Wednesday, May 19, 2010

Hubungan tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader posyandu di kampung

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peran serta masyarakat merupakan hal yang mutlak perlu dalam pembangunan kesehatan, karena kesehatan merupakan kebutuhan dan hak setiap insan agar dapat menjalani hidup yang produktif dan berbahagia. Hal ini hanya dapat dicapai bila masyarakat, baik secara individual kelompok, berperan serta untuk meningkatkan kemampuan hidup sehatnya (Depkes RI, 1990/1991: Q-1). Hasil pengamatan, pengalaman lapangan sampai peningkatan cakupan program yang dikaji secara statistik, semuanya membuktikan bahwa peran serta masyarakat amat menentukan terhadap keberhasilan, kemandirian dan kesinambungan pembangunan kesehatan (Depkes RI, 2005 : 1).
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar utamanya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Depkes RI, 2005 : 02).
Sejak dicanangkannya Posyandu pada tahun 1986, berbagai hasil telah banyak dicapai. Angka kematian ibu dan kematian bayi telah berhasil diturunkan dan umur harapan hidup rata-rata bangsa Indonesia telah meningkat secara bermakna. Jika tahun 1995 Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masing-masing adalah 373/100.000 kelahiran hidup (SKRT 1995) serta 60/100 kelahiran hidup (Susenas 1995), maka pada tahun 2003 AKI turun mejadi 307/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2003), sedangkan AKB turun menjadi 37/1000 kelahiran hidup (SDKI, 2003). Sementara itu umur harapan hidup rata-rata meningkat dari 63,20 tahun pada tahun 1995 menjadi 66,2 tahun pada tahun 2003 (SDKI, 2003). (Depkes RI, 2005 : 03).
Pada saat posyandu dicanangkan tahun 1986, jumlah posyandu tercatat sebanyak 25 Posyandu, sedangkan pada tahun 2004, meningkat menjadi 238.699 Posyandu. Namun bila ditinjau dari aspek kualitas masih ditemukan banyak masalah, antara lain kelengkapan sarana dan keterampilan kader yang belum memadai (Depkes RI, 2005 : 03).
Kader adalah orang-orang yang berasal dari masyarakat yang dengan sukarela bersedia ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan menuju kepeningkatan kesehatan masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak Posyandu yang kinerjanya menurun, yang disebabkan antara lain karena faktor kader yang kurang berfungsi (Depkes RI, 2005: VII). Banyak faktor yang mempengaruhi peran serta kader dalam kegiatan Posyandu, diantaranya faktor tingkat pengetahuan kader dan tingkat ekonomi keluarga kader. Rendahnya pengetahuan kader sehingga berpengaruh terhadap penurunan kinerja Posyandu yang berhubungan dengan peran sertanya di Posyandu (http://www.iinaza.wordpress.com). Sedangkan rendahnya tingkat ekonomi keluarga sehingga waktu dan kosentrasi kader lebih terpusat terhadap masalah ekonomi keluarganya (http://www.groups.yahoo.com)
Berdasarkan pengalaman saat PKL PKMD pada bulan Desember 2007 dan studi pendahuluan yang dilakukan di Kampung Putra Buyut Lampung Tengah pada bulan Maret 2008, di peroleh data jumlah kader di empat Posyandu sebanyak 20 orang. Namun pada kenyataannya dari 2 Posyandu yang diamati, masing-masing hanya 1 dan 2 orang kader yang aktif berperan dalam kegiatan Posyandu tersebut.
berdasarkan uraian masalah di atas penulis termotivasi untuk meneliti hubungan pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka penulis merumuskan masalah penelitiannya:
1. Bagaimanakah gambaran pengetahuan, tingkat ekonomi keluarga, dan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah?
2. Adakah hubungan tingkat pengetahuan dengan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah?
3. Adakah hubungan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah?

C. Ruang lingkup Penelitian
Adapun yang menjadi ruang lingkup dari penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader posyandu adalah:
1. Sifat penelitian deskriptif korelatif dengan rancangan cross sectional.
2. Subjek penelitian ini adalah kader Posyandu
3. Objek penelitian adalah tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut.
4. Lokasi penelitian di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah
5. Waktu penelitian dimulai pada tanggal 26 Mei sampai dengan 27 Mei 2008

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, tingkat ekonomi keluarga, dan peranserta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah.
2. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah.
3. Untuk mengetahui hubungan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Untuk menerapkan ilmu pengetahuan tentang metodologi penelitian dalam penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader Posyandu.
2. Bagi Kampung Putra Buyut dan Puskesmas Gunung Sugih
Sebagai bahan evaluasi mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi peran serta kader Posyandu khususnya tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan variabel-variabel yang belum di teliti dan dengan memperbesar sampel.

Hubungan kejadian pneumonia pada balita dengan status pemberian vitamin A di poliklinik anak

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa adalah tingginya angka harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan perkembangannya yang cukup baik, makin tinggi usia harapan hidup pada waktu lahir orang Indonesia akan mencapai 70 tahun atau lebih pada tahun 2015-2020 (FKUI, 1999 : iv). Usia harapan hidup untuk pria 76 tahun dan wanita 82 tahun (WHO, 1995:15). Di Lampung usia harapan hidup penduduknya pada tahun 2004 mencapai 67,6 tahun, sedangkan Lampung Timur adalah 69,3 tahun (Dinkes Propinsi, 2004).
Meningkatnya usia harapan hidup bagi masyarakat mempunyai beberapa konsekuensi yaitu antara lain akan timbulnya berbagai masalah kesehatan. Khususnya bagi wanita didalam daur hidupnya akan mengalami berbagai masalah kesehatan terutama pada masa menopause dan pasca menopause (Baziad, 2000:35). Salah satu masalah kesehatan yang bisa terjadi pada masa menopause adalah osteoporosis.
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang paling banyak menyerang wanita yang telah menopause (Irawati, 2002:47).Akibat yang biasa terjadi dari osteoporosis adalah ketika tulang punggung menjadi lemah, maka akan mudah jatuh dan retak, apalagi jika disertai dengan patah tulang (fraktur).
Waktu menopause produksi estrogen dalam tubuh wanita mengalami penurunan yang drastis. Diantara banyak fungsinya estrogen memainkan peranan utama dalam melestarikan kekuatan tulang melalui kalsifikasi atau pemberian kalsium yang terus menerus. Dengan turunnya kadar estrogen, hormon yang berperan dalam proses ini yaitu vitamin D dan PTH (Parathyroid Hormone) menurun sehingga proses pematangan sel tulang (osteoblast) terhambat. Apabila ini berlanjut terus, maka penyerapan tulang dalam tubuh akan lebih cepat daripada pembentukan dalam tulang sehingga tulang menjadi lebih lunak, lebih lemah dan lebih mudah patah (Rachman, 2000:13).
Osteoporosis dapat terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, mengkonsumsi alkohol dan kurangnya aktifitas yang dilakukan sehari-hari mulai anak-anak sampai dewasa, serta minimnya pengetahuan masyarakat mengenai cara pencegahan osteoporosis terbukti dengan rendahnya konsumsi kalsium rata-rata di Indonesia yang hanya 254 mg perhari dari 1000-1200 mg perhari menurut standar internasional. Hal ini ditambah kenyataan bahwa gejala osteoporosis sering kali tidak menimbulkan gejala (silent desease), namun seringkali menunjukkan gejala klasik berupa nyeri punggung akibat fraktur kompresi dari satu atau lebih vertebrata (www.@promokes.go.id, 2006).
Berdasarkan data terbaru dari IOF (International Osteoporosis Foundation) menyebutkan sampai tahun 2000 ini diperkirakan 200 juta wanita mengalami osteoporosis (Hartono, 2000:2). Wanita 2-3 kali lebih banyak menderita osteoporosis dibandingkan laki-laki dengan prevalensi lebih kurang 35% wanita pasca menopause menderita osteoporosis dan 50% ostopenia (Baziad, 2003:75). Berdasarkan analisa data Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada 14 propinsi menunjukkan masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7 %. (www.Depkes.go.id, 2005).
Menurut laporan SP2TP tahun 2004 di Propinsi Lampung osteoporosis yang merupakan salah satu penyakit tulang dan jaringan pengikat menempati urutan ke-5 dari 10 (sepuluh) besar penyakit pada tahun 2004 dengan jumlah kasus 126.304 (9,32%) (Dinkes Propinsi, 2004). Dari beberapa Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung, kasus penyakit osteoporosis lama dan baru yang ada di daerah Lampung Timur pada triwulan IV tahun 2005 menempati urutan ke-3 dari jumlah penyakit terbanyak yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Timur sebanyak 4059 kasus (8,25%) (LB1 Dinkes Lampung Timur). Untuk wilayah Puskesmas Purbolinggo, penyakit tulang menempati urutan ke-2 sebanyak 143 kasus (8,1%) dari penyakit terbanyak pada bulan Januari 2006. Sedangkan pada bulan Februari 2006 menempati urutan ke-3 sebanyak 109 kasus (7,1%) (Seksi Puskesmas Lampung Timur).
Berdasarkan studi pendahuluan di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur terdapat jumlah wanita berdasarkan golongan umur 46-50 tahun yaitu 151 orang (7,6%) (data desa Taman Bogo tahun 2005). Dari hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 10 orang wanita pramenopause, ternyata ada 6 orang (60%) tidak tahu tentang osteoporosis yang mungkin akan terjadi pada masa menopause. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian mengenai pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis yang terjadi pada masa menopause di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur tahun 2006?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat tahu.
b) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat paham.
c) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat aplikasi.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Studi Deskriptif
2. Obyek Penelitian : Tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis.
3. Subyek penelitian : Wanita yang berusia 46-50 tahun di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
4. Lokasi penelitian : Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
5. Waktu Penelitian : Bulan April – Mei 2006.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Petugas Pelaksana Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penyuluhan kepada wanita pramenopause tentang osteoporosis pada masa menopause.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan informasi untuk penelitian berikutnya.

Hubungan faktor lingkungan, tempat tinggal, teman sebaya dan orang tua dengan penyalahgunaan narkotika psikotropika zat aditif lainnya (NAPZA) pada re

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diera komunikasi sekarang ini, perubahan – perubahan sosial yang terjadi kita rasakan begitu cepatnya. Dalam waktu yang relatif singkat telah terjadi perubahan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sesuai dengan cita – cita Bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang madani, ternyata perubahan – perubahan tersebut telah memberikan pengaruh baik positif maupun negatif. Di satu sisi kehidupan demokratis dapat dirasakan dan di sisi lain bahaya dan ancaman terhadap bangsa Indonesia juga semakin meningkat.
Salah satu permasalahan sosial yang tengah kita hadapi saat ini adalah berkembangnya penyalahgunaan narkoba, psykotropika zat adiktif lainnya (Napza). Masalah penyalahgunaan Napza ini telah terjadi permasalahan nasional, bahkan internasional, mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh adanya penyalahgunaan narkotika ini, maka sikap bangsa Indonesia secara sadar telah menentukan sikap untuk memeranginya, karena bahaya narkotika dapat menghancurkan peradaban manusia.
Ancaman bahaya penyalahgunaan narkotika serta peredaran gelap Narkotika dapat menjadi penghambat bagi pembangunan sumberdaya manusia, dan ini perlu untuk segera ditanggulangi secara bersama oleh seluruh bangsa Indonesia.Penyalahgunaan narkotika itu sendiri berhubungan dengan beberapa faktor yaitu : faktor individu, faktor obat, dan faktor lingkungan.
Ada banyak alasan orang menggunakan Napza, pada awalnya ada yang hanya coba – coba atau sekedar ingin tahu, lama kelamaan mengalami ketergantungan keluarga akan muncul berbagai masalah. Selain itu pengguna Napza banyak mengalami benturan masa depan serta dalam kehidupan sosial (Kusminarno, 2002).
Kebersihan pembangunan telah memperlihatkan hasil yang cukup menggembirakan khususnya pembangunan di bidang kesehatan yang ditandai dengan semakin membaiknya status kesehatan masyarakat Indonesia, antara lain meningkatnya umur harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi dan balita. Keberhasilan pembangunan dibidang kesehatan ini telah membawa perubahan struktural dari usia anak ke usia remaja. “jumlah penduduk yang termasuk dalam kaum muda (young people) 10 – 24 tahun di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, adalah 31,2% dari jumlah penduduk.”
Jumlah penduduk remaja yang besar tersebut merupakan potensi sumberdaya manusia yang sangat berharga bila dapat dilakukan pembinaan dengan baik seperti yang tercantum dalam Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1994 – 2004 bahwa pembinaan anak dan generasi muda dilaksanakan dengan mengembangkan iklim yang kondusif agar dapat mengaktualisasikan segala potensi, bakat dan minat dengan memberikan kesempatan dan kebebasan dan mengorganisasikan dirinya secara bebas dan merdeka sebagai wahana pendewasaan untuk menjadi pemimpin bangsa yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, patriotis, demokratis, mandiri dan tanggap terhadap aspirasi rakyat. Sebaliknya bila potensi yang besar tersebut tidak dilakukan pembinaan dengan baik akan menimbulkan permasalahan remaja seperti yang terjadi saat ini, antara lain penyalahgunaan narkotika, kenakalan remaja, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) dan permasalahan lainnya yang sangat berpengaruh terhadap kesiapan remaja menghadapi kehidupannya di masa depan. Selanjutnya dalam GBHN dinyatakan bahwa seluruh anak dan remaja harus dihindari dari bahaya destruktif terutama bahaya penyalahgunaan narkotika, obat – obatan terlarang, zat adiktif serta perilaku yang menyimpang (GBHN, 1999 – 2004) oleh karena itu keberlangsungan hidup anak, kesehatan dan perkembangan remaja, perempuan, laki – laki dan keluarga seharusnya dilihat secara menyeluruh.
Lingkungan, tempat tinggal, teman sebaya dan orang tua merupakan faktor yang penting, dimana masa remaja masa ini merupakan masa peralihan dan pada masa ini secara psikologis sangat labil atau mudah terpengaruh oleh hal – hal yang kurang menguntungkan bahkan sangat membahayakan dirinya dan masa depannya, seperti narkotika ini sangat berbahaya bagi remaja yang telah terjerumus menggunakan narkotika. Dengan lingkungan yang tidak kondusif bagi remaja, ini dapat dengan mudah remaja terhasut oleh ajakan atau tawaran dari pengedar narkotika, sehingga remaja dengan pengetahuan yang kurang tentang narkotika dengan mudah mendapat tawaran untuk mengkonsumsi narkotika, karena yang mereka rasakan adalah nikmat sementara tanpa menghiraukan akibatnya.
Menurut Theodonus dkk (1998) penyalahgunaan obat terlarang berkaitan dengan riwayat pemakaian obat pada keluarga. Tergambar bahwa pengguna obat lebih banyak terjadi dikalangan remaja yang mempunyai kakak, ayah dan ibu yang menggunakan obat – obatan.
Studi pendahuluan yang dilakukan ditemukan bahwa dari mulai siswa sekolah menengah pertama sudah mulai menggunakan narkotika kata ini diambil pada tanggal 9 November 2003, penyalahgunaan narkotika sudah didapatkan dari bangku sekolah menengah pertama dan bahkan sampai dengan perguruan tinggi, keadaan ini sangat memprihatinkan bagi generasi muda. Berdasar uraian pada latar belakang ini penulis tergugah untuk melakukan penelitian tentang hubungan faktor lingkungan : tempat tinggal, teman sebaya dan orang tua dengan penyalahgunaan Napza pada remaja di SMA Negeri Se Kota Metro.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan lingkungan : tempat tinggal, teman sebaya dan orang tua dengan penyalahgunaan Narkotika pada remaja di SMA Negeri Se Kota Metro ?

C. Ruang Lingkup Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan rancangan crossectional. Subjek penelitian adalah siswa SMA Negeri Se Kota Metro. Objek penelitian adalah faktor lingkungan : tempat tinggal, teman sebaya dan orang tua sebagai variabel bebas dan penyalahgunaan Napza sebagai variabel terikat. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Desember 2004.

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan : tempat tinggal, teman sebaya dan orang tua dengan penyalahgunaan Napza pada remaja dari SMA Negeri Se Kota Metro.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada penelitian ini adalah diketahuinya :
a. Hubungan antara faktor tempat tinggal dengan penyalahgunaan Napza pada remaja di SMA Negeri Se Kota Metro.
b. Hubungan antara faktor teman sebaya dengan penyalahgunaan Napza di SMA Negeri Se Kota Metro.
c. Hubungan faktor orang tua dengan penyalahgunaan Napza pada remaja di SMA Negeri Se Kota Metro.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Sebagai masukan dalam mengembangkan dan membina peserta didik agar terhindari dari ancaman bahaya narkotika.
2. Bagi Penulis
Memberikan pengalaman yang sangat bermakna dalam memerangi bahaya narkotika dan pengalaman di bidang penelititian.
3. Bagi Pengembangan Ilmu
Sebagai bahan masukan atau (referensi) untuk penelitian selanjutnya terutama penelitian yang serupa.

Hubungan antara suami perokok dengan bayi berat lahir rendah (BBLR) di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup atau life style ini menarik sebagai suatu masalah kesehatan, minimal dianggap sebagai faktor resiko dari berbagai macam Penyakit (Bustan, 2000). Dari sisi kesehatan, bahaya rokok sudah tak terbantahkan lagi. Bukan hanya menurut WHO, tetapi lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membuktikan hal itu. Dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai zat berbahaya itu adalah : tar, karbon monoksida (CO) dan nikotin. Mungkin Masyarakat sudah mengerti bahayanya, kerena dalam setiap bungkus rokok ada peringatan merokok dapat menyebapkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin (Abadi,T, 2005). Dari peringatan tersebut dapat diketahui dengan jelas bahwa rokok memiliki pengaruh buruk bagi kehamilan dan janin dalam kandungan.
Kebiasaan merokok para calon ibu ternyata membawa akibat buruk pada anak yang akan dilahirkanya. Terdapat bukti kuat bahwa ibu hamil yang merokok dapat langsung mempengaruhi dan merusak perkembangan janin dalam rahim, yang paling sering terjadi adalah berat lahir yang rendah (Arlene, 1996). Berat badan bayi ibu perokok pada umumnya kurang dan mudah menjadi sakit. Berat badan bayi tersebut lebih rendah 40-400 gram dibandingkan dengan bayi yang lahir dari Ibu bukan perokok. Sekitar 7% dari ibu-ibu hamil yang merokok satu bungkus sehari mungkin akan melahirkan anak yang beratnya kurang dari 2500 gram, dan persentase ini meningkat menjadi 12% pada ibu-ibu hamil yang menghabiskan dua bungkus rokok seharinya (Aditama., 1997).
Jumlah berat badan lahir rendah masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil estimasi dan survei demografi dan kesehatan Indonesia, angka BBLR secara nasional pada periode tahun 2002-2003 mencapai 7,6 % (Profil Kesehatan Indonesia, 2005). Sedangkan Di Propinsi Lampung, angka BBLR pada tahun 2005 mencapai 2210 orang (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2005). Dan di Kota Metro angka kejadian BBLR pada tahun 2005 mencapai 68 orang (Profil Kesehatan Profinsi Lampung, 2005).
Berdasarkan penelitian, 1 dari 3 wanita yang merokok lebih dari 20 batang sehari melahirkan bayi dengan berat badan kurang (Syahbana,O., 2001)., namun hal tersebut tidak hanya terjadi pada ibu hamil yang merokok saja, ternyata ibu hamil yang tidak merokokpun bila sehari-hari selalu berada di tengah-tengah perokok dan selalu terpapar asap rokok (perokok pasif), bisa mengalami efek negatif yang hampir sama tingkatannya dengan perokok (Syahbana, 2001).
Sekarang ini makin banyak diketahui bahwa merokok tidak hanya berpengaruh terhadap orang yang menghisapnya, tetapi juga mempengaruhi semua orang yang berada di sekitarnya. Termasuk janin yang sedang berkembang dari ibu hamil yang kebetulan berada di dekatnya. Jadi, bila suami anda atau setiap orang yang tinggal di rumah anda atau bekerja di meja disamping anda merokok, tubuh bayi anda akan mendapat pengotoran oleh asap tembakau hampir sebanyak pengotoran yang ia dapat jika anda sendiri yang menghisapnya. Bahkan menurut Candra (2000), bahan kimia yang keluar dari asap bakaran ujung rokok kadarnya lebih tinggi dari pada yang dihisap perokoknya. Semakin dekat jarak perokok dengan perokok pasif, akan semakin besar bahayanya, karena itu penelitian banyak dilakukan pada istri si perokok. Belakangan ini para ahli juga menemukan hubungan antara penurunan berat bayi yang dilahirkan oleh isteri seorang perokok akibat gangguan perkembangan janin selama dalam kandungan (Aditama, 1997).
Berdasarkan data pra survei, di Wilayah Kerja Puskesmas Karangrejo terdapat 9 bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram (data Puskesmas Karangrejo, 2006-2007). Setelah 5 orang suami yang memiliki bayi tersebut ditanyakan tentang kebiasaan merokok, 4 diantaranya menjawab ya dan menghabiskan lebih dari 10 batang rokok per hari dan 1 orang menjawab tidak.
Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat hubungan suami perokok dengan bayi berat lahir rendah di Wilayah Kerja Puskesmas Karangrejo.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Apakah ada hubungan antara suami perokok dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Karangrejo?”.

C. Ruang Lingkup Penelitian
1. Jenis Penelitian : Analitik
2. Subyek Penelitian : Suami yang memiliki bayi usia 0-1 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas karangrejo
3. Objek Penelitian : Hubungan antara suami perokok dengan bayi berat lahir rendah (BBLR)
4. Lokasi Penelitian : Wilayah Kerja Puskesmas Karangrejo
5. Waktu Penelitian : Tanggal 28 Mei – 16 Juni 2007

D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat hubungan antara suami perokok dengan bayi berat lahir rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Karangrejo.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Puskesmas
Sebagai bahan masukan bagi pengelola program puskesmas dalam rangka meningkatkan kegiatan penyuluhan khususnya tentang hubungan suami perokok dengan bayi berat lahir rendah.
2. Peneliti
Dapat diketahui dengan jelas tingkat hubungan antara suami perokok dengan bayi berat lebih rendah.
3. Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan di perpustakaan institusi pendidikan
4. Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya.

Hubungan antara pengetahuan ibu balita tentang gizi dengan status gizi balita di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Gizi buruk mempunyai dampak terhadap seorang anak, antara lain adalah penurunan skor tes IQ (Intelligent Quotient), gangguan kognitif, gangguan pemusatan perhatian, penurunan rasa percaya diri dan akhirnya prestasi sekolah yang minim (Suseno, 2008). Anak yang kekurangan gizi akan mempunyai IQ lebih rendah 13-15 poin dari anak lain pada saat memasuki usia sekolah. Disamping itu gizi buruk akan menurunkan produktivitas sebesar 20-30% yang mengakibatkan banyak anak gizi buruk tidak dapat menyelesaikan sekolahnya. Dengan kata lain, gizi buruk akan menciptakan generasi baru dengan kualitas SDM yang rendah (Suryanto, 2008).
Data UNICEF (United Children Foundation) tahun 1999 menunjukkan, 10-12 juta (50-69,7%) anak balita di Indonesia (4 juta diantaranya dibawah satu tahun) berstatus gizi sangat buruk dan mengakibatkan kematian, malnutrisi berkelanjutan meningkatkan angka kematian anak. Setiap tahun diperkirakan 7% anak balita Indonesia (sekitar 300.000 jiwa) meninggal. Ini berarti setiap 2 menit terjadi kematian satu anak balita dan 170.000 anak (60%) diantaranya akibat gizi buruk. Dari seluruh anak usia 4-24 bulan yang berjumlah 4,9 juta di Indonesia, sekitar seperempat sekarang berada dalam kondisi kurang gizi (Herwin, 2004).
Masalah penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya merupakan masalah nasional di berbagai negara, akan tetapi telah menjadi masalah yang bersifat internasional. Hal ini terbukti dengan adanya badan-badan yang menangani masalah pangan yang bernaung di bawah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Siswono, 2001).
Masalah kurang gizi masih merupakan masalah pokok masyarakat dari dulu hingga sekarang dengan berbagai faktor yang mendukung masalah sangat kompleks. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan perhatian yang lebih untuk kondisi kesehatannya (Himawan, 2006).
Di Indonesia usaha peningkatan kesejahteraan rakyat telah merupakan program pemerintah. Khususnya mengenai masalah gizi telah ada program usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK). Ada empat masalah gizi yang utama yang telah di bahas dalam Widya Karya Nasional pangan dan gizi pada tahun 1978, yaitu: kekurangan energi protein, kekurangan vitamin A yang merupakan penyebab kebutaan, kekurangan yodium yang merupakan penyebab gondok endemik dan kekurangan zat besi yang mengakibatkan anemi gizi (Siswono, 2001).
Data WHO (world health organization) tahun 2002 menyebutkan, penyebab kematian balita urutan pertama disebabkan gizi buruk dengan angka 54%. Data Depkes ( Departemen Kesehatan ) menunjukkan angka kejadian gizi buruk pada balita pada tahun 2002 sebanyak 8% dan 27%. Pada tahun 2003 masing-masing meningkat menjadi 8,3% dan 27,3%, dan pada tahun 2005 naik masing-masing 8,8% dan 28% (Harian seputar Indonesia, 2007).
Data dinas kesehatan Kota Metro meliputi cakupan status gizi balita Kota Metro tahun 2007, balita yang termasuk kedalam status gizi buruk sebanyak 16 orang (0,60%) status gizi kurang 431 orang (16,28%), status gizi baik 2158 orang (81,55%) dan status gizi lebih 41 orang (1,54%).
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut saling berkaitan. Secara langsung, pertama anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu yang cukup lama, dan kedua anak menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai dan sanitasi atau kesehatan lingkungan kurang baik serta akses pelayanan kesehatan terbatas (Depkes R.I, 2005).
Disamping itu tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif dan berkesinambungan. Latar belakang pendidikan seseorang berhubungan dengan tingkat pengetahuan, jika tingkat pengetahuan gizi ibu baik maka diharapkan status gizi ibu dan balitanya juga baik. Sebab dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan meningkatkan pengetahuan gizi masyarakat (Kusumawati, 2004).
Berdasarkan data dari cakupan status gizi balita Kota Metro tahun 2007, dari 5 kecamatan yang ada di Kota Metro, Metro Barat masih terdapat 15 orang balita dengan status gizi buruk dan 31 orang balita dengan status gizi kurang. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara pengetahuan ibu balita dengan status gizi pada balita di Kelurahan Ganjar Agung Kecamatan Metro Barat Tahun 2008.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan antara pengetahuan ibu balita tentang gizi dengan status gizi balita di Kelurahan Ganjar Agung Kecamatan Metro Barat tahun 2008?”.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian : Analitik kuantitatif
2. Subyek Penelitian : Ibu-ibu yang mempunyai balita
3. Objek Penelitian : Pengetahuan ibu balita tentang gizi dengan status gizi balita
4. Lokasi Penelitian : Di wilayah Kelurahan Ganjar Agung Kecamatan Metro Barat
5. Waktu Penelitian : 9-14 Juni 2008

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu balita tentang gizi dengan status gizi balita di Kelurahan Ganjar Agung Kecamatan Metro Barat tahun 2008.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui seberapa besar kejadian gizi buruk di Kelurahan Ganjar Agung Kecamatan Metro Barat
b. Untuk mengetahui pengetahuan ibu balita tentang gizi pada balita di Kelurahan Ganjar Agung Kecamatan Metro Barat.
c. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu balita tentang gizi dengan status gizi pada balita di Kelurahan Ganjar Agung Kecamatan Metro Barat.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Metro
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya evaluasi dan pemantauan tentang status gizi serta sebagai bahan masukan dalam perencanaan program peningkatan gizi di Kelurahan Ganjar Agung Kecamatan Metro Barat
2. Bagi Tenaga Kesehatan di Puskesmas Ganjar Agung
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan pemantauan tentang status gizi balita serta sebagai bahan masukan dalam perencanaan program peningkatan gizi di wilayah kerja puskesmas tersebut
3. Bagi Institusi Pendidikan Program Studi Kebidanan Metro
Sebagai dokumen dan bahan bacaan untuk menambah wawasan mahasiswi di Poltekkes Tanjung Karang Program Studi Kebidanan Metro.
4. Bagi Peneliti Lain
Diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk melakukan penelitian-penelitian yang lain atau serupa atau yang lebih lanjut.

Tuesday, May 18, 2010

Keterampiloan pelaksanaan komunikasi terapeutik mahasiswi tingkat II program studi kebidanan…… di lahan praktek

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu dasar dan kunci seseorang dalam menjalankan tugasnya, komunikasi merupakan suatu proses dalam perawatan untuk menjalankan dan menciptakan hubungan dengan pasien, komunikasi tampaknya sederhana tetapi untuk menjadikan suatu komunikasi berguna dan efektif membutuhkan usaha dan keterampilan serta kemampuan dalam bidang itu (Arifin, 2002).
Tidak ada persoalan sosial manusia dihadapkan dengan masalah sosial yang penyelesaiannya menyangkut komunikasi yang lebih baik, Setiap hari semua orang melakukan proses komunikasi. Sering kali akibat komunikasi yang tidak tepat terjadi perbedaan pandangan atau salah paham. Oleh karena itu setiap orang perlu memahami konsep dan proses komunikasi untuk meningkatkan hubungan antar manusia dan mencegah kesalah pahaman yang mungkin terjadi, hubungan komunikasi terapeutik antara perawat atau bidan dengan pasien adalah hubungan kerjasama yang ditandai dengan tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik (Utami P, 1998).
Dasawarsa terakhir masalah komunikasi antara petugas kesehatan dan pasien telah mendapatkan sorotan luas karena adanya beberapa laporan riset yang di kumpulkan Faulkner (1984), laporan tersebut mengungkapkan bahwa banyak pasien yang merasa tidak pernah menerima cukup informasi (Nancy, 1988).
Komunikasi merupakan unsur yang penting dalam aktifitas dan bagian yang selalu ada dalam proses manajemen keperawatan atau kebidanan. Berdasarkan hasil penelitian Swansburg (1990), bahwa lebih dari 80% waktu yang digunakan untuk berkomunikasi, 16% untuk membaca dan 9% untuk menulis. Pengembangan keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kiat sukses bagi seorang bidan karena terlalu banyak waktu yang digunakan untuk komunikasi, mendengar, berbicara jadi jelas bahwa bidan harus mempunyai keterampilan interpersonal yang baik, karena praktek kebidanan berorientasi pada hubungan interpersonal dalam mencapai suatu tujuan organisasi, maka untuk menciptakan komitmen dan rasa kebersamaan perlu ditunjang keterampilan dalam berkomunikasi (Nursalam, 2002).
Berdasarkan kurikulum Program Studi Kebidanan Metro terprogram sebagai mata kuliah komunikasi kebidanan yang isinya tentang komunikasi terapeutik diajarkan pada semester III diharapkan mahasiswi bisa menerapkan komunikasi terapeutik secara efektif, hal ini yang melatar belakangi penulis ingin mengetahui bagaimana setelah mahasiswi mendapatkan mata kuliah komunikasi terapeutik keterampilan pelaksanaan komunikasi terapeutik yang di lakukan mahasiswi Program Studi Kebidanan Metro Tingkat II sudah sesuai dengan teori yang di berikan atau tidak.

B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil rumusan masalah yaitu : “Bagaimanakah Gambaran keterampilan pelaksanaan komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh mahasiswi tingkat II Program Studi Kebidanan Metro di Lahan Praktek ?”

C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mempunyai beberapa tujuan yaitu :
1. Tujuan Umum
Dalam penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui gambaran keterampilan pelaksanaan komunikasi terapeutik mahasiswi tingkat II Program Studi Kebidanan Metro di Lahan Praktek.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya keterampilan pelaksanaan komunikasi terapeutik pada fase perkenalan mahasiswi Tingkat II Program Studi Kebidanan Metro di lahan praktek.
b. Diketahuinya keterampilan pelaksanaan komunikasi terapeutik pada fase orientasi mahasiswi Tingkat II Program Studi Kebidanan Metro di lahan praktek.
c. Diketahuinya keterampilan pelaksanaan komunikasi terapeutik pada fase kerja mahasiswi Tingkat II Program Studi Kebidanan Metro di lahan praktek.
d. Diketahuinya keterampilan pelaksanaan komunikasi terapeutik pada fase terminasi mahasiswi Tingkat II Program Studi Kebidanan Metro di lahan praktek.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang di teliti sebagai berikut:
a. Subyek penelitian : Mahasiswi Program Studi Kebidanan Metro Tingkat II Semester IV.
b. Obyek penelitian : Keterampilan pelaksanaan tentang komunikasi terapeutik.
c. Lokasi penelitian : Di BPS Ch. Sudilah, BPS Sri Lestari, BPS Sukatmi, BPS Yusi M, BPS Marta, BPS Pujiati, BPS Isti Kayom, BPS H. Suwarni, RB Nur Anissa, RB Doa Ibu, RB Kasih Ibu, RB Putri Dewi.
d. Waktu penelitian : Tanggal 8-13 Mei 2006.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini di harapkan bermanfaat bagi :
1. Bagi Pendidikan
Penambahan wawasan tentang komunikasi terapeutik secara efektif dan akan bermanfaat untuk dijadikan bahan masukan bagi penelitian selanjutnya.
2. Bagi Mahasiswi Program Studi Kebidanan Metro Tingkat II
Bermanfaat sebagai bahan masukan sehingga dapat melatih diri dalam berkomunikasi secara efektif.
3. Bagi Lahan Praktek.
Meningkatkan pembelajaran dan bimbingan tentang komunikasi terapeutik.

Kecemasan pasangan suami istri dengan infertil primer di rumah bersalin

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyaknya pasangan infertil di Indonesia dapat diperhitungkan dari banyaknya wanita yang pernah kawin dan tidak pernah mempunyai anak. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk 220 juta, 30 juta diantaranya adalah pasangan usia subur (PUS). Dari PUS tersebut sekitar 10 – 15%, atau 3 – 4,5 juta pasangan memiliki problem kesuburan, dan dari 10 sampai 15% itu terdapat 7 sampai 9% yang mengalami infertil primer. Makin lama pasangan itu kawin tanpa kehamilan, makin menurun kejadian kehamilannya. Para dokter baru menganggap ada masalah infertilitas jika pasangan yang ingin anak itu telah dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan lebih dari 12 bulan (Wiknjosastro, 1997).
Diperkirakan bahwa dari setiap 100 pasangan, 10 pasangan dari pasangan suami istri (Pasutri) tidak mempunyai anak, dan 15 Pasutri mempunyai anak kurang dari yang diinginkan (Hardjana, 2000). Banyak faktor yang mempengaruhi infertilitas, salah satu faktornya adalah dari segi psikologis. Infertilitas merupakan suatu keadaan yang menekan, pada Pasutri sering kali hal ini menyebabkan depresi, cemas dan lelah berkepanjangan. Padahal hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar pada kemampuan untuk bisa hamil.
Pada masyarakat Indonesia, masih beranggapan bahwa tujuan sebuah pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan (Kasdu, 2001). Seorang wanita yang telah melewati beberapa bulan hari pernikahannya, sering terlontar pertanyaan – pertanyaan dari keluarga atau kerabat yang menanyakan apakah ia sudah hamil atau belum. Tekanan – tekanan dari pihak luar ini sering kali menjadi sumber masalah dalam hubungan suami istri, selanjutnya pertanyaan itu akan menjadi hal yang sensitif apabila seorang wanita tidak kunjung hamil.
Tugas – tugas perkembangan pada masa dewasa awal menyebutkan bahwa salah satunya adalah hidup berkeluarga dan mengasuh anak (Mappiare, 1983). Anak merupakan kepuasan dalam sebuah perkawinan. Stabilitas sebuah perkawinan terkadang juga ditentukan dengan kehadiran oleh seorang anak dalam kehidupan rumah tangga. Banyak Pasutri yang memilih bercerai karena salah satu dari mereka tidak dapat memberi keturunan. Ancaman terjadinya perceraian ini mencapai 43% dari masalah dalam sebuah pernikahan yang ada. Mereka beranggapan bahwa peran mereka sebagai orang tua tidak sempurna tanpa kehadiran seorang anak dalam kehidupan perkawinannya.
Hasil prasurvei pada tanggal 1 – 21 April 2004 di Rumah Bersalin Permata Hati Kota Metro yang mengalami Infertil 31 pasangan infertil primer. Untuk itu penulis ingin mengetahui kecemasan pasangan suami istri dengan Infertil primer.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang, penulis membuat rumusan masalah yaitu : “Bagaimana kecemasan pasangan suami istri dengan Infertil primer di Rumah Bersalin Permata Hati Kota Metro ?”.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam melakukan penelitian, agar sesuai dengan rumusan masalah yang dibuat penulis membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut :
1. Subyek Penelitian : Pasangan suami istri dengan Infertil primer
2. Objek Penelitian : Penyebab kecemasan
3. Tempat Penelitian : RB. Permata Hati Kota Metro
4. Waktu Penelitian : 14 Mei – 12 Juni 2004

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui kecemasan pada pasangan suami istri dengan Infertil primer di RB. Permata Hati Kota Metro.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kecemasan ditinjau dari peran sebagai orang tua.
b. Untuk mengetahui kecemasan ditinjau dari stabilitas perkawinan
c. Untuk mengetahuai kecemasan ditinjau dari tugas perkembangan dewasa awal.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Sebagai penerapan matakuliah metodologi penelitian dan menambah pengalaman serta wawasan mengenai kecemasan pada Pasutri dengan Infertil Primer.
2. Bagi Program Studi Kebidanan Metro
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau masukan untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan kecemasan pada Pasutri dengan Infertil Primer.
3. Bagi Rumah Bersalin Permata Hati
Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran tentang pasangan yang mengalami Infertil Primer ditinjau dari segi psikologis, sehingga dokter dapat memberikan bantuan berupa konseling.

Karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi pada saat ini sangat pesat, dengan pesatnya perkembangan teknologi membuat seks tidak dianggap sakral lagi. Kecendrungan pelanggaran semakin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih (video cassette, foto copy, VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja wanita yang sedang dalam periode ingin tahu dan mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa (Sarwono, 2004 : 151). Penemuan alat kontrasepsi oleh Amerika Serikat (AS) kemudian memicu revolusi seks di tahun 1960-an. Paradigma pun berubah, seks dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Akibatnya pergaulan seks bebas pun marak. Imbasnya juga dirasakan di Indonesia. Perubahan pandangan terhadap seksualitas terjadi sejak awal tahun 1980-an. Hal ini juga mengakibatkan perubahan dalam perilaku seksual termasuk dikalangan remaja wanita (Pangkahila, 2008).
Survey yang dilakukan oleh Departemen Sosial dan Ekonomi Internasional pada tahun 1998 di beberapa Negara Barat seperti Belgia, Kanada, Jerman, Hongaria, Norwegia, Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa 2/3 remaja wanita berusia 19 tahun telah melakukan hubungan seksual di luar pra nikah. Senestein (1989) telah melaporkan hasil penelitiannya yaitu bahwa sekitar 69% remaja wanita Afrika-Amerika telah melakukan hubungan seksual tanpa nikah pada usia 15 tahun. Sedangkan Hoffer (1988) menemukan bahwa 25% remaja wanita Afrika-Amerika telah berhubungan seksual tanpa nikah pada usia 15 tahun dan 74% pada usia 18 tahun, sedangkan pada remaja wanita berkulit putih adalah 15% dan 56% (Yusuf, 2006 : 210).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994, jumlah penduduk usia 20-24 tahun mencapai 31,2% dari jumlah penduduk Indonesia. Menurut Kepala BKKBN seks bebas telah ditemukan di setiap propinsi di Indonesia (BKKBN,2007). Hasil penelitian PKBI juga menunjukkan bahwa 9,1% remaja wanita telah melakukan hubungan seks dan 85% melakukan hubungan seks pertama mereka pada usia 13-15 tahun di rumah mereka dengan pacar (BKKBN,2006). Remaja wanita masa kini sudah melakukan hubungan seksual secara aktif. Tiap tahunnya 15 juta remaja wanita berusia 15-19 tahun melahirkan (Hambali,1998 :30).
Kejadian seks bebas telah merambah kalangan muda Indonesia dengan dampak yang cukup besar. Dari survey yang dilakukan di Jakarta diperoleh hasil bahwa sekitar 6-20% anak SMU dan Mahasiswa di Jakarta pernah melakukan hubungan seks pra-nikah. Sebanyak 35% dari Mahasiswa Perguruan Tinggi swasta di Jakarta sepakat tentang seks pra-nikah. Survey yang dilakukan oleh lembaga Demografi FEUI dan NFPCB tahun 1999 terhadap 8.084 remaja wanita putra dan putri yang berusia 15-24 tahun di 20 Kabupaten yaitu di Lampung, Jawa barat, Jawa tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa sebanyak 46,2% remaja wanita menganggap perempuan tidak akan hamil hanya dengan satu kali melakukan hubungan seksual. Dari 405 kehamilan yang tidak direncanakan, 95% dilakukan oleh remaja wanita usia 15-25 tahun. Angka kejadian aborsi di Indonesia mencapai 2.5 juta kasus. 1,5 juta diantaranya dilakukan oleh remaja wanita (Kriswanto,2006).
Remaja wanita sering kali tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini. Remaja wanita sering kali merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa (Harlock,1972 dikutip dari Iskandar,1997).
Para remaja wanita hakikatnya tidak sadar bahwa perilaku seks bebas berakibat fatal bagi dirinya sendiri. Dengan menerapkan perilaku seks bebas banyak remaja wanita putri yang hamil di luar nikah. Padahal sudah dapat dipastikan apabila ada seorang remaja wanita putri hamil di luar nikah maka masa depannya akan suram. Dia tidak akan mewujudkan cita-citanya. Setelah semuanya terjadi, dia baru sadar bahwa ternyata seks bebas telah menghancurkan dirinya. Akibat lain dari perilaku seks bebas adalah HIV/AIDS. Berdasarkan penelitian UN AIDS, Organisasi AIDS se-dunia diperkirakan 700 remaja wanita terkena virus HIV/AIDS setiap hari. Dengan menerapkan perilaku seks bebas maka akan membuka peluang sangat besar bagi dirinya sendiri. Perilaku seks bebas sangat berpengaruh dalam pembentukan moralitas bangsa. Khususnya kaum muda ketika moral generasi muda suatu bangsa buruk (Akademik, 2007).
Dampak psikologis seks pra-nikah pelaku akan merasa diri kotor dan kehamilan akan berdampak pada hal lain (dosa memperanakkan dosa), seperti berbohong, menjauh dari pergaulan positif. Dampaknya seperti lingkaran setan yang tidak ada ujungnya (Franky,2007).
Para ahli dari berbagai disiplin ilmu sepakat bahwa remaja wanita yang digolongkan mempunyai tingkah laku menyimpang. Tidak hanya merupakan akibat dari keadaan lingkungan yang dihadapi remaja wanita saja. Akan tetapi, faktor penyebab yang begitu kompleks misalnya usia, pendidikan, tempat tinggal, ekonomi keluarga, kemajuan teknologi, meningkatnya libido seksual, penggunaan alat kontrasepsi dan frekuensi hubungan seks diluar nikah.
Berdasarkan data hasil pra survey di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan bahwa dari 742 remaja laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan seks pra nikah sebanyak 8 orang remaja wanita. Dan 5 orang diantaranya yang mengalami hamil di luar nikah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin melakukan penelitian tentang “Karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis membuat rumusan masalah yaitu : ”Bagaimana Karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan?”.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Deskriptif
2. Objek Penelitian : Karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di tinjau dari usia, pendidikan, tempat tinggal, ekonomi keluarga, kemajuan teknologi, meningkatnya libido seksual, penggunaan alat kontrasepsi dan frekuensi hubungan seks diluar nikah di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan
3. Subjek Penelitian : Remaja wanita yang melakukan hubungan seks pra nikah di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan
4. Lokasi Penelitian : Di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan
5. Waktu Penelitian : 13 Juni 2008

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di tinjau dari usia di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan.
b. Untuk mengetahui karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di tinjau dari pendidikan di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan.
c. Untuk mengetahui karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di tinjau dari tempat tinggal di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan.
d. Untuk mengetahui karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di tinjau dari ekonomi keluarga di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan.
e. Untuk mengetahui karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di tinjau dari kemajuan teknologi di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan.
f. Untuk mengetahui karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di tinjau dari meningkatnya libido seksual di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan.
g. Untuk mengetahui karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di tinjau dari penggunaan alat kontrasepsi di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan.
h. Untuk mengetahui karakteristik perilaku hubungan seks pra nikah pada remaja wanita di tinjau dari frekuensi hubungan seks diluar nikah di Desa Jatibaru Kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Remaja wanita
Sebagai pengetahuan remaja wanita tentang dampak seks bebas dan pertimbangan remaja wanita untuk tidak melakukan seks bebas.
2. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Sebagai salah satu wacana untuk mengembangkan kebijakan pelayanan kesehatan reproduksi khususnya remaja wanita.
3. Bagi Penulis
Sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang telah didapat dibangku kuliah, serta mengamalkan ilmu yang telah diperoleh selama pendidikan.

Karakteristik keluarga dengan balita berat badan di bawah garis merah (BGM) di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pencapaian Indonesia Sehat 2010 program pangan dan gizi memiliki tujuan yaitu meningkatkan ketersediaan pangan dengan jumlah yang cukup serta kualitas yang memadai dan tersedia sepanjang waktu yaitu melalui peningkatan bahan pangan dan penganekaragaman serta pengembangan produksi olahan, meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan untuk memantapkan ketahanan pangan ditingkat rumah tangga, meningkatkan pelayanan gizi untuk mencapai keadaan gizi yang baik dalam upaya perbaikan status gizi untuk mencapai hidup sehat (Depkes RI, 2003).
Masalah gizi kurang masih tersebar luas di Negara berkembang termasuk di Indonesia. Penyuluhan gizi secara luas perlu digerakan bagi masyarakat guna meningkatkan keadaan gizinya. Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia, hal ini merupakan kunci keberhasilan dalam pembangunan suatu bangsa (Almatsier, 2003).
Beragam masalah kekurangan zat gizi yang sebagian mempunyai dampak yang sangat nyata terhadap timbulnya masalah gizi. Salah satu faktor penyebab keadaan ini terjadi karena bertambahnya jumlah penduduk diberbagai negara sedang berkembang yang cenderung meningkat terus, sedangkan jumlah produksi pangan belum mampu mengimbangi walaupun diterapkan beragam teknologi mutakhir. Disamping faktor bertambahnya penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan pangan yang memadai, masalah gizi timbul karena berbagai faktor yang saling berkaitan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, budaya (Suhardjo, 1996).
Akibat kurang gizi terhadap proses tubuh tergantung pada zat gizi apa yang kurang. Kekurangan zat gizi secara umum (makanan kurang dalam kualitas dan kuantitas menyebabkan gangguan pada proses pertumbuhan, produksi tenaga, pertahanan tubuh, struktur dan fungsi otak dan perilaku anak yang mengalami kurang gizi tersebut (Almatsier, 2003).
Masyarakat harus mengerti bahwa anak mereka membutuhkan makanan dengan cukup zat gizi demi masa depan mereka sehingga anak tersebut tidak terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gizi. Kelompok anak balita merupakan kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat. Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Sediaoetama, 2000).
Kondisi gizi salah di Indonesia yang terbanyak termasuk berat badan di bawah garis merah kebanyakan disebabkan oleh konsumsi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Kondisi gizi salah terutama diderita oleh anak-anak yang sedang tumbuh dengan pesat yaitu kelompok balita (bawah lima tahun) dimana prevalensinya pada anak balita masih tinggi + 30-40%. Kebanyakan penyakit gizi ditandai dengan berat badan dibawah garis merah pada masa bayi dan anak ditandai 2 sindrom yaitu kwashiorkor dan marasmus (Hardjoprakoso, 1986).
Menurut Suhardjo, (1996) Klasifikasi keadaan berat badan balita di bawah garis merah yang paling sederhana dan umum dipakai adalah ukuran berat menurut umur yang kemudian dibandingkan terhadap ukuran baku, karena berat badan anak merupakan indikator yang baik bagi penentuan status gizinya. khususnya untuk mereka yang berumur di bawah 5 tahun, dimana keadaan seperti ini disebabkan oleh faktor-faktor tertentu seperti : Tingkat pendidikan ibu, Tingkat ekonomi keluarga, Latar belakang sosial budaya keluarga dilihat dari pantangan makan, Paritas, Keadaan fisiologi, Sehingga faktor-faktor tersebut ikut menentukan besarnya presentase balita dengan berat badan di bawah garis merah.
Menurut Dep.Kes (2004) yang dikutip Biro Pusat Statistik tahun 2003 sekitar 5 juta anak balita (27,5%) yang kekurangan gizi, lebih kurang 3,6 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). Meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit, kasus gizi buruk lebih cepat menarik perhatian media masa karena dapat dipotret dan kelihatan nyata penderitaan anak seperti : sakit, kurus, bengkak (busung), dan lemah. Mereka mudah dikenal dan dihitung karena dibawa ke rumah sakit. Keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak bagi anak yang gizi buruk (www.bkkbn.go.id).
Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Lampung Timur gambaran keadaan gizi masyarakat di Indonesia sampai saat ini belum memuaskan. Pada tahun 2000 diperkirakan ada 25% anak Indonesia mengalami gizi kurang, 7% diantaranya gizi buruk. Pada tahun 2005 tersebut didapatkan jumlah balita di Kecamatan Labuhan Maringgai yaitu 5905 balita. Dimana didapatkan balita BGM 1,02% yaitu 60 balita.
Berdasarkan data Puskesmas Labuhan Maringgai bulan Januari 2006 didapatkan jumlah balita di Desa Muara Gading Mas yaitu 383 balita. Di desa tersebut juga ditemukan bayi dengan berat badan di bawah garis merah 3,7% yaitu 14 balita. Berdasarkan keadaan tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian sederhana tentang “Karakteristik Keluarga Dengan Balita BGM di Desa Muara Gading Mas”.

B. Rumusan Masalah
Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan antara apa yang diinginkan atau yang dituju dengan apa yang terjadi atau faktanya (Notoatmodjo, 2002). Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik keluarga dengan balita BGM di Desa Muara Gading Mas”.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang di teliti adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Deskriptif
2. Obyek Penelitian : Karakteristik keluarga dengan balita BGM
3. Subyek penelitian : Seluruh Balita BGM
4. Lokasi penelitian : Desa Muara Gading Mas Kecamatan Labuhan Maringgai Lampung Timur
5. Waktu Penelitian : Bulan 10 Mei 2006 s.d 14 Mei 2006
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran karakteristik keluarga dengan balita BGM di Desa Muara Gading Mas.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada penelitian ini adalah untuk :
a. Diperolehnya gambaran karakteristik keluarga dengan balita BGM berdasarkan tingkat pendidikan ibu.
b. Diperolehnya gambaran karakteristik keluarga dengan balita BGM berdasarkan tingkat ekonomi keluarga.
c. Diperolehnya gambaran karakteristik keluarga dengan balita BGM berdasarkan latar belakang sosial budaya keluarga dilihat dari pantangan makan
d. Diperolehnya gambaran karakteristik keluarga dengan balita BGM berdasarkan paritas.
e. Diperolehnya gambaran karakteristik keluarga dengan balita BGM berdasarkan keadaan fisiologi

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Desa Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan dalam perencanaan program peningkatan gizi di desa tersebut.
2. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan program pelayanan kesehatan.
3. Bagi Institusi Pendidikan Program Studi Kebidanan Metro
Sebagai dokumen dan bahan perbandingan peneliti lain untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Karakteristik neonatus dengan asfiksia di ruang anak RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan neonatal dimulai sebelum bayi dilahirkan, melalui pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil. Pertumbuhan dan perkembangan bayi periode neonatal merupakan periode yang paling kritis karena dapat menyebabkan kesakitan dan kematian (Syaifuddin, 2006). Asfiksia termasuk dalam neonatus dengan risiko tinggi karena memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami kematian atau menjadi sakit berat dalam masa neonatal (Jumiarni, 1994).
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas spontan dan teratur setelah lahir. Asfiksia atau gagal nafas dapat menyebabkan suplai oksigen ke tubuh menjadi terhambat jika terlalu lama membuat bayi menjadi koma, walaupun sadar dari koma bayi akan mengalami cacat otak. Pada awal asfiksia, darah lebih banyak dialirkan ke otak dan jantung, dengan adanya hipoksia dan asidosis maka fungsi miokardium menurun, curah jantung menurun dan aliran darah ke alat-alat vital juga berkurang.
Kejadian asfiksia jika berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan perdarahan otak, kerusakan otak dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang (Syaifuddin, 2006). Asfiksia juga dapat menimbulkan kematian jika terlambat di tangani, mengakibatkan cacat seumur hidup seperti buta, tuli dan cacat otak (Retayasa, 2007).
Berdasarkan data WHO (World Health Organization), setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami asfiksia, hampir satu juta bayi ini meninggal (Dinkes Lampung, 2006), sedangkan survei WHO tahun 2002 dan 2004 kematian bayi baru lahir disebabkan oleh asfiksia sebesar (27%) (Warouw, 2006). Angka kematian bayi di Indonesia sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal (usia di bawah 1 bulan). Setiap 5 menit terdapat satu neonatus yang meninggal. Penyebab kematian neonatal di Indonesia yaitu asfiksia sebesar (27%) (Depkes RI, 2007).
Angka kematian neonatal atau kematian bayi pada usia 0 – 28 hari di Lampung tahun 2007 berjumlah 785 kasus, penyebabnya yaitu asfiksia sebanyak 272 neonatus (34,6%) (Laporan Tahunan Dinkes Lampung 2007). Kematian neonatus di Kota Metro tahun 2007 terdapat 31 neonatus yang meninggal diantaranya disebabkan oleh asfiksia sebanyak 7 neonatus (22,58%) (Laporan tahunan Dinkes Kota Metro, 2007).
Data pra survey di ruang anak RSUD Ahmad Yani Metro di peroleh 199 neonatus yang dirawat pada bulan Januari – Desember 2007 yaitu sebanyak 64 (32,2%) neonatus dengan asfiksia, 18 neonatus diantaranya meninggal, BBLR sebanyak 63 (31,6%) neonatus, sepsis 29 (14,6%) neonatus, ISPA 13 (6,5%) neonatus, diare 10 (5%) neonatus dan lain-lain 20 (10%) neonatus (Medical Record RSUD A. Yani, 2008).
Faktor yang diketahui menjadi penyebab terjadinya asfiksia neonatus yaitu faktor ibu yang meliputi pre eklampsi dan eklampsi, perdarahan abnormal, kehamilan lewat waktu, partus lama atau partus macet dan infeksi berat, faktor bayi meliputi lilitan tali pusat, prolapsus tali pusat, bayi prematur yaitu sebelum 37 minggu kehamilan, persalinan dengan tindakan meliputi sungsang, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, kelainan bawaan dan air ketuban bercampur mekonium (Affandi, 2007).
Pernafasan spontan bayi baru lahir bergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Bayi dengan berat badan lahir rendah akan lebih sering menderita asfiksia dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal karena belum berfungsinya paru-paru secara normal, makin pendek masa kehamilan maka kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya, dengan demikian mudah terjadi komplikasi dan makin tinggi angka kematian (Syaifuddin, 2006).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis ingin melakukan penelitian tentang karakteristik neonatus dengan asfiksia di Ruang Anak RSUD Ahmad Yani Metro tahun 2007.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis mengambil rumusan masalah tentang “Bagaimana karakteristik neonatus dengan asfiksia di Ruang Anak RSUD Ahmad Yani Metro tahun 2007?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah :
1. Jenis penelitian : Deskriptif
2. Subjek penelitian : Neonatus yang di rawat dengan asfiksia dari bulan Januari – Desember tahun 2007.
3. Objek penelitian : Karakteristik neonatus dengan asfiksia.
4. Lokasi penelitian : Di Ruang Anak RSUD Ahmad Yani Metro.
5. Waktu penelitian : 5-9 Juni 2008

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik neonatus dengan asfiksia di Ruang Anak RSUD Ahmad Yani Metro tahun 2007.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik neonatus dengan asfiksia di Ruang Anak RSUD Ahmad Yani Metro tahun 2007 berdasarkan usia gestasi.
b. Mengetahui karakteristik neonatus dengan asfiksia di Ruang Anak RSUD Ahmad Yani Metro tahun 2007 berdasarkan berat badan sewaktu lahir.
c. Mengetahui karakteristik neonatus dengan asfiksia di Ruang Anak RSUD Ahmad Yani Metro tahun 2007 berdasarkan jenis persalinan.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. RSUD Ahmad Yani Metro
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan masukan wuntuk mengetahui lebih jelas tentang karakteristik neonatus dengan asfiksia.
2. Program Studi Kebidanan Metro
Dapat digunakan sebagai bahan pengembangan materi, menambah referensi dan bahan bacaan khususnya tentang karakteristik neonatus dengan asfiksia serta sebagai bahan dokumentasi.
3. Peneliti
Peneliti dapat mengetahui lebih jelas tentang karakteristik neonatus dengan asfiksia dan menambah wawasan serta ilmu pengetahuan.
4. Peneliti Lain
Sebagai bahan yang dapat dijadikan perbandingan dan pertimbangan untuk melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut.

Karakteristik kejang demam pada anak di rumah sakit umum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak.Sekitar 2,2% hingga 5% anak mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai umur 5 tahun. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini namun pendapat yang dominan saat ini kejang pada kejang demam tidak menyebabkan akibat buruk atau kerusakan pada otak namun kita tetap berupaya untuk menghentikan kejang secepat mungkin (Marlian L, 2005).
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% da Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia lebih tinngi kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam komplek.Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam sederhana yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang demam komplek yang berlangsung lebih dari dari 15 menit, fokal atau multifel (lebih dari 1 kali kejang demam dalam 24 jam).
(Arif Manajer, 2000).
Penyakit yang disebabkan oleh gangguan saraf telah menyerang sedikitnya 1 miliyar orang diseluruh dunia. Penyakit yang telah menyerang jutaan orang di seluruh dunia ini, tidak mengenal umur, jenis kelamin, status pendidikan, maupun pendapatan. Dari 1 miliyar orang yang terkena ganguan saraf di seluruh dunia. Sebanyak 50 juta orang menderita epilepsi dan 24 juta orang menderita Alzheimer dan penyakit dimensia lainnya.
Menurut WHO diperkirakan 6,8 juta orang meninggal tiap tahun akibat ganguan syaraf (www.Dr.lion.com).
Hemiparesis biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari setengah jam) baik bersifat umum maaupun fokal, kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi.
Mula-mula kelumpuhannya bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu spasitisitas. Millichap (1968) melaporkan dari 1190 anak menderita kejang demam, hanya 0,2% saja yang mengalami hemiparesis sesudah kejang lama.
Dari suatu penelitian terhadap 431 penderita dengan kejang demam sederhana, tidak mengalami kelainan IQ, tetapi pada penderita kejang demam yang sebelumnya telah terdapat ganguan perkembangan atau neorologis akan di dapat IQ yang lebih rendah dibanding dengan saudaranya (Millchap, 1968). Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang demam, retradasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar (Nellson dan Ellenberg,1978).
Berdasarkan pengamatan penulis pada waktu mengadakan prasuprey pada tanggal 16 maret 2007 di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani di Ruang Rawat Inap terdapat 645 orang pengunjung pada tahun 2006. Diantaranya terdapat kejang demam dengan jumlah 41 balita terserang kejang demam. Dari 100% pengunjung ditemui 6,35% penderita kejang demam.
Dari data yang didapat kejang demam termasuk 4 besar yang terbanyak ditemui di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro Pada Tahun 2006.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis membuat rumusan masalah penelitan sebagai berikut : ”Bagaimana Karakteristik Kejang Demam pada Anak di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran tentang karekteristik Kejang Demam Pada Anak di Rumah Sakit Ahmad Yani Umum Metro.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui gambaran karakteristik kejang demam ditinjau dari faktor usia.
b. Untuk mengetahui gambaran karakteristik kejang demam diinjau dari faktor suhu.
c. Untuk mengetahui gambaran kqarakteristik kejang demam ditinjau dari faktor herediter.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro dalam mengenali karakteristik kejang demam pada anak sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan terhadap kasus kejang demam pada anak
2. Bagi Peneliti
Agar lebih paham, tentang karakteristik kejang demam pada anak dan dapat mengaplikasikan serta mempraktekkan untuk di terapkan masyarakat pada umumnya serta anak-anak pada khususnya.
3. Bagi Program Study Kebidanan
Sebagai dokumen dan sumbangan pemikiran kepada program study kebidanan metro dalam mengenali karakteritik kejang demam pada anak di Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Metro.

E. Ruang Lingkup Penelitian
Dengan luasnya permasalahan tentang karakteristik kejang demam pada anak penulis membatasi ruang lingkup penelitian dengan variabel sebagai berikut :
1. Subjek penelitian : Anak berusia 6 bulan sampai 4 tahun.
2. Objek penelitian : Karakteristik kejang demam pada anak
3. Lokasi penelitian : Ruang rawat inap anak Rumah Sakit Umum Metro.
4. Waktu penelitian : Setelah proposal disetujui.

Karakteristik ibu yang menyapih bayi di bawha usia 1 tahun di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Penyapihan dini adalah pemberhentian pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi sebelum usia 1 tahun. (Depkes RI, 1992). ASI tidak perlu diragukan lagi karena ASI merupakan makanan bayi yang paling baik dan ASI juga bermanfaat bagi tumbuh kembang bayi untuk lebih optimal (Soetjiningsih, 1998). Akan tetapi ada kalanya oleh suatu sebab misalnya ibu yang bekerja, harus menambah atau mengganti ASI dengan makanan tambahan bahkan harus dilakukan penyapihan dini.
Penyapihan dini dapat mempengaruhi pertumbuhan bayi, misalnya Kurang Energi Protein (KEP). KEP dapat terjadi karena para ibu yang setelah melahirkan, bekerja sehingga harus meninggalkan bayi dari pagi sampai sore. Dengan demikian bayi tersebut tidak mendapat ASI yang merupakan nutrisi pokok di samping pemberian Pengganti Air Susu Ibu (PASI) atau makanan tambahan tidak diberikan sebagaimana mestinya (Pudjiadi, 1997). Saat pemberian ASI juga memberikan rasa kasih sayang yang dapat dirasakan oleh bayi melalui hangatnya pelukan ibu dan menimbulkan rasa aman (Soetijiningsih, 1998).
Di Indonesia, gerakan nasional Peningkatan Pemanfaatan Air Susu Ibu (PPASI) yang telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia kedua pada acara puncak peringatan Hari Ibu ke 62 tanggal 22 Desember 1990. Pencanangan tersebut menunjukkan dukungan pemerintah dalam Peningkatan Pemanfaatan Air Susu Ibu (PPASI) (Soetjiningsih, 1998).
ASI merupakan makanan ideal untuk bayi, secara psikologis maupun biologis. ASI memberikan keuntungan bagi keluarga maupun bagi bayi dan balita. ASI mengandung zat gizi untuk membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang diperlukan dan melindungi bayi terhadap infeksi terutama infeksi pencernaan (Pudjiadi, 1997).
Pada usia sampai dengan 6 bulan kebutuhan bayi dapat dipenuhi oleh ASI. Setelah itu kebutuhan bayi semakin bertambah dengan pertumbuhan dan perkembangan bayi dan produksi ASI menurun. Karena itu bayi memerlukan makanan tambahan (PASI) ini dilihat dari pemenuhan kebutuhan fisik. Namun demikian saat menyusui dapat dibentuk pemenuhan kebutuhan psikologis, sehingga menyusui dapat diteruskan minimal 1 tahun, karena bayi 1 tahun dalam fase oral, dimana bayi akan kebutuhan rasa aman sangat dominan (Moehji, 1992).
Ada beberapa hal yang mempengaruhi pemberian ASI berlangsung kurang dari 1 tahun diantaranya tingkat pendidikan ibu, ibu harus bekerja dan dukungan keluarga. Tidak terpenuhinya nutrisi akan berpengaruh pada bayi dan balita sehingga timbul gizi kurang/buruk. Hal ini dapat dilihat dari SUSENAS 1998 dijumpai prevalensi KEP pada balita berjumlah 19,6%. Di Lampung prevalensi gizi buruk/kurang dari 28,3% pada tahun 1999 menjadi 5,1% pada tahun 2002 (Profil Lampung, 2002).
Berdasarkan data pra survey di wilayah kerja Puskesmas Kalirejo khususnya Kampung Kalirejo masih ada bayi yang disapih kurang dari 1 tahun yaitu 30 bayi (15,8%) dari 190 ibu yang masih menyusui. Berdasarkan masalah tersebut di atas penulis tertarik untuk mengetahui karakteristik ibu yang menyapih bayi di bawah usia 1 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kalirejo tahun 2003.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : “Bagaimanakah karakteristik ibu yang menyapih bayi di bawah usia 1 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kalirejo ?”

1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Jenis Penelitian : Deskriptif
Subyek Penelitian : Karakteristik ibu yang menyapih bayi di bawah usia 1 tahun di Kampung Kalirejo Kecamatan Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah.
Obyek Penelitian : Ibu yang mempunyai bayi di bawah usia 1 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kalirejo.
Lokasi Penelitian : Wilayah kerja Puskesmas Kalirejo
Waktu penelitian : 17 – 24 Mei 2004

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik ibu yang menyapih bayi di bawah usia 1 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kalirejo Kecamatan Kalirejo tahun 2003.
1.4.2 Tujuan Khusus
Diketahuinya karateristik tingkat pendidikan ibu sebagai penyebab ibu menyapih di bawah usia 1 tahun.
Diketahuinya karakteristik faktor ibu bekerja sebagai penyebab ibu menyapih bayinya di bawah usia 1 tahun.
Diketahuinya karakteristik faktor dukungan keluarga sebagai penyebab ibu menyapih bayinya di bawah usia 1 tahun.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan pengelolaan manfaat ASI.
1.5.2 Bagi ibu dan keluarga.
Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi ibu yang mempunyai bayi yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kalirejo pada umumnya sehingga ibu menyusui sampai usia 1 tahun dan dapat dilakukan penyapihan dengan baik.

Karakteristik kanker serviks di ruang kebidanan RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu masalah yang sering terjadi pada wanita baik di negara Eropa maupun negara – negara berkembang seperti Indonesia adalah peningkatan penyakit kanker serviks. Frekwensi relatif di Indonesia adalah 27% berdasarkan data patologik. Secara keseluruhan mempunyai urutan ke – 5 berdasarkan data Pusat Patologi Indonesia dari 13.644 kasus mempunyai frekwensi tertinggi yaitu 27% atau 36% dari 10.233 kasus pada wanita. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kanker serviks di antaranya adalah kawin di usia muda, pendidikan, pekerjaan dan tingginya sering melahirkan. (FKUI Jakarta, 2000).
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya merupakan penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk untuk dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, yaitu sempurnanya kesehatan fisik dan mental. Pembangunan kesehatan itu merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan pembangunan nasional yang harus dicapai oleh Bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Upaya pembangunan bidang kesehatan tidak hanya terfokus pada upaya peyembuhan saja, tetapi upaya tersebut secara berangsur – angsur berkembang ke arah promotif, preventif dan rehabilitatif. (Depkes, 1999)
Problem kesehatan saat ini merupakan suatu masalah yang kompleks. Oleh sebab itu perlu adanya suatu tatanan yang mantap baik dari segi pelayanan maupun metode dan strategi yang dilakukan. Salah satu upaya pembangunan bidang kesehatan tersebut diwujudkan dalam usaha untuk meningkatkan derajat kesehatan para ibu karena banyaknya kasus – kasus penyakit yang terjadi pada wanita, terutama mengenai masalah yang menyangkut organ – organ reproduksi. Hal inilah yang banyak dijumpai, tentunya kita sepakat bahwa kedalam kelalaian dalam menghadapi hal tersebut akan mengakibatkan menurunnya keadaan kesehatan ibu, bahkan keadaanya akan semakin memburuk dilihat dari segi morbiditas dan mortalitasnya. (Profil Propinsi Lampung, 2001).
Deteksi dini kanker serviks, karena penyakit kanker merupakan salah satu penyakit masa depan disamping penyakit degeneratif lain seperti kardiovaskuler, dan sudah dapat dipastikan bahwa deteksi dan diagnosa dini serta penanganan terapi yang adekuat akan menghasilkan prognosa yang baik, dan dengan cara itu penyakit kanker tidak perlu ditakuti serta dengan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran yang pada gilirannya akan dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di Rumah Sakit, Puskesmas dan praktek pribadi. (FKUI Jakarta, 2000).
Dalam prasurvey bulan April 2004 di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung terdapat 44 responden dengan kanker serviks yang sudah berada pada stadium lanjut ketika datang ke rumah sakit. Atas dasar tersebut penulis ingin meneliti bagaimanakah karakteristis kanker serviks.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian data – data yang terdapat pada latar belakang di atas, maka diperoleh rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : “bagaimanakah karakteristik kanker serviks di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung ?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sifat penelitian adalah : deskriptif
2. Subyek penelitian adalah : karakteristik penderita kanker serviks.
3. Obyek penelitian adalah : ibu-ibu dengan kanker serviks
4. Tempat penelitian ` : di Ruang Kebidanan RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung
5. Waktu penelitian : tanggal 22 Mei 2004 sampai dengan 21 Juni 2004

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik ibu dengan kanker serviks di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung tahun 2003.
2. Tujuan Khusus
Dengan memperhatikan masalah dan permasalahan yang dikemukakan diatas maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Diketahuinya umur sebagai karakteristik kanker serviks.
b. Diketahuinya tingkat pendidikan sebagai karakteristik kanker serviks.
c. Diketahuinya jenis pekerjaan sebagai karakteristik kanker serviks.
d. Diketahuinya jumlah anak sebagai karakteristik kanker serviks.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Bagi RSUAM
Agar lebih meningkatkan kinerja dalam mengupayakan penyuluhan tentang bagaimana deteksi dini kanker serviks, bagi ibu – ibu yang sudah menikah dan berumur di atas 30 tahun, sebaiknya memeriksakan diri dengan pap smear untuk mengetahui gejala kangker serviks.
2. Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam penelitian serta menerapkan ilmu yang telah didapat selama studi khususnya metodologi penelitian dalam rangka menganalisa masalah kebidanan khususnya penderita kanker serviks.
3. Instansi Pendidikan
Sebagai sumber bahan bacaan diperpustakaan dan referensi awal penelitian selanjutnya bagi perpustakaan di instansi pendidikan.
4. Bagi Masyarakat
Agar masyarakat terutama bagi calon ibu yang berusia kurang dari 20 tahun sebaiknya menunda perkawinan dan bagi ibu – ibu yang sudah menikah setialah pada pasangannya.

Karakteristik ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperemisis gravidarum adalah mual dan muntah yang berlebihan pada wanita hamil sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari dan keadaan umum menjadi buruk serta dehidrasi (Mochtar, 1995). Sekitar 50% wanita hamil mengalami mual-mual dan beberapa sampai muntah-muntah. Keluhan ini terjadi dalam 12 minggu pertama kehamilan, biasanya menghilang pada akhir waktu tersebut, tapi kadang-kadang muncul kembali menjelang akhir kehamilan. (Jones, 1997). Ibu hamil yang masih mengalami mual muntah sampai trimester ketiga dapat menyebabkan tubuh menjadi lemas, muka pucat, dan frekuensi buang air kecil menurun drastis, inilah yang dinamakan hiperemisis gravidarum (Indra Anwar SpOG, Maret 2007)
Hasil pengumpulan data Tingkat Pusat, Subdirektorat. Kebidanan dan kandungan Subdirektorat Kesehatan Keluarga dan data inbdikator Kabupaten/Kota bidang kesehatan dari 325 Kabupaten/Kota menunjukkan bahwa pada tahun 2003 persentase ibu hamil resiko tinggi yang dirujuk dan mendapat pelayanan kesehatan lebih lanjut sebesar 20,44%. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah di Provinsi Sulawesi Tengah (96,53%) dan Di Yogyakarta (76,60%) sedangkan yang terendah adalah di Provinsi Maluku Utara (3,66%) dan Sumatera Selatan (3,81%) (Profil Kesehatan Indonesia, 2003).
Mual dan muntah terjadi pada 60-80% primigravida dan 40-60% multigravida. Mual dan muntah ini sering terjadi pada kehamilan trimester 1 (Sarwono, 2002). Hasil data dari seksi Kesehatan Keluarga Subdirektorat Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi Pada tahun 2005 jumlah ibu hamil di Kabupaten Lampung Tengah adalah 28.321 dan yang mempunyai resiko tinggi ada 309 ibu hamil. Ibu hamil yang dirujuk adalah ibu hamil resiko tinggi/komplikasi yang ditemukan untuk mendapatkan pertolongan pertama dan rujukan oleh tenaga kesehatan (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2005).
Berdasarkan hasil kegiatan wilayah kerja Puskesmas tahun 2006 Seputih Raman yang mencakup 8 desa / kampung, jumlah ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di Puskesmas ada 738 ibu hamil dengan frekuensi kunjungan 4x selama kehamilan. Pada pra survey yang penulis lakukan, maka didapatkan jumlah ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum. Pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Jumlah Ibu Hamil dengan Hiperemisis Gravidarum pada Tahun 2006 di Puskesmas Seputih Raman.
No Nama Kampung Ibu Hamil dengan Hiperemesis Gravidarum
1 Rejo Asri 0
2 Rama Dewa 7
3 Rama Gunawan 1
4 Rama Oetama 15
5 Rama Murti 0
6 Rama Nirwana 0
7 Rama Endah 1
8 Rukti Harjo 9
Jumlah 33
Tabel 2. Jumlah Ibu Hamil dengan Hiperemisis Gravidarum pada bulan Januari - Maret 2007.
No Nama Kampung Ibu Hamil dengan Hiperemesis Gravidarum
1 Rejo Asri 0
2 Rama Dewa 5
3 Rama Gunawan 1
4 Rama Oetama 5
5 Rama Murti 1
6 Rama Nirwana 4
7 Rama Endah 0
8 Rukti Harjo 6
Jumlah 22
(Medical Record Puskesmas Seputih Raman, 2007)
Hasil laporan menunjukkan bahwa hampir 50-90% dan wanita hamil mengalami mual muntah trimester pertama (3 bulan pertama kehamilan). Normal jika mual dan muntah berlangsung dalam triwulan pertama kehamilan. Namun, jika muntah-muntah terjadi berlebihan sampai 7 kali dalam sehari, kondisi ibu menjadi lemah, tidak beselera makan, berak badan menurun, dan nyeri ulu hati (InfoIbu.On line,Maret 2007).
Penyebab hiperemisis gravidarum belum diketahui secara pasti, beberapa faktor predisposisi diantaranya pada primigravida, molahidatidosa, kehamilan ganda, faktor organik dan faktor alergi serta faktor psikologik (Sarwono, 2002). Penyebab lain diduga karena pengaruh perubahan psikologi dan adanya pengaruh perubahan hormonal selama kehamilan. (infoibu.on line,maret 2007).
Akibat yang terjadi dari hiperemisis gravidarum adalah dehidrasi, gangguan fungsi hepar dan fibris (POGI, 1991). Hiperemisis gravidarum yang terus menerus dapat menyebabkan kekurangan makanan dan cairan yang dapat mempengaruhi perkembangan janin (Sarwono, 2002). Kekurangan makanan dan cairan atau dehidrasi, buruk pengaruhnya terhadap anak dikandungan maupun pada diri ibu sendiri (infoibu.online, Maret 2007). Kerusakan pada hati sehingga faalnya terganggu disebabkan oleh kekurangan zat makanan. Jika muntah tidak berhenti-henti maka akan timbul keadaan ikterus, delirium, suhu tinggi, perdarahan pada retina dan apabila dalam hal ini dapat dipertanggung jawabkan untuk menghentikan kehamilan, maka dilakukan abortus terapeutis (Muchtar, 1995).
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul karakteristik ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum di wilayah kerja Puskesmas Seputih Raman.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut, “bagaimana karakteristik ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum di wilayah kerja Puskesmas Seputih Raman ?”.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis akan membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian : deskriptif
2. Subjek Penelitian : ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum.
3. Objek Penelitian : karakteristik ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum.
4. Lokasi Penelitian : peneliti mengambil tempat penelitian di wilayah kerja Puskesmas Seputih Raman
5. Waktu Penelitian : setelah penulisan proposal disetujui

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penulis mempunyai tujuan umum yaitu diperolehnya karakteristik ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum di wilayah Kerja Puskesmas Seputih Raman.
2. Tujuan Khusus
Selain mempunyai tujuan umum, penulis juga mempunyai tujuan khusus yaitu :
a. Diketahuinya karakteristik ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum dilihat dari pendidikan.
b. Diketahuinya karakteristik ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum dilihat dari paritas.
c. Diketahuinya karakteristik ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum dilihat dari nutrisi.
d. Diketahuinya karakteristik ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum dilihat dari psikologis.
e. Diketahuinya karakteristik ibu hamil dengan hiperemisis gravidarum dilihat dari usia kehamilan.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya untuk menambah referensi perpustakaan untuk bahan acuan penelitian yang akan datang.
2. Bagi Penulis
Sebagai pengalaman dalam melakukan penulisan ilmiah, menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam bidang kesehatan masyarakat.
3. Bagi Puskesmas
Diharapkan memberikan manfaat sebagai sumbangan pemikiran dan bahan masukan terhadap peningkatan program KIA dan ANC.

Karakteristik ibu hamil dengan anemia di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di lakukan dengan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan masyarakat dan keluarga melalui peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Derajat kesehatan masyarakat dan keluarga antara lain di tentukan oleh derajat kesehatan ibu dan anak sebagai salah satu kelompok penduduk yang rawan dan strategis. Oleh karena itu perlu di upayakan penurunan tingkat kematian ibu maternal dan angka kematian bayi secara bermakna. Karena angka kematian ibu maternal dan angka kematian bayi merupakan indikator penilaian derajat kesehatan masyarakat (Depkes RI, 1992).
Kemampuan untuk memberikan pelayanan obstetri yang bermutu dan menyeluruh di dasarkan atas tinggi rendahnya kematian ibu dan kematian perinatal dari satu negara (Manuaba, 2001). Angka kematian ibu (AKI) sebagai salah satu indikator kesehatan ibu, dewasa ini di Indonesia masih tinggi bila di bandingkan dengan AKI di negara ASEAN lainnya. Menurut data dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, AKI di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Sebagian besar penyebab kematian ibu secara langsung (Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001) adalah komplikasi yang terjadi saat persalinan dan segera setelah bersalin. Penyebab tersebut di kenal dengan Trias Klasik yaitu perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Sedangkan penyebab tidak langsungnya antara lain adalah ibu hamil menderita Kurang Energi Kronis (KEK) 37%, anemia (Hb kurang dari 11 gr%) 40%. Kejadian anemia pada ibu hamil ini akan meningkatkan resiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia (Depkes RI, 2004).
Kejadian anemia pada ibu hamil berkisar antara 20% sampai 89% dengan menetapkan Hb 11 gr% sebagai dasarnya. Angka anemia kehamilan di Indonesia menunjukkan nilai yang cukup tinggi (Manuaba, 1998).
Jumlah kematian ibu maternal di Propinsi Lampung pada tahun 2005 sebanyak 145 kasus dari 165.347 kelahiran hidup. Penyebab terbesar kematian ibu adalah perdarahan sebesar 50,69%. Berdasarkan hasil survey anemia Dinas Kesehatan Propinsi Lampung tahun 2004 terhadap anemia pada ibu hamil terdapat 69,7% wanita hamil di Lampung menderita anemia akibat kekurangan zat besi ke dalam tubuh (Dinkes Prop. Lampung, 2005). Angka kematian ibu maternal di Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2006 sebanyak 16 kasus. Penyebab kematian maternal tertinggi adalah perdarahan yang proporsinya mencapai 62,5% dari seluruh kasus kematian yang dicatat dan dilaporkan. Ibu hamil yang menderita anemia gizi besi di Kabupaten Lampung Timur sebanyak 72,3% (Dinkes Lampung Timur, 2007).
Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada periode 2002-2003, tingkat kematian perinatal adalah 24 per 1000 kelahiran (Kadin, 2007). Berat Badan Lahir Rendah (kurang dair 2500 gram) merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal. BBLR di bedakan dalam 2 kategori yaitu : BBLR karena prematur (usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau BBLR cukup bulan tetapi berat badannya kurang. Di Negara berkembang banyak BBLR dengan IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria dan menderita Penyakit Menular Seksual (PMS) sebelum konsepsi atau pada saat hamil (Depkes RI, 2003). Angka kematian neonatal di Kabupaten Lampung Timur tahun 2006 yang dicatat dan dilaporkan sebanyak 81 kasus, penyebab kematian tertinggi adalah BBLR sebesar 32 kasus (39,5%). BBLR di Kabupaten Lampung Timur tahun 2006 sebanyak 56 kasus, 57,14% diantaranya meninggal dunia. Di Puskesmas Batanghari terdapat 8 kasus bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram (BBLR) (Dinkes Lampung Timur, 2007).
Anemia kehamilan di sebut “Potential Danger to Mother and Child” (potensial membahayakan ibu dan anak), karena itulah anemia memerlukan perhatian serius dari semua pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan pada lini terdepan. Pengaruh anemia dalam kehamilan diantaranya adalah dapat menyebabkan BBLR dan perdarahan. Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat gizi, jenis anemia yang pengobatannya relatif mudah bahkan murah. Anemia pada kehamilan merupakan masalah Nasional karena mencerminkan nilai kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan pengaruhnya sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia (Manuaba, 2001).
Pada pengamatan lebih lanjut menunjukkan bahwa kebanyakan anemia yang di derita masyarakat adalah karena kekurangan zat besi yang dapat di atasi melalui pemberian zat besi secara teratur dan peningkatan gizi. Selain itu di daerah pedesaan banyak dijumpai ibu hamil dengan malnutrisi atau kekurangan gizi, ibu hamil dengan pendidikan dan tingkat sosial ekonomi rendah (Manuaba, 2001). Di Kabupaten Lampung Timur besarnya angkatan kerja di sektor tanaman pangan dipengaruhi oleh angkatan kerja dengan pendidikan yang rendah yakni sebesar 68,8% (tidak tamat dan tamat SD), hal ini berpengaruh terhadap tingkat sosial ekonomi masyarakat (Dinkes Lampung Timur, 2007).
Masalah gizi adalah masalah Nasional masing-masing negara, berkaitan dengan nilai dan jumlah gizi masyarakat dalam ukuran minimal untuk kebutuhan kalori dan bahan esensial kesehatannya. Anemia gizi besi mencerminkan kemampuan sosial ekonomi masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhannya dalam jumlah dan kualitas gizi (Manuaba, 2001). Ibu hamil yang mengidap anemia perlu di tangani segera dengan asupan nutrisi yang baik sesuai kebutuhan antara lain makanan yang mengandung zat besi dan protein yang cukup, sayuran berwarna hijau yang mengandung vitamin dan mineral (Paath, 2004).
Berdasarkan hasil dari pra survey yang dilakukan Penulis di Puskesmas Batanghari pada bulan Januari-Maret 2007 dari 14 orang ibu hamil yang dilakukan pemeriksaan Hb di dapatkan 11 orang ibu hamil menderita anemia (78,57%). Hal ini menunjukkan angka kejadian anemia pada ibu hamil di Puskesmas Batanghari masih tinggi. Berdasarkan uraian masalah diatas Penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang karakteristik ibu hamil dengan anemia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimana karakteristik ibu hamil dengan anemia di Puskesmas Batanghari Tahun 2007?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis penelitian : Deskriptif
2. Subjek penelitian : Karakteristik ibu hamil dengan anemia
3. Objek penelitian : Ibu hamil dengan anemia yang memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Batanghari
4. Lokasi penelitian : Puskesmas Batanghari
5. Waktu penelitian : 7,11,14 Juni 2007

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini untuk mengetahui karakteristik ibu hamil dengan anemia di Puskesmas Batanghari tahun 2007.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya karakteristik ibu hamil dengan anemia dilihat dari tingkat pendidikan.
b. Diketahuinya karakteristik ibu hamil dengan anemia dilihat dari tingkat ekonomi.
c. Diketahuinya karakteristik ibu hamil dengan anemia dilihat dari pola konsumsi.
E. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Batanghari
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi bidan atau tenaga kesehatan sebagai bahan KIE sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan tersebut berkaitan dengan karakteristik ibu hamil dengan anemia.
2. Instansi Pendidikan
Sebagai sumber bahan bacaan dan referensi bagi perpustakaan di instansi pendidikan, terutama yang terkait dengan karakteristik ibu hamil dengan anemia.
3. Peneliti Lain
Sebagai bahan yang dapat dijadikan perbandingan dan pertimbangan untuk melakukan penelitian-penelitian ditempat lain.
4. Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan tentang faktor karakteristik ibu hamil dengan anemia serta sebagai penerapan ilmu yang telah didapat selama studi.

Blog Archive