejaring dan kemitraan dengan masyarakat dan sektor terkait
  5. Meningkatkan legalitas praktik keperawatan spesialis komunitas
  6. Mendorong praktik keperawatan komunitas yang profesional
5.2. Sistem Pendidikan Keperawatan Komunitas
  1. Memperbaiki sistem pendidikan keperawatan spesialis komunitas yang profesional dan aplikatif
  2. Meningkatkan kepercayaan diri perawat pada umumnya dan perawat spesialis komunitas pada khususnya
  3. Menunjukkan peran baru perawat spesialis komunitas
  4. Sejak awal mahasiswa keperawatan komunitas dikenalkan dengan kegiatan intervensi keperawatan pada pengembangan kesehatan masyarakat, yaitu: kolaborasi, kemitraan dan mengembangkan jaringan kerja.
  5. Meningkatkan kesiapan mahasiswa pendidikan keperawatan spesialis komunitas dalam praktik keperawatan komunitas
  6. Merumuskan bentuk pembelajaran keperawatan komunitas yang inovatif
5.3. Regulasi
  1. Mendorong para pengambil kebijakan dan elemen-elemen yang terkait lainnya untuk memberikan perhatian dan dukungan pada model praktik keperawatan komunitas.
  2. Mendorong pemerintah mengeluarkan regulasi yang dapat memberikan jaminan pada penyelenggaraan praktik keperawatan komunitas yang profesional
  3. Mendorong terbentuknya sistem monitoring dan evaluasi yang efisien dan efektif
5.4. Sistem Pelayanan Kesehatan
  1. Memperkenalkan dan meningkatkan sistem praktik keperawatan komunitas sebagai Sub Sistem Kesehatan Nasional
  2. Meningkatkan jaringan kerja pelayanan kesehatan yang berbasis rumah sakit dan masyarakat
  3. Meningkatkan jaringan kerja pelayanan keperawatan komunitas dengan elemen-elemen dalam masyarakat
  4. Mengarahkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada paradigma sehat atau mengutamakan upaya preventif dan promotif
  5. Mempercepat pencapaian Indonesia Sehat 2010 melalui Kabupaten/Kota Sehat, Kecamatan Sehat, dan Desa Sehat.
  6. Menurunkan angka pelayanan di rumah sakit
  7. Membentuk model praktik keperawatan komunitas bagi daerah-daerah lain di Indonesia
  8. Meningkatkan sistem informasi kesehatan masyarakat berbasis pelayanan keperawatan
  9. Meningkatkan jaringan kerja dengan spesialisasi keperawatan lainnya
5.5. Masyarakat
  1. Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan
  2. Meningkatkan pelayanan pasca kesakitan (pasca hospitalisasi) pada masyarakat.
  3. Meningkatkan peran serta aktif individu, keluarga, kelompok khusus, dan masyarakat dalam pengembangan kesehatan masyarakat.
  4. Meningkatkan kapasitas, partisipasi, dan kepemimpinan anggota masyarakat dalam pengembangan kesehatan masyarakat.
  5. Meningkatkan kolaborasi, kemitraan, dan jaringan kerja antar elemen masyarakat dalam pengembangan kesehatan masyarakat.
  6. Meningkatkan pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat dalam hidup berperilaku sehat.
  7. Meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat masyarakat terutama upaya kesehatan mandiri yang bersifat preventif dan promotif.
  8. Menurunkan insidensi penyakit menular berbasis masyarakat dan lingkungan.

6. Implikasi Model pada Pengembangan Kebijakan Keperawatan Komunitas dan Promosi Kesehatan

6.1. Implikasi model pada pengembangan kebijakan keperawatan komunitas


Berdasarkan kompleksitas bidang tugas keperawatan komunitas terutama dalam membangun kolaborasi, kemitraan dan jaringan kerja dengan elemen masyarakat lainnya, maka perlu :
  1. Didorong penyusunan Undang-undang tentang Profesi Perawat
  2. Disusun Kode Etik dan Standar Kompetensi Perawat Spesialis Komunitas Indonesia
  3. Disusun Standar Pelayanan Praktik Keperawatan Komunitas
  4. Disusun Sistem Keperawatan Komunitas termasuk sistem pendidikan berkelanjutan
  5. Dibentuk kolegia perawat spesialis komunitas untuk meningkatkan standar mutu pelayanan
  6. Dibentuk suasana praktik keperawatan komunitas yang berbasis pada penelitian ilmiah
  7. Menyusun integrasi antara sistem pendidikan perawat spesialis komunitas dengan praktik perawat spesialis komunitas.
6.2. Implikasi model pada promosi kesehatan
  1. Meningkatkan peran dan fungsi perawat spesialis komunitas sebagai koordinator, kolaborator, penghubung, advokat, penemu kasus, pemimpin, pemberi pelayanan keperawatan, role model, pengelola kasus, referal resource, peneliti, community care agent dan change agent.
  2. Memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan keperawatan/ kesehatan Individu, keluarga, kelompok, masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan serta pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka kemandirian di bidang keperawatan/ kesehatan
  3. Meningkatnya kolaborasi, kemitraan dan jaringan kerja perawat spesialis komunitas dengan masyarakat maupun elemen masyarakat terkait lainnya.
  4. Meningkatnya upaya preventif dan promotif dibanding upaya kuratif dan rehabilitatif.
  5. Meningkatnya tiga upaya preventif (tindakan pencegahan)
7. Penutup

Fokus praktik keperawatan komunitas adalah individu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat. Pengorganisasikan komponen masyarakat yang dilakukan oleh perawat spesialis komunitas dalam upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatan masyarakat dapat menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat (community development). Intervensi keperawatan komunitas yang paling penting adalah membangun kolaborasi dan kemitraan bersama anggota masyarakat dan komponen masyarakat lainnya, karena dengan terbentuknya kemitraan yang saling menguntungkan dapat mempercepat terciptanya masyarakat yang sehat.

“Model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat” merupakan paradigma perawat spesialis komunitas yang relevan dengan situasi dan kondisi profesi perawat di Indonesia. Model ini memiliki ideologi kewirausahaan yang memiliki dua prinsip penting, yaitu kewirausahaan dan advokasi pada masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan azas keadilan sosial dan azas pemerataan.

Dalam tulisan ini telah disajikan analisis mengenai kemanfaatan model kemitraan keperawatan komunitas terhadap: keperawatan spesialis komunitas, sistem pendidikan keperawatan komunitas, regulasi, sistem pelayanan kesehatan, dan masyarakat serta implikasi model terhadap pengembangan kebijakan keperawatan komunitas dan promosi kesehatan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA:
  1. Anderson, E.T. & J. McFarlane, 2000. Community as Partner Theory and Practice in Nursing 3rd Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
  2. Black, M. 2002. A Handbook on Advocacy – Child Domestic Workers: Finding a Voice. Anti-Slavery International. Sussex, UK: The Printed Word.
  3. Bracht, N. (Ed.). 1990. Health promotion at the community level. Newbury Park, CA: Sage.
  4. Co, M.J. 2004. The Formal Institutional Framework of Entrepreneurship in the Philippines: Lessons for Developing Countries. The Journal of Entrepreneurship, 13 (2): 185-203.
  5. Cohen, E. 1996 Nurse Case Management in the 21st Century. St. Louis: Mosby-Year Book. Inc.
  6. Cohen, D., de la Vega, R., & Watson, G. 2001. Advocacy for Social Justice: A Global Action and Reflection Guide. Bloomfield, CT: Kumarian Press.
  7. Community Health Nurses Association of Canada. 2003. Canadian community health nursing standards of practice. Ottawa: Author.
  8. Depkes RI. 2004a. Kajian Sistem Pembiayaan, Pendataan dan Kontribusi APBD untuk Kesinambungan Pelayanan Keluarga Miskin (Exit Strategy). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
  9. Depkes RI. 2004b. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
  10. Depkes RI. 2005. Kemitraan. Pusat Promosi Kesehatan http://www. promokes.go.id, diunduh pada tanggal 25 September 2005.

"

Pengaruh Umur, Depresi dan Demensia Terhadap Disabilitas Fungsional Lansia (Adaptasi Model Sistem Neuman)

ABSTRACT

Objective To predict the influences of age, depression and dementia on the functional disability of an elderly using Neuman System Model perspectives.
Method The study design was a cross-sectional. 70 elderly was choosen as a subject at Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso and Budi Dharma Province D.I. Yogyakarta. Depression was assessed using the Geriatric Depression Scale 15-Item (GDS-15), dementia was assessed using the Mini-Mental State Examination (MMSE), and functional disability was assessed using the Groningen Activity Restriction Scale (GARS).
Results The mean age was 70.59 (95%CI, 68.97–72.27); 44.3% severe-moderate depressed; 55.7% mild depressed; 11.4% cognitive impairment; 90.0% with activities of daily living (ADL) independently and 10.0% with ADL fully independently but with some difficulty. The correlation analysis at α=0.05 showed that age (r=0.426; r2=18.2%; p=0.000), depression (r=0.313; r2=9.8%; p=0.008), and dementia (r=-0.512; r2=26.2%; p=0,000) had the significant relationship with functional disability of elderly. The multiple linear regressions at α=0.05 showed that regression model was functional disability = 16.906 + 0.223*Age + 0.443*[GDS-15] scores – 0.499*MMSE scores (r=0.609; r2=37.1%; p=0.000).
Conclusions Age, depression and dementia had significant influence to functional disability among elderly. Age, depression and dementia that caused functional disability impairment among elderly can be described as an intra-personal environment that acts like a stressor. Nursing intervention methods that can help prevent depression and dementia need to be established. Furthermore, a comprehensive study on NSM testing is needed.

Key words: age, depression, dementia, functional disability, elderly, Neuman Systems Model


1. Pendahuluan

Kelompok lansia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang berisiko mengalami gangguan kesehatan. Masalah keperawatan yang menonjol pada kelompok tersebut adalah meningkatnya disabilitas fungsional fisik. Disabilitas fungsional pada lansia merupakan respons tubuh sejalan dengan bertambahnya umur seseorang dan proses kemunduran yang diikuti dengan munculnya gangguan fisiologis, penurunan fungsi, gangguan kognitif, gangguan afektif, dan gangguan psikososial.

Lansia yang mengalami depresi akan mengakibatkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-harinya (Miller, 1995; Lueckenotte, 2000; Hall & Hassett, 2002), sedangkan lansia yang mengalami demensia dilaporkan juga memiliki defisit aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dan aktivitas instrument kehidupan sehari-hari (AIKS) (Jorm, 1994). Sebaliknya, keterbatasan lansia dalam memenuhi aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dapat menjadi salah satu faktor penyebab munculnya depresi (Eliopoulos, 1997; Roberts, Kaplan, Shema & Strawbridge, 1997).

Disabilitas fungsional lansia sebagai efek dari perubahan fisiologis (umur depresi dan demensia) memungkinkan untuk dijelaskan melalui Model Sistem Neuman (MSN). Dalam kerangka pikir MSN, realitas seseorang, keluarga, atau komunitas dipandang sebagai subyek yang memiliki aspek multidimensional dan bersifat unik. Sehingga, proses penuaan lansia banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis, psikologis, perkembangan, sosiobudaya dan spiritual (Reed, 1993).

Beberapa penelitian telah mencoba mengaplikasikan kerangka konseptual keperawatan MSN (Lowry & Anderson,1993; Gigliotti,1999; Stepans & Fuller,1999; Villarruel, Bishop, Simpson, Jemmott, & Fawcett, 2001; Fawcett & Gigliotti, 2001; Stepans & Knight; 2002) dalam beberapa kondisi dengan struktur konseptual-teori-empiris. MSN memiliki banyak interrelasi konsep sehingga derivasi teori konseptual tersebut lebih bersifat kontekstual. Oleh karenanya, peneliti mencoba mengintegrasikan proses perubahan disabilitas fungsional lansia dengan MSN sebagai salah satu teori dasar keperawatan komunitas sehingga dapat digunakan sebagai studi pendahuluan terhadap penelitian-penelitian mengenai disabilitas fungsional yang lebih kompleks.

2. Metodologi

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh umur, depresi dan demensia terhadap disabilitas fungsional lansia dalam perspektif MSN. Disabilitas fungsional lansia difokuskan pada keterbatasan lansia dalam pemenuhan kebutuhan AKS dan atau AIKS. Peneliti mencoba memprediksi pengaruh variabel umur sebagai salah satu faktor endogen pada proses penuaan, depresi dan demensia sebagai faktor eksogen terhadap perubahan variabel disabilitas fungsional lansia dengan menggunakan uji regresi linear berganda.

Populasi terjangkau adalah lansia yang rentan mengalami keterbatasan fungsional di panti werdha. Sampel diambil secara acak di dua panti werdha, yaitu: PSTW Abiyoso dan PSTW Budhi Dharma Propinsi D.I. Yogyakarta. Kriteria inklusi responden, yaitu: (1) lansia berusia di atas atau sama dengan 60 tahun; (2) lansia tidak dalam kondisi sakit parah / terminal; dan (3) lansia bersedia menjadi responden. Penentuan besar sampel dilakukan dengan perhitungan pengujian hipotesis untuk sebuah rata-rata populasi (Lemeshow, Hosmer, Klar & Lwanga, 1990) sehingga didapatkan besar sampel 70 responden.

Instrumen Skala Depresi Geriatri/Geriatric Depression Scale 15-Item (GDS-15) (Cordingley, Challis, Mozley, Bagley, Price, Burns, & Huxley, 2000) dan Set Data Minimal Untuk Skala Depresi/Minimum Data Set-based Depression Rating Scale (MDSDRS) (Burrows, Morris, Simon, Hirdes, & Phillips, 2000) digunakan untuk mengukur status depresi lansia, instrumen Penilaian Status Mental Mini/Mini-Mental State Examination (MMSE) (Yellowlees, 2002) dan Kuesioner Singkat Untuk Status Mental/Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) (Roccaforte, Burke, Bayer, & Wengel, 1994) digunakan untuk mengukur status demensia lansia, serta instrumen Skala Keterbatasan Aktivitas Groningen/Groningen Activity Restriction Scale (GARS) (Suurmeijer, Doeglas, Briançon, Krol, Sanderman, Guillemin, Bjelle, & Heuvel, 1994) khusus untuk mengukur disabilitas fungsional lansia.

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, diketahui uji reliabilitas interrater Kappa-Cohen menunjukkan semua alat ukur memiliki kesepatan yang sama (p=0,000). Untuk pengukuran status depresi, peneliti memilih menggunakan GDS-15 (sensitivitas 88,9%; spesifisitas 47,8%) karena memiliki tingkat akurasi (sensitivitas dan spesifisitas maksimum) lebih tinggi dibanding MDSDRS (sensitivitas 42,9%; spesifisitas 100,0%). Peneliti memilih alat ukur MMSE (sensitivitas 100,0%; spesifisitas 90,0%) untuk mengukur status demensia lansia karena akurasinya lebih tinggi dibanding alat ukur SPMSQ (sensitivitas 85,0%; spesifisitas 75,0%). Sedangkan alat ukur GARS tidak menggunakan alat ukur pembanding sehingga peneliti memilih GARS untuk mengukur status disabilitas fungsional lansia.

Berdasarkan hasil uji statistik, peneliti selanjutnya melakukan analisis deskriptif untuk menjelaskan disabilitas fungsional lansia sebagai mekanisme respons perubahan variabel umur, depresi, dan demensia dalam perspektif MSN. Interpretasi interaksi antara lansia dengan lingkungannya dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) menyusun model teoritis hubungan stresor (umur, status depresi, dan status demensia) dan respons (disabilitas fungsional), dan (2) menyusun matriks proses keperawatan berdasarkan kerangka kerja MSN.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia memiliki umur paling rendah 60 tahun dan maksimum berusia 90 tahun. Rata-rata umur responden di kedua panti wredha adalah 70,59 tahun (interval kepercayaan 95%: 68,97 – 72,27). Sebagian besar (55,7%) responden berjenis kelamin perempuan sedangkan sisanya (44,3%) adalah lansia pria. Sebagian besar (48,4%) responden tidak pernah mengenyam bangku sekolah di tingkat mana pun sedangkan 42,9% lainnya hanya mengenyam pendidikan sampai setingkat sekolah dasar atau sekolah rakyat. Sebagian kecil dari responden yang memiliki pendidikan terakhir setingkat SLTP. Status janda memiliki proporsi terbesar (50,0%) diantara responden di PSTW Abiyoso dan PSTW Budi Dharma. Persentase lansia duda hanya 40,0%, namun ada sebagian kecil (10,0%) dari mereka yang sama sekali belum menikah.

Berdasarkan observasi di lokasi penelitian diketahui bahwa sebagian besar (67,1%) lansia belum memiliki keterbatasan fisik namun sudah dijumpai sebagian kecil responden mengalami keterbatasan fisik. Dua puluh tiga responden yang mengalami keterbatasan fisik umumnya menggunakan alat bantu, yaitu : tongkat 69,6%, kacamata 21,7%, kruk 4,3%, dan tripod 4,3%. Setelah disabilitas fungsional lansia diukur menggunakan Skala GARS dengan rentang nilai 17-68, maka hasil pengukuran didapatkan nilai minimum 17 dan nilai maksimum 36 dengan rata-rata skor sebesar 21,89 (IK95%: 20,55-23,23).

Status depresi lansia diukur oleh peneliti dengan menggunakan instrumen terstruktur GDS-15 dengan rentang nilai 0 s.d. 15. Hasil pengukuran didapatkan nilai minimum 0 dan nilai maksimum 9, dari rentang tersebut diketahui rata-rata skor yang didapatkan adalah 3,63 (IK95%: 3,03-4,22). Status demensia lansia diukur menggunakan instrumen MMSE dengan rentang nilai 0 - 30. Hasil pengukuran didapatkan nilai minimum 14 dan nilai maksimum 30, dari rentang tersebut diketahui rata-rata skor yang didapatkan adalah 24,84 (IK95%: 23,83-25,86).

3.2. Hubungan variabel depresi, umur, dan demensia dengan disabilitas fungsional

Berdasarkan hasil analisis statistik ternyata kombinasi umur, status depresi dan status demensia memiliki pengaruh yang kuat (r=0,609) terhadap disabilitas fungsional. Variabel demensia menyumbang variasi disabilitas fungsional lansia tertinggi (Beta standardized = -0,378) dibanding variabel umur (Beta standardized = 0,272), dan variabel depresi (Beta standardized = 0,196). Perhitungan determinasi koefisien korelasi (r2) model regresi menghasilkan nilai 0,371 sehingga dapat dikatakan bahwa model regresi memberikan sumbangan efektif terhadap variasi skor GARS lansia sebesar 37,1% sedangkan sisanya (62,9%) merupakan kontribusi faktor-faktor lainnya, yaitu : perilaku tak sehat, dukungan sosial kurang, dan peningkatan risiko morbiditas secara fisik (Lenze, et al., 2001).

Pembahasan berikut adalah keterkaitan kombinasi ketiga variabel terhadap disabilitas fungsional lansia. Pertama, status demensia merupakan faktor utama pada kasus disabilitas fungsioanal lansia. Temuan tersebut sejalan dengan studi McGuire, Ford, dan Ajanivi(2006), bahwa gangguan fungsi kognitif memiliki risiko yang lebih berat dibanding gangguan fungsi afektif. Fungsi kognitif ditemukan sebagai indikator mortalitas dan terdapat pada banyak kasus disabilitas fungsional. Perubahan fungsi kognitif terlihat sebagai gejala awal faktor neurologis dan medis sebelum manifestasi gangguan perilaku sosial muncul (gangguan AKS, gangguan perilaku okupasional, dan gangguan partisipasi sosial)

Kedua, proses penuaan secara normal (penuaan primer) berhubungan dengan kemunduran kapasitas fisiologis, misalnya kekuatan otot, kapasitas aerobik, koordinasi neuromotorik, dan fleksibilitas. Peningkatan disabilitas fungsional yang terkait dengan usia tersebut memiliki risiko terhadap aktivitas fisik yang terbatas. Namun beberapa penelitian Lunney, Lynn & Hogan, 2002; Lunney, Lynn, Foley, Lipson & Guralnik, 2003; Leon, Glass, & Berkman, 2003, menegaskan bahwa proses penuaan sekunder (faktor eksogen) lebih mempercepat proses disabilitas fungsional lansia dibanding penuaan primer (faktor endogen).

Ketiga, relevan dengan penelitian Lenze et al. (2001) serta Penninx, Guralnik, Ferrucci, Simonsick, Daeg dan Wallace (1998) bahwa mekanisme pengaruh depresi terhadap disabilitas fisik dapat dibagi menjadi dua penyebab, yaitu : (1) depresi menyebabkan peningkatan risiko disabilitas fisik dan (2) disabilitas fisik menyebabkan depresi. Depresi di kalangan lansia yang tinggal di panti wredha cenderung mengarah pada kondisi yang kronis, karena potensi diri dan dukungan sosial dari lingkungannya kurang adekuat untuk mengembalikan pada kondisi semula. Pada akhirnya, depresi kronis menyebabkan terganggunya fungsi organ sehingga muncul disabilitas fungsional.

Peneliti menemukan beberapa keterbatasan fisik yang berisiko menimbulkan gejala depresi, misalnya: gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan mobilisasi, kesulitan berpakaian, berjalan terganggu, kesulitan toileting, kesulitan mandi, kesulitan merapikan diri, pola tidur terganggu, kelemahan otot ekstrimitas bawah, dan kelemahan otot ekstrimitas atas (lihat Tabel 2). Ketidaksesuaian antara keinginan dengan fungsi psikomotor dapat mengakibatkan depresi.

Akhirnya, kombinasi ketiga variabel bebas tersebut di atas akan bersifat sinergis terhadap munculnya gejala disabilitas fisik lansia. Model regresi tersebut konsisten dengan temuan berbagai studi Harris, Kovar, Suzman, Kleinman, dan Feldman, 1989; Guralnik, La Croix, dan Abbott, 1993; Rozzini, Frisoni, Ferrucci, Barbisoni, Bertozzi, dan Trabucchi, 1997; Andersen-Ranberg, Christensen, Jeune, Skytthe, Vasegaard, dan Vaupel, 1999; Lee dan Shinkai, 2003; Jitapunkul, Kunanusont, Phoolcharoen, Suriyawongpaisal, dan Ebrahim, 2003; Gool, Kempen, Penninx, Deeg, Beekman, dan Eijk 2003; Furner, Giloth, Arguelles, Miles dan Goldberg, 2004. Dari uraian tersebut kiranya dapat dikatakan bahwa kombinasi umur, status depresi, dan status demensia telah terbukti memiliki hubungan yang bermakna (F=12,997; p=0,000) dengan disabilitas fungsional lansia di PSTW Abiyoso dan PSTW Budi Dharma. Artinya skor GARS atau tingkat disabilitas lansia dapat diprediksi melalui formula : Disabilitas Fungsional Lansia = 16,906 + 0,223*Umur + 0,443*Skor [GDS-15] - 0,499*Skor MMSE.

3.3. Hubungan stresor depresi, umur, dan demensia dengan respons disabilitas fungsional

Urutan besar pengaruh stresor demensia, umur, dan depresi terhadap disabilitas fungsional direpresentasikan dengan besar ukuran panah ketika mempenetrasi ke dalam garis pertahanan klien (Skema 1). Masing-masing garis pertahanan memiliki variabel-variebel fisiologis, psikologis, sosio-budaya, spiritual, dan perkembangan. Demensia, umur dan depresi dalam konteks penelitian ini, memainkan peran penting dalam perubahan variabel fisiologis lansia.

Skema 1.
Model teoritis hubungan stresor demensia, depresi dan umur

dengan respons disabilitas fungsional pada lansia

Faktor antioksidan, sistem kekebalan tubuh, kondisi membrane mukosa dan silia epitel yang berperan sebagai penghalang (barrier) masuknya bibit penyakit merupakan variabel-varibel yang menjaga Garis Pertahanan Fleksibel (GPF) sistem klien. Apabila GPF sukses memberikan proteksi bagi sistem klien maka lansia memiliki kondisi kesehatan yang prima dan produktif (menua aktif). Apabila, stressor berhasil melakukan penetrasi pada ring sistem berikutnya, maka lansia mengalami suatu kondisi yang dapat disejajarkan dengan proses menua patologis atau lansia memiliki risiko mengalami disabilitas fungsional tidak sesuai dengan umur kronologisnya.
Pertahanan berikutnya berada pada Garis Pertahanan Normal (GPN) yang didukung oleh sistem tubuh yang berfungsi secara normal, yaitu: sistem persyarafan, respirasi, kardiovaskuler, perkemihan, integumen, gastrointestinal, muskuloskeletal, penginderaan. Apabila upaya pemulihan (rekonstitusi) sistem klien berhasil mempertahankan diri dari penetrasi stresor maka klien akan kembali kepada kondisi sebelumnya dan kembali memiliki kapasitas fungsional yang sehat.

Apabila GPN tidak bisa membendung penetrasi stressor maka Garis Perlawanan (GP) melakukan aktifasi mekanisme keseimbangan (kompensatori) dan atau perubahan fungsi sistem. Apabila mekanisme kompensatori GP tidak berhasil, maka akan muncul respon disabilitas fungsional pada lansia.

3.4. Matriks proses keperawatan

Matriks proses keperawatan disusun berdasarkan integrasi MSN ke dalam proses keperawatan dengan tetap berpedoman pada model teoritis (Skema 1). Fawcett (2004) menegaskan MSN dapat diaplikasikan pada berbagai area keperawatan dan pemanfaatannya masih bersifat kontekstual sehingga masih diperlukan interpretasi lebih lanjut.

Keterbatasan dan Implikasi Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, sebagai berikut : (1) Peneliti tidak dapat mengambil variabel-variabel yang kemungkinan memiliki keterkaitan dengan disabilitas fungsional lansia secara komprehensif sehingga peneliti hanya memanfaatkan data penelitian yang telah dikumpulkan dari tahap pre-test; (2) Penelitian ini hanya menggambarkan karakteristik lansia yang tinggal di panti wredha sehingga kurang menggambarkan karakteristik populasi lansia secara keseluruhan; dan (3) Instrumen GARS belum dilakukan uji validitas muka kepada ahli atau uji re-translate.

Penelitian ini memiliki implikasi yang penting bagi ranah pelayanan, pendidikan dan penelitian keperawatan. Perawat perlu mengaplikasikan model konseptual MSN dalam proses keperawatan sesuai dengan ranah pelayanannya (individu, keluarga, atau komunitas). Perawat perlu mengembangkan instrumen pengukuran berdasarkan konsep MSN dengan memperhatikan aspek kesederhanaan, kemudahan, akurasi (valid dan reliabel), serta cocok untuk diaplikasikan sesuai dengan kondisi setempat. Intervensi keperawatan merupakan upaya fasilitasi perawat terhadap klien untuk mengembalikan keseimbangan dalam dirinya (rekonstitusi) sehingga perawat perlu menggunakan pendekatan prevensi primer, sekunder dan tersier. Peneliti keperawatan perlu meningkatkan kemampuan diri dalam menganalisis model konseptual keperawatan. Mengingat, mengadaptasi MSN sebagai grand theory untuk menjelaskan konsep-konsep yang umum digunakan dalam dunia keperawatan, perlu diderivasi dengan menggunakan teori-teori lain (middle range theory) dan diterjemahkan melalui instrumen empiris.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh umur, status depresi dan status demensia terhadap disabilitas fungsional lansia di PSTW Abiyoso dan PSTW Budi Dharma dapat disimpulkan bahwa : (1) kombinasi umur, status depresi dan status demensia dapat digunakan untuk memprediksi disabilitas fungsional lansia dengan persamaan regresi, sebagai berikut : Disabilitas Fungsional Lansia (Skor GARS) = 16,906 + 0,223*Umur + 0,443*Skor GDS15 - 0,499*Skor MMSE; (2) kontribusi terbesar variabel bebas terhadap variasi disabilitas fungsional lansia berturut-turut adalah demensia, umur dan depresi. Temuan penelitian sejalan dan memperkuat berbagai studi tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap disabilitas fungsional pada lansia; dan (3) dalam perspektif MSN, penyebab penurunan disabilitas fungsional: status demensia, umur, dan status depresi dapat dijelaskan sebagai stresor. Respon terhadap stresor diartikan sebagai proses rekonstitusi. Intervensi untuk membantu lansia memperbaiki dan mengoptimalkan disabilitas fungsional fisiknya dikategorikan sebagai upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier.

Peneliti mengharapkan perawat dapat menggunakan proses keperawatan berdasarkan aplikasi MSN di semua area keperawatan, baik pada tataran pelayanan individu, keluarga, kelompok khusus maupun komunitas. Perawat perlu melakukan upaya-upaya prevensi untuk mengurangi risiko disabilitas fisik pada lansia, sebagai berikut: (1) Prevensi primer dengan memperkuat GPF atau memberikan pendidik-an kesehatan kepada lansia dan keluarga tentang: menurunkan risiko stress, latihan kebugaran secara rutin dan teratur, latihan Gerak Latih Otak (GLO), mengaktifkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial ke-masyarakatan, mencari teman berdiskusi atau mengobrol, meman-faatkan pelayanan kesehatan, memanfaatkan asuransi kesehatan/ jaminan sosial, meningkatkan praktek ibadah sehari-hari; (2) Prevensi sekunder dengan memperkuat GP internal atau melakukan intervensi keperawatan dengan penemuan kasus secara dini dan penatalaksanaan gejala awal demensia dan depresi yang muncul; dan (3) Prevensi tersier dengan melindungi upaya rekonstitusi lansia, yaitu: mendorong lansia untuk patuh mengikuti program pengobatan dan rehabilitasi, pendidikan kesehatan kepada lansia dan keluarga untuk mencegah kasus terulang dan melihara stabilitas klien.

Pengelola panti wredha perlu memberikan Senam Gerak Latih Otak, terapi lingkungan (milleu therapy), terapi perilaku (Cognitive Behavior Therapy) untuk memulihkan daya ingat lansia, sedangkan psikoterapi untuk memulihkan status depresinya. Organisasi profesi keperawatan perlu menyusun kompetensi profesi perawat komunitas dan perawat gerontik serta mengembangkan program pendidikan berkelanjutan bagi perawat profesional untuk meningkatkan kompetensi perawat komunitas dalam perawatan lansia.

CATATAN:
Untuk permintaan hasil penelitian selengkapnya dapat didownload dari linkage berikut:
1. Halaman Depan
2. BAB I
3. BAB II
4. BAB II (Kerangka Teori)
5. BAB III
6. BAB IV
7. BAB V
8. BAB VI
9. BAB VII
10. Daftar Pustaka
11. Lampiran
12. Publikasi
13. My CV

Kepustakaan :

  1. Andersen-Ranberg, K., Christensen, K., Jeune, B., Skytthe, A., Vasegaard, L., & Vaupel, J.W. (1999). Declining Physical Abilities with Age: a Cross-sectional Study of Older Twins and Centenarians in Denmark. Age and Ageing, 28: 373-377.
  2. Burrows, A.B., Morris, J.N., Simon, S.E., Hirdes, J.P., & Phillips, C. (2000). Development of a Minimum Data Set-based depression rating scale for use in nursing homes. Age and Ageing, 29: 165-172.
  3. Eliopoulos, C. (1997). Gerontological Nursing, Philadelphia: Lippincott-Raven Pub.
  4. Fawcett, J. (2004). Conceptual Models of Nursing: International in Scope and Substance? The Case of the Neuman Systems Model. Nursing Science Quarterly, 17(1): 50-54.
  5. Fawcett, J. & Gigliotti, E. (2001). Using Conceptual Models of Nursing to Guide Nursing Research: The Case of the Neuman Systems Model. Nursing Science Quarterly, 14(4): 339-345.
  6. Furner, S.E., Giloth, B.E., Arguelles, L., Miles, T.P., & Goldberg, J.H. (2004). A Co-Twin Control Study of Physical Function in Elderly African American Women. Jou Aging and Health, 16(1): 28-43.
  7. Gigliotti, E. (1999). Women’s Multiple Role Stress: Testing Neuman’s Flexible Line of Defense. Nursing Science Quarterly, 12(1): 36-44.
  8. Gool, C.H., Kempen, G.I.J.M., Penninx, B.W.J.H., Deeg, D.J.H., Beekman, A.T.F., & van Eijk, J.T.M. (2003). Relationship between changes in depressive symptoms and unhealthy lifestyles in late middle aged and older persons: results from the Longitudinal Aging Study Amsterdam. Age and Ageing, 32: 81-87.
  9. Guralnik, JM., La Croix, A., & Abbott, RD. (1993). Maintaining Mobility in Late Life. Demographic Characteristics and Chronic Conditions. Am J Epidemiol, 137:845-857.
  10. Harris, T., Kovar, M.G., Suzman, R., Kleinman, J.C., & Feldman, J.J. (1989). Longitudinal Study of Physical Ability in the Oldest-old. Am J Public Health, 79: 698-702.
  11. Hall, K.A. & Hassett, A.M. (2002). MJA Practice Essentials — Mental Health : 13. Assessing and managing old age psychiatric disorders in community practice, Med. Jou. of Australia. http://www.mja.com.au. Diunduh pada tanggal 14 November 2003.
  12. Jitapunkul, S., Kunanusont, C., Phoolcharoen, W., Suriyawongpaisal, P., & Ebrahim, S. (2003). Disability-free life expectancy of elderly people in a population undergoing demographic and epidemiologic transition. Age and Ageing, 32: 401-405.
  13. Jorm, A.F. (1994). Disability in dementia: assessment, prevention, and rehabilitation. Disabil Rehabil., 16: 98–109.
  14. Lee, Y. & Shinkai, S. (2003). A comparison of correlates of self-rated health and functional disability of older persons in the Far East: Japan and Korea. Archives of Gerontology and Geriatrics, 37(1): 63-76.
  15. Lemeshow S., Hosmer Jr. D.W., Klar J., & Lwanga S.K. (1990). Adequacy of Sample Size in Health Studies. Chichester : John Wiley & Sons Ltd.
  16. Lenze, E.J., Rogers, J.C., Martire, L.M., Mulsant, B.H., Rollman, B.L., Dew, M.A., Schulz, R., & Reynolds III, C.F. (2001).
  17. The Association of Late-Life Depression and Anxiety With Physical Disability A Review of the Literature and Prospectus for Future Research. Am J Geriatr Psychiatry, 9:113–135.
  18. Leon, C.F.M., Glass, T.A., & Berkman, L.F. (2003). Social Engagement and Disability in a Community Population of Older Adults. Am J Epidemiol, 157(7):633–642.
  19. Lowry, L.W. & Anderson, B. (1993). Neuman's Framework and Ventilator Dependency: A Pilot Study. Nursing Science Quarterly, 6(4): 195-200.
  20. Lueckenotte, A.G. (2000). Gerontologic Nursing. St. Louis: Mosby-Year Book Inc.
  21. Lunney, JR., Lynn, J., Foley, DJ., Lipson, S., & Guralnik, JM. (2003). Patterns of Functional Decline at the End of Life. JAMA, 289(18): 2387-2392.
  22. Lunney, J.R., Lynn, J., & Hogan, C. (2002). Profiles of Older Medicare Decedents. J Am Geriatr Soc, 50: 1108-1112.
  23. McGuire, L.C., Ford, E.S., & Ajani, U.A. (2006). Cognitive Functioning as a Predictor of Functional Disability in Later Life. Am J Geriatr Psychiatry, 14(1): 36-42.
  24. Miller, C.A. (1995). Nursing Care of Older Adults Theory and Practice (2nd ed.). Philadelphia : JB. Lippincott Co.
  25. Neuman, B. & Fawcett, J. (2002). The Neuman systems model (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
  26. Penninx, B.W.J.H., Guralnik, J.M., Ferrucci, L., Simonsick, Daeg, & Wallace. (1998). Depressive Symptoms and Physical Decline in Community-Dwelling Older Persons. JAMA, 279(21): 1720-1726.
  27. Reed, K.S. (1993). Adapting the Neuman System Model for Family Nursing. Nursing Science Quarterly, 6: 93-97.
  28. Roberts, R.E., Kaplan, G.A., Shema, S.J., & Strawbridge, W.J. (1997). Does growing old increase the risk for depression?. Am J Psychiatry, 154(10):1384-1390.
  29. Roccaforte, W.H., Burke, W.J., Bayer, B.L., & Wengel, S.P. (1994). Reliability and validity of the Short Portable Mental Status Questionnaire administered by telephone. J Geriatr Psychiatry Neurol, 7(1): 33-38.
  30. Rozzini, R., Frisoni, G.B., Ferrucci, L., Barbisoni, P., Bertozzi, B., & Trabucchi, M. (1997). The effect of chronic diseases on physical function. Comparison between activities of daily living scales and the Physical Performance Test. Age and Ageing, 26: 281-287.
  31. Stepans, M.B.F. & Fuller, S. G. (1999). Measuring infant exposure to environmental tobacco smoke. Clinical Nursing Research, 8(3): 198-218.
  32. Stepans, M.B.F. & Knight, J.R. (2002). Application of Neuman’s Framework: Infant Exposure to Environmental Tobacco Smoke. Nursing Science Quarterly, 15(4): 327-334.
  33. Sutcliffe, C., Cordingley, L., Challis, D., Mozley, C., Bagley, H., Price, L., Burns, A., & Huxley P. (2000). A new version of the geriatric depression scale for nursing and residential home populations: The Geriatric Depression Scale (Residential) (GDS-12R). International Psychogeriatrics, 12: 173-181.
  34. Suurmeijer, Th.B.P.M, Doeglas, D.M., Mourn T., Briançon, S., Krol, B., Sanderman, R., Guillemin, F., Bjelle, A., & Heuvel, W.J.A. (1994). The Groningen Activity Restriction Scale for measuring disability: Its utility in international comparisons. Am J Public Health, 84: 1270-1273.
  35. Villarruel, A.M., Bishop, T.L., Simpson, E.M., Jemmott, L.S., & Fawcett, J. (2001). Borrowed Theories, Shared Theories, and the Advancement of Nursing Knowledge. Nursing Science Quarterly, 14(2): 158-163.
  36. Yellowlees, P. (2002). MJA Practice Essentials — Mental Health : 1. Psychiatric assessment in community practice, Med. Jou. of Australia. http://www.mja.com.au. Diunduh pada tanggal 14 November 2003.

Blog Archive