Wednesday, July 20, 2011

Masjid Agung Solo Pernah Dihiasi Emas

KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYATMasjid Agung Surakarta, Solo, Jawa Tengah, Minggu (10/7/2011). Masjid ini didirikan oleh Raja Surakarta Paku Buwono III (PB III) pada tahun 1785.

KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAMasjid Agung Surakarta, Solo, Jawa Tengah, Minggu (10/7/2011). Masjid ini didirikan oleh Raja Surakarta Paku Buwono III (PB III) pada tahun 1785.

KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYATMasjid Agung Surakarta, Solo, Jawa Tengah, Minggu (10/7/2011). Masjid ini didirikan oleh Raja Surakarta Paku Buwono III (PB III) pada tahun 1785.

SOLO, KOMPAS.com — Jika berkunjung ke Solo atau lewat saat mudik, tak ada salahnya mampir ke Masjid Agung Surakarta. Masjid yang dibangun Sunan Pakubuono (PB) IV ini tak hanya agung dan megah, tapi penuh sejarah dan kisah, juga strategis.

Masjid ini pernah dihiasi emas di pucuknya. Namun, karena banyak yang dicuri dan tinggal setengah, akhirnya pada masa PB X diganti. Pada masa PB X juga banyak terjadi renovasi, besar-besaran, termasuk gapura masuk halamannya yang kemudian bergaya Persia. Sebelumnya, gapura itu berbentuk limasan khas Jawa.

Masjid ini sejak dulu memang menjadi ampiran atau pusat ibadah dan kebudayaan masyarakat Solo. Di tempat itu pula ada dua bangsal untuk menyimpan gamelan yang dimainkan setiap Sekaten, atau perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW, terutama pada tanggal 5 sampai 12 Maulud.

Di sini pula pusat penyebaran agama Islam di Surakarta. Bahkan, Sekaten merupakan bagian dari kegiatan penyebaran agama lewat laku budaya.

Setiap kali Sekaten, masyarakat akan berbondong-bondong ke masjid yang terletak di sisi barat laut Keraton Kasunanan Surakarta Hadininrat, atau sebelah barat alun-alun. Mendengar gamelan Sekaten dimainkan, terutama zaman dulu, ibarat kegiatan wajib. Apalagi, gamelan itu hanya dimainkan setahun sekali.

Dengan tempat yang luas dan sejuk, tak jarang masyarakat Solo atau pendatang beristirahat di masjid itu sambil menjalankan ibadah. Apalagi, di sekitarnya terdapat banyak pedagang tradisional, baik mainan maupun berang lainnya.

Hanya sekitar 100 meter di selatan masjid atau sebelah barat keraton, ada Pasar Klewer yang amat terkenal. Di sinilah pusatnya pasar tekstil terbesar. Segala jenis pakaian, terutama batik, dijual di sini baik eceran maupun grosiran.

Maka, mengunjungi masjid ini ibarat sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Selain bisa istirahat dan beribadah, juga bisa berwisata ke keraton, masjid, alun-alun, atau belanja pakaian di Pasar Klewer.

Masjid dan alun-alun Surakarta ini juga punya sejarah besar berkenaan dengan tradisi mudik. Konon, dulu, Mangkunegoro I atau Pangeran Sambernyawa yang bergerilya melawan Belanda, selalu pulang pada saat Idul Fitri untuk shalat Ied di alun-alun Keraton Surakarta. Setelah itu dia akan sungkem meminta maaf kepada orang tuanya.

Kebiasaan Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru masyarakat lain yang mengembara, bahkan kemudian menjadi tradisi hingga kini. Meski begitu, tradisi mudik, kata almarhum budayawan Umar Kayam, sudah mentradisi di masyarakat petani sejak zaman Majapahit. Hanya saja, tradisi itu meluntur dan tak terlalu besar, kemudian menjadi tradisi besar lagi pada masa Pangeran Sambernyawa.

Tim Gowes Jurnalistik: Pantau Jalur Mudik 2011, sempat mengunjungi masjid itu. Bangunan kuno itu serasa menceritakan banyak kisah.

20 Jul, 2011


--
Source: http://travel.kompas.com/read/xml/2011/07/20/1613140/Masjid.Agung.Solo.Pernah.Dihiasi.Emas
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com

Blog Archive