Pengertian
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). TB Paru adalah penyakit infeksi pada Paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam (Suriadi, 2001). TB Paru adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang ditularkan melalui udara (Asih, 2004).
Etiologi
Menurut Suriadi (2001) penyebab dari TB Paru adalah : 1) Mycobacterium tuberculosis. 2) Mycobacterium bovis
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis : a) Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara genetik. b) Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan. c) Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi. d) Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat. e) Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang nutrisi, stress emosional, kelelahan yang kronik) f) Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan memudahkan untuk penyebarluasan infeksi. g) Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah. h) Nutrisi ; status nutrisi kurang i) Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis. j) Tidak mematuhi aturan pengobatan.
Patofisiologi
Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk/bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan kemudian menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lain (Dep.Kes, 2003).
Riwayat terjadinya TB paru dibedakan menjadi 2 (Dep.Kes, 2003) : 1) Infeksi Primer, Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB Paru. Droplet yang terhirup ukurannya sangat kecil, sehingga dapat melewati mukosilier bronkus, dan terus berjalan hingga sampai di alveolus, menurut dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan pada paru, dan ini disebut komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB Paru. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB Paru. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. 2) Infeksi pasca primer (Post Primary TB), TB Paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Ciri khas dari TB Paru pasca primer adalah kerusakan Paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Tanpa pengobatan setelah 5 tahun, 50 % dari penderita TB Paru akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap menular.
Manifestasi Klinik Menurut Dep.Kes( 2003),
manifestasi klinik TB Paru dibagi :
1. Gejala Umum: Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Pada TB Paru anak terdapat pembesaran kelenjar limfe superfisialis. 2. Gejala lain yang sering dijumpai: a) Dahak bercampur darah. b) Batuk darah c) Sesak nafas dan rasa nyeri dada d) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan. Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit Paru selain TB Paru. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, harus dianggap sebagi seorang “suspek TB Paru” atau tersangka penderita TB Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Penemuan Penderita TB Paru
Menurut Dep.Kes (2003), penemuan penderita TB Paru dibedakan menjadi 2: 1. Pada orang dewasa: Penemuan TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sedikitnya dua dari tiga spesimen BTA hasilnya positif. 2. Pada anak-anak: Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, dan biopsi. Sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Seorang anak harus dicurigai menderita TB Paru kalau mempunyai sejarah kontak erat/serumah dengan penderita TB Paru BTA positif, terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) dan terdapat gejala umum TB paru yaitu batuk lebih dari 2 minggu.
Klasifikasi TB Paru Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas : 1) Berdasarkan organ yang terinvasi: a) TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam Tuberkulosis Paru BTA positif dan BTA negatif. b) TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu : TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal; dan TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB saluran kencing dan alat kelamin. 2) Berdasarkan tipe penderita: Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita : a) Kasus baru : penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan. b) Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif. c) Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah. d) Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Komplikasi Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut: 1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. 2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru. 4) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru. 5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 6) Insufisiensi Kardio Pulmoner
Penatalaksanaan
Menurut Dep.Kes (2003) tujuan pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Salah satu komponen dalam DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung dan untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pemberian paduan OAT didasarkan pada klasifikasi TB Paru. Prinsip pengobatan TB Paru adalah obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin, Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadi kekambuhan. Pada anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB Paru BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan. Bila anak mempunyai gejala seperti TB Paru maka dilakukan pemeriksaan seperti alur TB Paru anak dan bila tidak ada gejala, sebagai pencegahan diberikan Izoniasid 5 mg per kg berat badan perhari selama enam bulan. Pada keadaan khusus (adanya penyakit penyerta, kehamilan, menyusui) pemberian pengobatan dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi khusus tersebut (Dep.Kes, 2003) misalnya : 1) Wanita hamil: Pinsip pengobatan pada wanita hamil tidak berbeda dengan orang dewasa. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil kecuali Streptomycin, karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta yang akan mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang dilahirkan. 2) Ibu menyusui: Pada prinsipnya pengobatan TB Paru tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi sesuai dengan berat badannya. 3) Wanita pengguna kontrasepsi: Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Penderita TB Paru seyogyanya menggunakan kontrasepsi non hormonal. 4) Penderita TB Paru dengan kelainan hati kronik: Sebelum pengobatan TB, penderita dianjurkan untuk pemeriksaan faal hati. Apabila SGOT dan SGPT meningkat 3 kali, OAT harus dihentikan. Apabila peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita kelainan hati, Pirazinamid tidak boleh diberikan. 5) Penderita TB Paru dengan Hepatitis Akut: Pemberian OAT ditunda sampai Hepatitis Akut mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB Paru sangat diperlukan, dapat diberikan Streptomycin dan Ethambutol maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampicin dan Isoniasid selama 6 bulan. 6) Penderita TB Paru dengan gangguan ginjal: Dosis yang paling aman adalah 2 RHZ/6HR. apabila sangat diperlukan, Etambutol dan Streptomicin tetap dapat diberikan dengan pengawasan fungsi ginjal. 7) Penderita TB paru dengan Diabetes Mellitus: Dalam keadaan ini, diabetesnya harus dikontrol. Penggunaan Rifampicin akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Penggunaan Etambutol pada penderita Diabetes harus diperhatikan karena mempunyai komplikasi terhadap mata.
Penggunaan OAT mempunyai beberapa efek samping diantaranya a. Rifampicin : tidak nafsu makan, mual, sakit perut, warna kemerahan pada air seni, purpura dan syok (Dep.Kes, 2003), sindrom flu, hepatotoksik (Soeparman, 1990) b. Pirasinamid : nyeri sendi, hiperurisemia, (Soeparman, 1990) c. INH : kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki (Dep.Kes, 2003), neuropati perifer, hepatotoksik (Soeparman, 1990). d. Streptomisin : tuli, gangguan keseimbangan (Dep.Kes, 2003), nefrotoksik dan gangguan Nervus VIII (Soeparman, 1990) e. Ethambutol : gangguan penglihatan, nefrotoksik, skinrash/dermatitis (Soeparman, 1990). f. Etionamid : hepatotoksik, gangguan pencernaan (Soeparman, 1990)
Hampir semua OAT memberikan efek samping gatal dan kemerahan, ikhterus tanpa penyebab lain, bingung dan muntah-muntah (Dep.Kes, 2003), serta bersifat hepatotoksik atau meracuni hati (Soeparman, 1990) Menurut Suriadi (2001) penatalaksanaan terapeutik TB Paru meliputi nutrisi adekuat, kemoterapi, pembedahan dan pencegahan. Menurut Soeparman (1990), indikasi terapi bedah saat ini adalah penderita sputum BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulangi dan penderita batuk darah masif atau berulang.