Thursday, July 21, 2011

Bisnis Tiket buat Pencandu Konser

KOMPAS.com - Namanya M Ryan Novianto (23). Laki-laki bertubuh subur itu nyaris selalu hadir di semua konser -terutama konser band asing- di Indonesia. Dia adalah pencandu konser yang barangkali sudah dalam tahap kronis. Bayangkan, tahun 2010 ada 50-an konser band/artis yang dia tonton. Tahun 2011 dia telah menonton sekitar 20 konser, mulai Java Jazz, Stone Temple Pilots, MGMT, Suede, dan Far East Movement.

"Pokoknya, kalau gua suka sama satu band, ke mana aja dia main, gua akan kejar termasuk ke negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura," ujar Ryan yang bulan ini telah mengagendakan menonton Festival Java Rockin'land di Ancol yang dihadiri banyak band asing.

Ryan pertama kali menonton konser musik tahun 1996 ketika berusia sembilan tahun. Kebetulan si "Raja Pop" Michael Jackson main di Singapura. "Gua senang banget bisa nonton konser itu. Gua bisa cerita dengan bangga kepada teman-teman," ujarnya.

Seiring dengan waktu, Ryan kian kecanduan nonton konser. Puncaknya ketika dia duduk di bangku SMA dan awal masa kuliah. Setiap tahun dia bisa menghabiskan Rp 2 juta untuk menonton 4-5 konser band asing bersama teman-temannya. Itu belum termasuk pengeluaran untuk hotel dan pesawat jika menonton konser di luar negeri. "Kalau pengeluaran untuk nonton band lokal, enggak pernah gua hitung," kata Ryan.

Pencandu konser seperti Ryan kian banyak jumlahnya di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Aditya (21), misalnya, rajin hadir di konser besar ataupun kecil. "Tahun ini saja sudah 10 kali nonton konser termasuk konser Suede," ujar mahasiswi Universitas Indonesia itu.

Perempuan bertubuh mungil itu tidak hanya menonton di Jakarta, melainkan juga di luar kota. "Kami bela-belain naik kereta api dan nginap di rumah teman supaya bisa nonton konser," katanya diikuti tawa.

Kenapa mencandu konser? Ryan merasa senang luar biasa setiap berada di tengah suasana konser. "Gua bisa jingkrak-jingkrak, teriak-teriak. Pokoknya gua benar-benar merasakan euforia. Kalau sampai band favorit main di Indonesia dan gua enggak nonton, nyeselnya enggak ketulungan," ujarnya.

Itu pernah terjadi tahun 1996. Ketika itu Ryan gagal menonton Greenday di Jakarta. "Untungnya mereka main di Singapura tahun 2010. Tanpa pikir panjang gua langsung beli tiketnya dan nonton di sana," ujarnya.

Menjadi komunitas dan bisnis
Para pencandu konser itu berhubungan satu sama lain. Mereka membentuk komunitas-komunitas yang memudahkan untuk bertukar informasi soal konser, membahas band favorit mereka, hingga menggagas konser musik sendiri.

Ryan bersama temannya, Dimas Wisnuwardoyo, mendirikan komunitas di dunia maya bernama JakartaConcerts.com tahun 2007. Dengan cepat komunitas concert goers itu berkembang hingga beranggotakan 4.000 orang. Komunitas itu juga memiliki akun Twitter @JakartaConcerts dengan pengikut puluhan ribu orang.

Melalui dunia maya, Ryan dan kawan-kawan ingin merayakan euforia konser. Itu sebabnya komunitas ini memiliki slogan "Share Your Euphoria".

Komunitas ini rajin menginformasikan konser-konser musik yang akan digelar di Indonesia dan Asia Tenggara. Tidak heran jika komunitas ini sekarang menjadi salah satu referensi utama bagi para pencandu konser di Tanah Air.

Pencandu konser lainnya juga membentuk komunitas-komunitas lain. Sebagian berbasis pada satu band favorit. Salah satunya adalah komunitas Muse4Indonesia yang didirikan tahun setelah band itu konser di Indonesia tahun 2007. Belakangan namanya diganti menjadi Muse Indonesia.

Kegilaan menonton konser tidak selalu menghabiskan uang, tetapi juga bisa menghasilkan uang. Setidaknya itulah yang berlaku bagi pencandu konser seperti Ryan Novianto.

Sejak mendirikan komunitas JakartaConcerts.com bersama beberapa temannya, Ryan menjadi simpul penting dalam industri konser musik. Betapa tidak, JakartaConcerts berhasil merangkul ribuan orang sebagai anggota. Bahkan, akun Twitter @JakartaConcerts diikuti lebih dari 57.000 pengikut.

"Semua rencana konser yang sudah pasti, saya posting di internet dan Twitter. Lama-lama JakartaConcerts jadi acuan orang yang ingin nonton konser mulai ABG sampai bapak-bapak dan ibu-ibu," kata Ryan.

Dia juga menjadi pedoman para promotor untuk mengenali pasarnya. Para promotor konser pun rebutan merangkul Ryan. "Ada yang mengajak diskusi mengenai band mana yang laku dijual, minta mencarikan nama sebuah festival, hingga mengajak kerja sama menjual tiket," katanya.

Ryan dan teman-teman tidak membiarkan peluang bisnis di depan mata itu lewat. Dia setuju menjualkan tiket konser. Tahun ini dia menjualkan tiket konser Bruno Mars yang didatangkan oleh promotor Java Musikindo. "Kami jual secara online, dalam 10 menit bisa jual 500 tiket," ujar Ryan.

Dari situ dia mendapat komisi 3-5 persen per tiket dari setiap tiket yang dia jual. "Lumayan hasilnya. Gue juga enggak pernah lagi ngeluarin uang untuk nonton konser," kata Ryan.

Selanjutnya, Ryan bergabung dengan StarD Protainment dan menjadi kepala divisi promotor. Proyek pertamanya adalah konser band asal Amerika Serikat, Secondhand Serenade, di Bandung dan Surabaya akhir 2010 lalu. "Di dua kota penontonnya 5.000 orang," kata Ryan.

April 2011 lalu dia memanggungkan band AS lainnya, yakni Switch Foot yang baru saja meraih Grammy Award.

Begitulah, si pencandu konser kini menjadi bagian dari industri yang membuat orang kecanduan konser. (BSW)

 

Sent from Indosat BlackBerry powered by

Sumber: Kompas Cetak

21 Jul, 2011


--
Source: http://female.kompas.com/read/xml/2011/07/21/18444213/Bisnis.Tiket.buat.Pencandu.Konser
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com

Blog Archive